08

658 150 22
                                    

"Hei, bukannya udah pernah aku bilang kalo aku gak bisa ngeliat kamu nangis?"

Tangan milik Woojin terjulur bermaksud untuk memegang pipi gue. Tapi belum sempat hal itu terwujud, gue udah menepisnya lebih dulu dan menatapnya sinis. "You are the one who makes me cry!"

Cowok itu meringis. "Nancy, I'm sorry."

Lalu Woojin kembali menjulurkan tangannya, merengkuh wajah gue dengan lembut, dan mengelus pelan kedua pipi gue. Untuk kali ini, gue hanya bisa diam dan balas menatapnya datar.

Tapi entah sejak kapan dan siapa yang memulai, bibir kami berdua saling berpagutan.

Woojinlah yang pertama kali melepas kontak itu. Ia menempelkan dahinya di atas dahi gue, lalu berbisik lemah. "Aku sayang kamu, Nancy. Sumpah demi Tuhan, aku sayang kamu."

Lagi-lagi gue hanya bisa terdiam dan menatap Woojin yang napasnya kini terengah-terengah.

"Aku benci kamu," kata gue akhirnya, agak tersendat. "Kamu ninggalin aku sendirian, Woojin. Kamu jahat..."

"No, I've never left you aloneㅡ"

"Bohong!" bentak gue menepis tangannya. "Tiga bulan yang lalu kamu pergi ninggalin aku entah kemana, Park Woojin!"

"Bahkan seharusnya kamu gak ada di sini sekarang. Iya, kan?" Gue tertawa kecil setelah mengatakan itu.

Lagi-lagi Woojin menghela napasnya panjang.

"Sayang... I'm sorry."

Udah pernah gue bilang, kan? Gue benci deru napasnya.

Karena gue tahu kalau Woojin gak akan pernah bisa bernapas lagi sejak tiga bulan yang lalu, dan juga untuk seterusnya.

Gravity: Park Woojin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang