First

63 4 0
                                    

Temen zaman sekarang mah gini;
Baik kalau ada butuhnya. Curhat kalau lagi pas susahnya. Udah seneng mah lupa.

~~~

Ini hari pertama Rajni sah menjadi mahasiswi di sebuah sekolah tinggi swasta Bandung. Belum terasa berat tugasnya, masih bebas belum punya jadwal mata kuliah dan waktunya ia gunakan mengelilingi kampus.

Pertama-tama yang ingin Rajni kunjungi adalah kantin. Bukan hanya karena perutnya yang lapar, ia juga dengar selama menjalani masa orientasi siswa banyak yang membicarakan kantin kampusnya punya menu mie ayam spesial yang wajib di coba. Jadi disinilah Rajni. Menunggu sembari memainkan ponselnya, membuka semua media sosial yang tidak seru menurutnya. Hingga pesanannya tersaji dihadapannya dengan asap yang masih terlihat kepulannya juga aroma yang menggoda.

Sekarang fokus Rajni menghabiskan makanannya, menghiraukan semua yang ada disekitarnya. Lagipula tidak ada yang jadi urusannya, ia hanya MABA.

Sampai seseorang menghampirinya, membuat Rajni menghentikan aktifitas makannya beberapa detik.

“lo yang namanya Rajni?”

“iya.”

“udah Ada yang ngucapin selamat pagi belum?” Rajni diam.

Perempuan dengan kucir kuda pendek, berkawat gigi menjulurkan tangannya. “gue Ava, kita sakelas loh..”

Meski Rajni masih bingung apa maksud dan tujuan perempuan itu menghampirinya ia menyambut uluran tangan itu. “Rajni.”

sorry kalau gue sedikit gak respect, gue gak pernah lihat lo pas masa orientasi.” Rajni bukan orang yang cuek, ada beberapa hal yang tidak bisa ia lakukan seenaknya seperti masa SMA. Ia baru, dan ia butuh orang untuk ia sebut teman.

Ava tertawa pelan sambil memesan makanan pada pelayan kantin yang kebetulan lewat disebelahnya.

“Makan disini atau take away?”

“take me out from my sad memories aja, please.” pelayan kantin Itu tersenyum geli, meninggalkan Ava yang tidak sejalan dengan jawaban yang diharapkan.

“gak apa-apa, gue ngerti kok. Gue gak ikut MOS jadi wajar kalau lo sama yang lain gak respect gue.” meski baru beberapa menit Ava duduk didepannya, Rajni bisa merasakan jika Ava cocok berteman dengannya. Dengan sifat aslinya.

“gue malu tau nggak lo?”

“nggak.” sambar Rajni cepat, melanjutkan kegiatan makannya yang sempat terhenti.

“belum beres!” sewot Ava, mengucapkan terimakasih karena minumannya telah sampai.

“gue emang gak tau.”

“bodo amat! Gak Jadi.” delikan tajam Ava sebagai orang baru harusnya menjadikan Rajni sedikit menjaga sikap, tapi anehnya Rajni biasa saja. Seolah yakin jika Ava tidak menganggap apa yang Rajni lakukan padanya bukan hal serius.

pamali cewek gak diterusin ngomongnya.”

“udah gak mood gue.”

Dan Rajni tidak lagi mengucapkan hal selain melanjutkan makannya dan membiarkan Ava menghabiskan minumannya.

“lo alumni mana?”

“SMA Pelita Bangsa. Lo?”

“gue SMA 2 Harapan Jakarta.”

Rajni mengangguk pelan. “bukan orang Bandung ternyata.”

“Iya.”

“kenapa pilih disini? Bukannya lebih enak di Ibu kota?”

“enggak juga, makin sini makin sumpek. Panas sama macetnya bikin gak tahan, makanya pas dapet kesempatan kuliah disini gue gak mikir lagi. Sikat aja!” Rajni tertawa, mulai menyeruput teh manisnya.

“lo asli Bandung?”

“Iya.”

“pantes.”

“kenapa?”

“katanya Bandung itu orangnya pada welcome, Dan kebenaran gue ketemu lo.”

Rajni tidak mengerti. “emang gue kenapa?”

“gue itu orangnya kayak gini,gak terkecuali sama siapapun. Entah aneh atau gimana gue gak tau, tapi jujur aja selama ini gak ada orang yang betah ngobrol sama gue lebih dari sepuluh menit. Dan cuma lo yang tahan.” jika diperhatikan mungkin memang orang lain tidak tahan dengan Ava karena kecerewetan juga sikap sok kenalnya yang cenderung membuat orang lain risi. Beruntungnya tidak bagi Rajni. Ia biasa saja, karena Rajni pun sama halnya seperti Ava. Hanya bedanya Rajni pintar menunjukkan dimana seharusnya ia mengeluarkan jati diri.

“lo ngekost?”

“enggak, gue tinggal sama nyokap.”

“Bokap ditinggal di Jakarta?”

“bonyok udah pisah, hak asuh sama nyokap.”

“sorry.” Rajni mendadak merasa tidak enak, soal seperti itu terlalu sensitif. Seharusnya ia tidak selancang itu dalam menyimpulkan sesuatu yang bukan dalam lingkarannya.

“no problem, justru gue lebih seneng kalau Ada yang mau dengerin tentang cerita gue sebenarnya, daripada cuma lihat dan mendengar hal yang gak benar.”

“keluarga lo terpandang?” kini Rajni lebih berhati-hati.

“lo tau Arya Wibowo?”

Rajni mencoba mengingat. Seingatnya itu nama ketua partai yang saat ini sedang gencar untuk pemilihan presiden tahun depan.

“jangan bilang..”

“Ava Nafiza Wibowo itu nama lengkap gue, Raj.”

Entah sebuah keberuntungan atau kejutan tiba-tiba, ia mendapatkan teman dari anak konglomerat. Yang ayahnya menghantui acara-acara politik ditelevisi.

Ava mendekat hingga wajah mereka terhalang satu jengkal. “cuma lo yang tau.” bisiknya.

“gue gak mau ya lo berubah membosankan ketika tau siapa gue sebenarnya.” Rajni mengangguk saja, lagipula ia bukan golongan orang yang semena-mena terhadap orang biasa dan menyembah orang-orang berpangkat. Bagi Rajni semua kalangan itu diciptakan sama.

“Iya..”

“Dan jangan bilang-bilang ke orang lain.” sekali Rajni mengangguk.

“lo ngekost?”

“Iya.”

“kapan-kapan gue boleh main ke kostan lo kan?”

“apa sih yang gak boleh buat anak konglomerat?”

Gulungan tisu melayang diwajahnya. “kampret lo!”

Sudah berapa lama Rajni tidak membuat orang kesal terhadapnya? Terakhir ia ingat, hari kelulusan. Dimana setelahnya teman-temannya mulai menjauh dengan sendirinya.

~~~

Bandung, 03 Mei 2018

TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang