Kalau gue boleh jujur, alasan kenapa gue menutup telepon itu tentu aja bukan karena gue jijik mendengar omongan Woojin. Sama sekali bukan.
Tapi entah kenapa saat itu kedua pipi gue memerah dengan sendirinya. Mungkin efek dari jantung gue yang langsung berdebar setelah mendengar omong kosong oknum kulit gelap tersebut.
Iya, efek Park Woojin bagi gue emang semagis itu.
Dan benar aja. Setelah medali tanda kelulusan udah tergantung cantik di leher cowok itu, Woojin langsung berlari ke arah gue dan tersenyum lebar.
"Nancy!"
Refleks gue juga ikut tersenyum melihat cara berlari Woojin yang terlihat sangat lucu sekaligus sangat ... Manly.
"Hei," sapa Woojin, setengah terengah. Lalu kedua matanya melirik muka gue sumringah. "Wah, lo nurutin nasehat gue ternyata."
"Hah?"
"Cantik," katanya. "Lo dandan yang cantik."
Dan lagi, pipi gue kembali memerah hanya karena omongan gak penting milik cowok bergingsul tersebut.
"Apaan, sih. Perasaan dandanan gue gak jauh beda sama dandanan gue yang biasanya," balas gue skeptis karena pagi tadi gue hanya bertempur dengan cushion, blush on, dan sapuan tipis liptint di depan cermin.
Tentu aja hal tersebut membuat cowok itu menyengir lucu. "Masalahnya, Nancy, lo selalu kelihatan makin cantik setiap harinya di mata gue."
Asdfghjkl.
Belum sempat gue membalas omongan sok manisnya, Woojin memanggil salah satu teman sekelasnya dan meminta senior itu untuk memotret kami berdua.
"Ini hari terakhir gue di sekolah. Kita harus foto yang bagus," katanya sambil merangkul pundak gue agar mendekat ke arahnya.
Gue, dengan jantung sialan yang kembali berulah, cuma bisa diam dan berusaha keras agar senyum gue gak kelihatan jelek-jelek amat di kamera nanti.
"Ci," panggil Woojin pelan setelah mengambil kembali ponselnya.
For your information, Woojin emang suka banget manggil gue dengan sebutan "Ci." atau "Nenci." dengan huruf C yang benar-benar dia lafalkan sebagai Ci dan bukannya Si sebagaimana mustinya.
Sok lucu, emang.
"Hmm?"
Woojin tersenyum, dan kali ini benar-benar sebuah senyum tampan yang tiba-tiba membuat kepala gue terasa pening.
"Kalo lo punya pacar nanti, dia boleh nyium lo gak?"
Kening gue berkerut heran. "Emang kenapa?"
"Jawab aja dulu."
Gue menatap dia dengan pandangan gak yakin. Tapi melihat Woojin yang masih memasang senyum gantengnya itu membuat gue mau gak mau mengangguk.
"Kenapa enggak?"
Dan ya, setelahnya, tanpa aba-aba apapun, cowok bermarga Park itu menempelkan bibirnya sendiri di atas bibir gue, di tengah banyak orang yang tengah merayakan kelulusannya, tanpa merasa malu sedikit pun.
Kedua mata gue membulat sempurna.
"Mulai sekarang kita berdua pacaran, kalo gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity: Park Woojin ✔
Short StoryHow could a human being stay on this earth without the force of gravity? alternative universe. ©2018, alanaby.