Genangan dan Kenangan

77 4 0
                                    

13 Januari 2018

Disaat payungnya pergi dan tak kan pernah kembali.


Hari ini aku memilih duduk di kursi panjang menikmati pemandangan pedesaan yang menurutku selalu memukau.

Aku melihat genangan air di dekat kursi panjang itu. Kurasakan angin berhembus pelan bersamaan dengan datangnya sesosok pria bertubuh tinggi dan duduk di sampingku.

Dzi. Hari ini adalah hari bersejarah untuk sahabatku ini. Dia menghela nafasnya. Helaan nafasnya terdengar begitu berat seolah semua beban di dunia ini ditimpakan semua kepadanya.

Kulihat dari sudut matanya meluncur setitik bening yang kita semua namakan air mata. Dia menghapus kasar air matanya. Aku tahu dari tadi dia mencoba untuk tidak menangis. Tapi kilas balik cerita tentang penolakan yang dia terima dari sang pujaan membuatnya tidak bisa menahan lagi.

"Kenapa gue jadi cengeng gini, sial!" Dzi mulai mengumpat.

"Nangis aja bor. Tidak ada yang salah dengan menangis." kataku mencoba menghiburnya.

"Masa gue nangis gegara ginian,"

"Air mata yang keluar lo bisa menghapusnya dengan tangan lo," kataku mengulang kalimat yang pernah kudengar dari sepupuku yang setahun lalu meninggal. "Bisa mengering. Tapi air mata yang lo tahan cuman ngehadirin luka di hati lo." aku menjeda kalimatku dan melirikan wajahku kearah Dzi lantas menepuk pundaknya. "Gimana lo ngobatinnya?"

Dzi tersenyum. Senyumnya begitu miris. "Gue udah kehilangan cinta gue, bor." katanya melirih menahan nyeri.

"Kata siapa?" tiba-tiba pertanyaanku membuat Dzi menatapku. "Cinta lo kagak hilang, cuman cinta lo bahagia dengan cinta yang lain. Lo bisa dikatakan beruntung." jelasku yang semakin membuat kening Dzi menggerunyut.

Heran dan tidak mengerti.

"Kadang-kadang lebih terasa menyakitkan bagi manusia untuk kehilangan sesuatu yang disayanginya daripada tak pernah memilikinya sama sekali." kataku menambahkan.

Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Entahlah mungkin kalimat itu penting untukku atau seseorang yang mengatakannya yang penting untukku.

"Maksud lo? Gue langsung di tolak gue bahkan tidak punya kesempatan untuk memilikinya." kata Dzi.

"Dia masih hidup di dunia yang sama dengan lo dan mengetahui dia hidup bahagia meski bukan dengan lo itu jauh lebih baik," kataku dengan suara yang mulai bergetar. "Daripada dia hidup dalam kenangan lo dan lo tidak bisa mastiin dia hidup bahagia apa kagak karena dunia kalian yang sudah berbeda."

Dzi meredupkan tatapannya. Mungkin kalimatku terdengar benar di telinganya. Memang seharusnya aku tidak membandingkan kesedihannya dengan kesedihan orang lain. Aku menyesal.

"Bor," kataku dengan nada semangat. "Tak selamanya rasa bertemu muara." aku kembali mengulang kalimat wanita itu.

"Sastra banget omongan lo," kata Dzi menggodaku.

Aku dan dia tertawa. Lumayan keras.

"Lo bener," Dzi membuka suara. "Tak selamanya rasa bertemu muara." Dzi mengulang kalimatku.

Aku ber—hem pelan padanya.

"Hari ini gue di tolak," kata Dzi lagi. "Dan semoga kalau nanti gue jatuh cinta lagi gue kagak nerima penolakan lagi." tandasnya. Suaranya kembali semangat.

"Hari ini seseorang mengenang payungnya yang hilang setahun yang lalu." kataku melirih.

Dzi menatapku. "Cuman payung tinggal beli lagi." katanya.

"Payung itu hanya ada satu di dunia,"

"Kalau gitu cari tukang payung buat imitasinya," tawa Dzi terdengar setelah mengatakan hal itu.

Sayangnya, dia hanya menginginkan payung itu. Tidak yang serupa tidak yang sama persis dia hanya menginginkan payung itu.

Benar-benar payung itu.

Menangis Dibawah HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang