"Tolong," lirihnya dengan menatap sendu kearahku.
Dia menangis. Ini kali pertama aku melihatnya menangis di hadapanku seperti ini. Tatapannya seolah mengartikan untuk aku berhenti berusaha. Aku mulai berpikir, apakah dia begitu terganggu dengan keadaanku? Apa dia begitu membenciku? Apa dia begitu menderita karenaku?
Aku tidak bisa menahan keperihan hatiku saat melihatnya menangis seperti itu. Aku menatapnya yang masih saja menangis pilu. Aku sadar, selama ini dia begitu menderita, niatku ingin menolongnya dan membuat kebahagian meski kecil untuknya, malah membuatnya semakin menderita.
Aku mencintainya. Dia yang pertama untukku, tapi seseorang yang hidup dalam kenangannya, aku tidak tahu bagaimana cara mengalahkannya.
Jeda yang dia ciptakan begitu panjang, sampai pada kalimat itu aku tersadar bahwa selama ini...
"... Jangan membuatku merasa bersalah lebih dari ini lagi."
Selama ini aku telah memaksanya. Aku mencoba masuk dalam kehidupannya saat dia benar-benar belum siap.
Ini, bukanlah cinta wahai diri... Cintamu membuatnya kesakitan, ini jelas bukan cinta... Cinta itu mengobati bukan menambah luka. Cinta itu meringankan bukan memberatkan. Cinta itu senyum tulus, bukan tangisan pilu...