Can we just eat?

2 0 0
                                    

Kantin karyawan padat seperti biasa. Terlalu padat bahkan. Aku sebenarnya tidak pernah suka keramaian dan selalu memilih makan bekal di pantry yang cenderung minim orang. Tapi, saat tadi aku ke pantry ada si anak baru di sana. Or should I say musuh lama yang tiba-tiba muncul yang harusnya dia jadi partner yang membantu aku bekerja bukan membangkitkan luka lama dan membuatku susah konsentrasi kerja. Dan demi mendapat secercah kedamaian aku memilih makan siang di kantin. Dengan Rama dan beberapa teman satu persekutuan gosip.
"Gimana, Kan?"
Aku menghentikan suapanku yang sudah hampir masuk ke mulut. "Apanya yang gimana?" tanyaku, membalas pertanyaan Miranda yang duduk tepat di sebelahku.
"Ampun deh ni bocah. Gue ngomong udah kenceng gini masih aja nggak kedengeran?"
Kubalas ocehan kepala persekutuan itu dengan mengedikkan bahu dan melanjutkan makanku.
"Kita mau pada nonton tar malem. Nih, film yang lo ceritain di grup kemarin." Rama membantuku mengejar ketertinggalan persekutuan gosip kami. Layar ponsel pintarnya menampakkan chattingan kami semalam.
"Oh."
"Ye... dia cuma oh. Gimana ini? Jam 9 aja apa? Kan kita tar paling kelar jam 6an terus makan dulu baru nonton. Lo nggak ada funnel kan hari ini, Sya?"
Tasya menggeleng. Si bungsu di persekutuan kami itu tak pernah berkata tidak. Usianya yang terpaut cukup jauh dari kami membuatnya merasa harus menjadi yesgirl di tim. Dan ketua persekutuan, Miranda, terkenal tak pernah terima kata tidak. Kurasa itu juga yang membuatnya jadi salah satu sales andalan di perusahaan ini. Aku bisa menjamin mengelak dari kemauan Miranda bisa menghabiskan energi yang lebih besar daripada lari keliling lapangan bola 10 kali.
"Oke, deal. Gw booking yes. Lo pasti nggak ikut kan?" Miranda bertanya pada Biru, cowok yang sejujurnya aku nggak pernah ingat di divisi mana, tapi sejak beberapa bulan lalu jadi anggota persekutuan, bersamaan dengan bergabungnya Tasya. Biru menggeleng. Dia memang tak pernah bergaul dengan kami di luar kantor. Miranda pernah bilang si Biru ini workaholic parah, konon dia lebih milih kerja di kantor daripada liburan. Katanya kalau uang cutinya dicairkan dia bisa beli saham perusahaan ini, saking rajinnya dia menabung jatah cuti. Tambahnya lagi segala soal Biru ini misterius tapi Biru selalu update soal gosip kantor ini.

Dengan gaya yang dibuat-buat Miranda mulai sibuk dengan gadgetnya, memilih jam dan kursi untuk kami nonton malam ini. Kalau boleh aku ingin skip jam setelah makan siang ke saat kami nonton saja.
"Lo kenapa sih,Kan? Dari tadi kayak orang bego gitu? Nggak nyambung muluk. Bos lo ribet lagi?"
Aku menggeleng. Aku bingung mau mulai cerita dari mana. Dan rasanya sedang tidak mood untuk cerita karena energiku sudah habis tersedot selama 4 jam sebelum makan siang tadi.
"Oh my God!!" seru Miranda tiba-tiba. "Sumpah gue nggak pernah nyabu dan gue udah berhenti minum alkohol. But I think I'm still seeing things."
Kami berempat serempak menatap ke arah pandangan Miranda tertumbuk. Dan di sanalah mimpi burukku perlahan merayap mendekat.
"Kan, kok gue ngeliat si mantan lo yang pernah bikin lo nangis dan ninggalin lo di pinggir jalan tapi astaga kalo gue sih kegantengannya bisa bikin gue maafin dia walaupun gue ditinggal di pinggir jalan jutaan kali."
Rama mengernyit ke arahku. Aku menangkap tatapan matanya. "Mantan?" Aku memilih tak menjawab dan berhenti menatap ke arah cowok yang beberapa langkah lagi akan tiba di meja kami. "Dia bukannya partner baru lo?" Rama masih menuntut jawaban.
"Yah, gue rasa selain dikutuk jadi partner kondangan lo gue juga dikutuk jadi setim sama orang yang paling gue hindari di dunia ini."
"Hey, you should be honoured. Nggak semua orang ya gue ajak jadi partner kondangan," protes Rama.
"Hei. Boleh gabung?"
Semua orang di meja persekutuan menoleh ke arah si penanya. Yang dipandangi melempar senyum sambil memperkenalkan diri, "Kenalin gue Mahes. Gue partner barunya Kanti."
God kill me already!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Should Have Said I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang