Three

36 2 0
                                    

Tuhan selalu memberikan jalan pada umatnya

Sebenarnya Rajni tidak pernah ambil pusing apa yang ada disekitar, ia selalu berpikir bahwa Tuhan selalu punya rencana indah disetiap hari yang umatnya jalani. Berbeda lagi dengan Ava yang masa bodoh mau seperti apa, ia justru tidak memikirkan semuanya. Lagipula sepertinya menjadi keturunan keluarga Wibowo adalah salah satu fakta yang tidak menyenangkan bagi Ava. Diluar segala hal mewah yang nenemani hidupnya selama ini.

Tapi untuk kali ini Rajni ingin mengeluh dua hal. Pertama adalah uang tabungannya menipis sedangkan ia masih belum mendapatkan pekerjaan. Kedua semenjak ia menolong cowok itu tujuh minggu yang lalu harinya tidak tenang. Dihantui pria berkacamata membawa ransel berwarna hijau bermotifkan ala-ala TNI AD kemana-mana. Menyodorkan makanan, minuman bahkan memayunginya ketika Rajni kehujanan. Sungguh semua tindakan yang pria itu lakukan adalah hal baik yang mulia, dihitung mereka adalah orang asing yang tidak saling mengenal. Masalahnya adalah rasa ketidak nyamanan saat pria itu menatapnya adalah hal nomor satu yang menjadi alasan kenapa Rajni berusaha menghindari pria itu. Selalu. Seperti saat ini.

Karena Ava yang belum datang dan sengaja tidak mengikuti ujian dadakan, juga karena hanya Ava yang bisa mengusir pria itu secara terang-terangan membuat perpustakaan kampus menjadi tempat teraman nomor satu di benak Rajni. Karena tempat ini yang jarang Rajni singgahi dan karena Rajni suka sendirian dan sepi jadi ia rasa tempat ini seratus persen cocok untuk kelangsungan hidupnya sembari menunggu Ava datang.

Rajni memperhatikan keadaan sekitar, menyelidik batang hidung pria polos yang menyebalkan—sekarang dimatanya. Dan helaan nafas lega terdengar jelas kala kedua matanya tidak melihat kemunculan tanda-tanda makhluk berjenis kelamin laki-laki itu disekitarnya.

Kini bukan pria itu pantauannya, ia sedang memperhatikan ruangan sekitar juga para pengunjung perpustakaan. Kebanyakan ukhti-ukhti dari jurusan bahasa Arab yang keluar masuk sambil membawa buku pinjaman dari perpustakaan. Ada juga sebagian besar membaca diperpustakaan dengan tenang. Ditemani baju kebesarannya juga cadar yang hanya menyisakan area mata. Tanpa sadar Rajni menoleh ke sampingnya ketika menyadari bahwa sedari tadi ia tidak sendirian. Ada seorang ukhti juga yang duduk terhalang lima jengkal disampingnya.

hal takhtabi?”

Kening Rajni mengernyit dalam ketika suara lembut itu menyapa indera pendengarannya, ia memastikan dengan menatap lekat ukhti di sebelahnya.

“sorry?” suara tawa itu pecah, meski tidak selantangnya ketika tertawa—bahkan suara tawa paling lembut yang pernah ia dengar tetap saja Rajni tercengang dibuatnya.

“maaf membuat kamu tidak mengerti, tapi kita lucu ya?” lanjutnya terkekeh pelan.

”hah?”

“saya memakai bahasa arab, kamu memakai bahasa inggris. Menggelikan.” dan Rajni hanya bisa tersenyum kaku nan canggung.

“perkenalkan, nama saya Calandre Kei Ashana, panggil saja Kei atau Asna.” Rajni dibuat tercengang sekali lagi. Bilang apa dia tadi?

“panggil saja Kei atau Asna.” terpaksa Rajni mengangguk, mengulurkan tangannya secara refleks.

“Rajni.” dan untungnya uluran tangannya dibalas.

“saya tadi bertanya, kamu sedang bersembunyi disini?”

Rajni mengangguk membenarkan. “iya, ada cowok ngejar-ngejar gue. Padahal gue pas nolong dia gak ada kepikiran buat jadi pahlawan supernya atau jagoannya. Gue juga gak berharap dia balas budi, tapi dia punya inisiatif yang tinggi jadinya dia ngikutin gue kemana-mana.”

Asna tertawa pelan, menutup buku bacaannya tanpa melepaskan ibu jarinya dari lembaran terakhir. “saya ada disana ketika kamu sedang membelanya.”

“iya?” Asna mengangguk.

“kamu berani.” kali ini Rajni tersenyum lepas, tidak sekaku dan secanggung tadi.

“makasih..”

“kalau menurut saya, jika kamu tidak suka katakan saja padanya. Bukan kah itu lebih baik daripada kamu terus berlari dan bersembunyi seperti ini?”

Andai pria itu cukup yakin akan pendengarannya setiap kali Rajni menolak setiap perlakuannya, mungkin itu lebih mudah dilakukan daripada main kucing-kucingan seperti saat ini. “andai semudah itu.”

“kenapa sendirian? Teman mu mana?”

“Ava belum datang.” Asna mangut mengerti.

“kak Asna, semester berapa?”

“semester empat, dan jangan panggil kakak. Umur kita nggak terlalu jauh.” Rajni tersenyum simpul sambil mengangguk.

Kembali hening. Tanpa sadar Rajni tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Mengundang reaksi Asna disampingnya.

“kenapa?” Rajni menatapnya dengan diam yang lama.

“kamu bisa bercerita jika memang mau, saya suka hati mendengarkan.” Rajni masih diam.

“ada masalah apa?”

“lagi cari kerjaan, tabungan Rajni udah menipis sedangkan kebutuhan kuliah sama rumah terus naik. Udah kirim lamaran kerja sana-sini belum ada panggilan.”

“kamu sambil kerja?”

“iya.” Asna menatap lama, seperti menimang-nimang apakah ia bisa membantu atau justru sebaliknya. Tapi melihat bagaimana muramnya Rajni ketika menceritakan singkat derita yang ia alami hatinya ingin sekali membantu. Dengan cara apapun.

Lima menit setelah diisi keheningan karena keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing, suara lembut itu mengembalikan Rajni menapaki kembali dunia nyata.

“nomor ponsel kamu berapa?” Rajni masih mencerna apa yang baru saja Asna katakan.

“boleh kan saya minta nomor kamu?” ulang Asna, lebih menyadarkan Rajni jika ia tidak salah dengar tadi.

“boleh.” setelah menyebutkan beberapa deretan angka yang menjadi nomor ponselnya, mereka kembali berbincang membicarakan hal-hal menyangkut organisasi kampus juga beberapa kegiatan yang akan diadakan minggu ini. Hingga akhirnya pesan masuk dari Ava yang memberitahu jika dirinya telah sampai di kampus membuat Rajni harus segera turun menemui sahabatnya yang diijinkan Asna dengan sangat baik.

“duluan ya, kalau ada kabar tentang kerjaan tolong banget kasih aja ke gue.”

na'am Rajni.”

“okay, thanks! See you.” dan Asna bergejolak dengan batinnya sendiri.

~~~

TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang