Prolog

37 10 11
                                    

Menatap kearah luar jendela menembus hujan. Suhu dingin menerobos masuk lewat celah jendela yang terbuka, menusuk kedalam kulit. Angin membelai helaian rambutku. Alunan musik menememani. Lagu '7 Years' terus diulang, dari sebuah pemutar lagu diatas meja belajar.

Hujan terus turun dengan derasnya tanpa menandakan tanda akan berhenti atau mereda sedikit pun. Rasa kesal mulai melanda. Aku beberapa kali melirik arloji ditangan kananku. Hari sudah mulai siang, namun tak ada sedikit pun tanda akan munculnya sang mentari.

Terdengar suara ketukan dan seolah sudah tahu siapa orang tersebut aku sama sekali tidak peduli bahkan hanya untuk menjawabnya. Terdengar suara panggilan pelan, "Belle!"

Yang dipanggil hanya mendengus kesal tak peduli. Aku malah memperbesar suara lagu. Mencoba untuk tidak mendengarkan apa pun.

"Belle, sudahlah ayo keluar. Jangan terus berada dikamar sendirian. Mungkin kau bisa keluar dan berkumpul dengan saudara-saudaramu, menikmati sup dan roti hangat yang Karen buat. Belle, apa kau dengar ayah?" Bujuk Deska. Namun aku tidak menghiraukannya.

Seperti biasa Deska terus mengetuk-ngetuk pintu dan memanggilku. Merasa gusar aku segera mematikan alat pemutar laguku dan membanting remotnya kekasur, lalu membuka pintu kamarku dengan kasar. Aku berteriak, membentak ayahku seolah itu bukanlah hal yang salah.

"Bukankah Ayah sudah janji! Akan mengantarku kepemakaman pagi in, tapi Ayah berbohong!" bentakku sambil berteriak.

"Tidak, ayah tidak berbohong kepadamu. Kau lihat sendirikan diluar hujan turun deras. Bagaimana kita bisa pergi?" sanggah Deska menjelaskan.

"Jangan bilang ayah menjadikan hujan sebagai alasan utama. Andaikan saja hari ini Ayah pergi kerja dan turun hujan, pasti Ayah akan nekat terus pergi. Tanpa memerdulikan cuaca. Entah hujan air, salju, atau badai sekali pun. Ayah pasti tak akan peduli."

"Tapi itu dua hal yang berbeda Belle."

Perdebatan antara ayah dan anak pun terjadi. Perdebatan yang pasti terjadi, entah itu karena hal yang rumit atau sepele sekali pun.

Tak berselang lama Vania—adik tiriku—datang sambil membawa semangkuk penuh soup hangat. Dilihat dari uap yang mengepul keluar, membawa aroma lezat.

"Apa kau mau soup?" ujar Vania polos. Membuat perdebatan ayah dan anak berhenti sejenak.

"Tidak," jawabku ketus, tanpa menoleh kearah lawan bicaraku.

"Setidaknya cobalah sedikit. Jika suka, kau bisa menikmatinya dengan roti hangat yang baru keluar dari oven," bujuk Vania, namun tetap tak kuhiraukan. Aku hanya menyilangkan tangan tanpa berpaling ke arahnya.

"Ayolah, ayo, makan bersamaku... " bujuk Vania sambil menarik-narik pakaianku dengan sebelah tangannya.

Merasa tidak suka diperlakukan seperti itu aku pun menjadi geram dan marah, tanpa menyadari bahwa yang melakukannya itu adalah seorang anak kecil, apalagi dia adalah adikku sendiri. Aku pun dengan sengaja menghempaskan mangkuk soup ke arah dinding, menyebabkannya membentur dinding dan pecah berkeping-keping. Suaranya pun mengagetkan siapa saja yang mendengarnya.

Vania terkejut, wajahnya berubah pucat dan ketakuatan, ia pun segera bersembunyi dibalik tubuh Deska. Takut aku melakukan hal berbahaya yang dapat melukai dirinya.

"Belle, apa yang kau lakukan?! Bagaimana jika melukai Vania!" tegur Deska tegas.

"Aku tidak peduli! Yang aku inginkan sekarang hanyalah pergi kepemakaman dan jika ayah tidak ingin mengantarku aku akan pergi sendiri. Dan asal ayah tahu, ayah dan hujan itu sama menyebalkannya!" Aku segera pergi, meninggalkan Deska yang baru ingin menasihatiku.

Aku menuruni tangga dan hendak pergi keluar rumah, namun seseorang memanggilku, Karen.

"Belle, kau ingin pergi kemana? Diluar hujan lebat. Lebih baik kau tetap dirumah," ujar Marissa yang tiba-tiba datang dari dapur bersama Zenny —kakak tiriku yang kedua.

Aku hanya memalingkan wajahku kesal lalu segera pergi dan hendak membuka pintu. Lagi-lagi, ada yang menghambatku. Adrik—kakak tiriku yang pertama—datang dari balik pintu dalam keadaan basah dan langsung bertanya kepadaku.

"Kau ingin kemana? Diluar hujan-" Belum selesai Adrik bertanya aku lalu mendorongnya menghantam dinding. Aku pun segera pergi sambil membawa payung yang menggantung dibalik pintu.

Adrik bangkit dan hendak mengejarku, namun Deska mencegahnya, "Biarkan saja dia. Lebih baik sekarang kau ganti pakaian lalu kita makan bersama."

Adrik hanya mengangguk kecil dan segera masuk kekamarnya.

****

1–Mei–2018, 17:00

The PatronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang