Mas Irfan ikut dalam rombongan tersebut bersama dua santrinya, sedangkan mbak Yuli akan menginap di rumahnya beberapa hari, nanti dijemput oleh orangtuanya. Santri pondok as-syafa'ah juga sedang liburan, jadi rumah terasa hening dan damai, tidak terdengar suara-sura santri yang terkadang sangat membisingkan. Meskipun seperti itu masih ada santri yang tidak pulang karena rumahnya jauh atau memang nggak pengen pulang.
"gimana Nduk... menurutmu mondok di sana..." Tanya Umi suatu sore ketika Maknun sedang nonton televisi
"yah sama saja Mi, dengan pondok-pondok yang lain...tapi di sana, aku sepertinya diperlakukan berbeda dengan yang lain..." ungkapnya jujur
"maksudmu Nduk..."
"ya gitu Mi... aku sering di kasih apalah sama ndalem, pernah juga di belikan baju pas aku di ajak Bu nyai belanja...." Ia kemudian menceritakan kejadian yang ia alami di dapur ndalem kala itu
"kalo diperlakukan seperti itu kamu jangan bangga Nduk, anggap saja itu rizqi untukmu dan mungkin saja Pak Yai-mu itu sudah menganggapmu sebagai anaknya sendiri, jadi Abah sama Umi bisa tenang karena di sana ada yang ngejagain kamu ..." ucap Umi menjelaskan
"maksudnya dianggap anak sendiri itu bagaimana Mi..." tanyanya memperjelas ucapan Umi
"kamu nanti akan tahu sendiri..." jawab Umi diplomatis seraya meninggalkan Maknun yang sedang bengong ditempatnya, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ah.. tapi ia nggak mau ambil pusing.
"Mas kapan baliknya..." Maknun kirim sms ke Mas-nya
"ngapain tanya-tanya, katanya benci sama aku..."
"ya sebenarnya benci sih... pi pending dulu deh"
"alah... aslinya kangen se... ngaku aja...nie dah penutupan Bahtsu, paling besok dah pulang..."
"antri oleh-oleh ya Mas..."
"apa sih yang nggak buat adik tersayang... hehehe"
Tiba-tiba Mas Irfan telpon ke HP-nya
"ada apa Mas, pakek telpon segala..."
"ada yang mau ngomong sama kamu Nun..."
Belum sempat ia tanya, telponnya sudah diberikan pada orang itu.
"assalamu alaikum... Maknun, gimana kabarnya di rumah..." ucap suara dari seberang
Ia sangat mengenal suara itu tapi ia ragu untuk menebak
"ehm...ini Gus Ridlwan nopo?"
"iya..." jawab beliau singkat. Terjadi kesenyapan beberapa waktu, tak tahu harus berbuat apa.
"ada apa Gus..." tanyanya sekali lagi
"Maknun... oh iya...di sini tadi membahas banyak masalah keagamaan yang perlu kamu ketahui, dari permasalahan sosial ataupun politik, jadi menurutku kamu juga sebaiknya perlu tahu, oleh karena itu nanti kamu minta rumusan jawabannya pada Mas-mu dan tanyakan padanya bila kamu belum paham"
"truss....Gus...setelah saya pelajari, bagaimana..?"tanyanya lagi, masih belum tahu apa yang diinginkan Gus Ridlwan. Ia jadi heran sama Gus-nya itu, sempat-sempatnya liburan disuruh nutholaah, ia jadi nggak mood.
"terserah kamu lah" jawab Gus Ridlwan sekenanya. Merasa ada yang salah dari omongannya ia mencoba untuk berdamai saja dengan keadaan, percakapan terasa garing.
"ya Gus... akan saya laksanakan"
Waktu pun terbuang begitu saja tanpa terjadi komunikasi, Maknun juga tak berani mendahului dan mengakhiri pembicaraan, karena Gus Ridlwan yang menelponnya, sedangkan di seberang sana terdapat hati yang berdebar-debar tak karuan menahan perasaan yang sulit tuk dikendalikan, ia tak tahu bagaimana dan apa yang harus diomongkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY LOVE
Non-Fictionحين الحب يضربنا فلا لماذا ولا كيف Saat cinta datang menyapa.... Maka tiada mengapa Dan tiada bagaimana