Bab 1

24 10 17
                                    

Namaku Isabelle Baldwind. Beberapa hari yang lalu aku berulang tahun, tidak ada yang istimewa, kecuali hadiah yang diberikan Karen padaku. Dia bukan ibu tiri yang jahat—seperti pada cerita Cinderella—dan kejam. Dia cantik—aku akui itu—dan juga pandai memasak.

Ayahku menikahi Karen setahun yang lalu. Dua tahun setelah kematian Ibuku. Ayahku seorang duda dan Karen seorang janda.  Karen tidak ditinggal mati oleh suaminya, mereka bercerai—sekiranya itu yang aku tahu. Usianya sudah berkepala tiga dan memiliki empat orang anak. Adrik, Zenny, Arthur, dan Vania. Mereka saudaraku untuk sekarang atau bahkan selamanya. Adrik tiga tahun lebih tua dariku, Zenny dua tahu lebih tua dariku, Arthur setahun lebih tua dariku, dan Vania dua tahun lebih muda dariku. Di antara mereka, Arthur lah yang paling tidak menyukaiku dan aku pun begitu. Aku tidak terlalu akrab dengan mereka, kami selalu saja bersitegang setiap kali bersama. Di mana pun dan kapan pun.

Walau Ayahku—Deska—selalu menasihatiku agar tidak selalu berlaku kasar terhadap saudara-saudaraku. Seperti sekarang ini.

"Jangan pelit dengan saudaramu, Belle!" Deska mengambil satu lembar pancake-ku yang dibuat Karen untuk sarapan pagi ini.

Aku mendengus kesal, berpaling memelototi Vania yang tak berani melihatku. "Dasar manja. Kau kecil, tapi perutmu besar," ledekku. Vania semakin menunduk menatap piring makannya yang kosong.

Ayah menyenggol lenganku, mendelik ke arahku. "Habiskan sarapan kalian dan berangkatlah sekolah."

Kami semua mengangguk mengiyakan sambil menyantap kembali sarapan masing-masing. Setelah beberapa menit yang lalu aku bersitegang dengan adik tiriku.

****

"Kau cocok sekali dengan pakaian itu, Belly." Dia tertawa menyebalkan, yang berhasil membuatku naik pitam setiap kali mendengarnya.

Aku berpaling, mencari sumber suara. Pemuda berbintik jingga di kedua pipinya dengan rambut jingga terang. Gigi kelincinya putih, tapi aku berharap bisa mencopotnya satu agar ia tidak terus bicara bombas tentang diriku.

Perry Davidson, murid kesayangan Ny. Victoria atau terlebih dia adalah keponakan Ny. Victoria. Ny. Victoria merupakan guru seni di sekolahku. Dialah yang mengetuai acara pementasan drama yang sekarang akan  diadakan di gedung serbaguna. Menjadikan Perry tokoh yang paling ditunggu-tunggu di acara pementasan ini, tapi tak seorang pun tahu, kecuali aku yang bahkan ingin muntah saat mendengarnya.

Aku mendapati Perry berdiri bersama teman-temannya, semakin menjadi-jadi dengan segala celotehnya yang membuatku ingin segera melandaskan tinjuku tepat di gigi kelincinya. Aku mengangkat gaun hitam bergaya victoria yang membalut tubuhku, menghampiri Si Gigi Kelinci dengan segala amarah yang tertumpu di kepalaku hingga rasanya sudah sebesar dunia dan ingin meledak saja.

"Jangan coba-coba untuk menggodaku!" Dengan wajah garang dan pelototan tajam dariku berhasil membuatnya bungkam.

Aku meremas kerah baju kerajaannya yang sayang sekali sekarang sudah berantakan karena ulahku. Wajahnya berubah pucat dengan keringat mengaliri pelipisnya. Dia mengangkat kedua tangannya. "Maaf Belly. Aku tidak ber-"

"Tidak apa?! Kau pikir aku tidak punya telinga, huh!" Tanganku mengepal hendak menghajarnya habis-habisan.

"Hah!" suara histeris Ny. Victoria menggema keseluruh ruang make up. "Apa yang kau lakukan dengan hasil karyaku?!"

Aku melonggarkan remasanku. Ny. Victoria menghampiriku dengan gaya jalannya yang unik—menurutku.

"Lepaskan tanganmu!" Dia menarik tanganku dari Perry. Menggeserku dengan pakaiannya yang bahkan lebih besar dari kostumku. Aku terjungkal tak bisa menahan berat badanku. Menunggu hingga saatnya pantatku melandas di lantai, tapi seseorang menahan pinggangku.

The PatronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang