Ini adalah kisah awal. Hari pertama aku memasuki sekolah negeri yang terletak jauh sekali dari rumah orang tuaku. Merantau, itu bukan tuntutan orang tuaku, tapi keinginan pribadiku sendiri yang sulit dicegah. Dengan modal satu juta rupiah yang kukumpulkan sejak SMP, beraninya kuputuskan naik travel saat seminggu sebelum tes masuk SMA dimulai.
Meskipun aku adalah anak kota dari provinsiku, di Jakarta aku merasa seperti anak kampung. Bagaimana tidak, Tampilan anak-anak remaja disana bak artis nan modis, foya-foya seperti hal yang lumrah, juga bangunan disana sampai menusuk awan biru. Begitulah menurut pandanganku terhadap kota ini.
Banyak sekali perlengkapan yang harus kupersiapkan, segala hal pokok segera kujajal dengan modal satu juta ini. Ya... walaupun kurang pengalaman soal begini aku tetap berusaha yang terbaik untuk memanajemen uangku, sebisa mungkin harus kusisakan seratus ribu untuk keperluan makan seminggu disamping menyewa sebuah rumah-atau biasa disebut kos-dan membeli peralatan sekolah seperti buku dan pensil.
🎆🎆🎆🎆🎆
SMA Negeri 2 Jakarta Barat. Hari ini hari pertama aku tes masuk di sekolah itu. Ramai sekali, bukan karena peserta yang mendaftar masuk tetapi siswa-siswi yang sudah mendapatkan almameter sekolahnya. Hari ini pertama kali aku kesal di Jakarta kenapa hari tes masuk diadakan di waktu hari biasa sekolah.
Aku benci keramaian.
Tes masuk selesai, tidak ada halangan. Ruangan tes yang nyaman dan kedap suara menghilangkan rasa kesalku sekejap, dan tes yang kukerjakan kurasa dapat kukerjakan dengan baik. Di tes itu pula aku melihat gadis cantik yang menjadi titik perhatian ruangan tes itu. Anak siapa itu? Anak artis? Ya wajarlah bisa jadi kan anak artis ini kan ibu kota... kataku bergumam dalam hati. Tampaknya aku yang kebal terhadap masalah jomblo tidak terpengaruh oleh parasnya itu dan itu dapat dilihat dari hasil tes, hanya aku dan gadis itu yang lolos masuk salah satu SMA terfavorit.
"Selamat ya muda..." suara itu datang seraya tepukan halus menyambar pundakku.
Aku langsung berbalik badan.
"Ohh ya terima kasih..." jawabku formal.
"Kamu siapa ya? Kok tahu namaku" Aku sengaja tidak tahu namanya agar pembicaraan ini tidak kaku.
"Loh, maaf kita belum kenalan ya hehe. Namaku Belia aku tahu namamu dari jersey mu itu, kalau dipikir pikir gak ada tuh nama pemain baselona yang namanya muda haha."
Entah mengapa aku merasa gadis ini tertarik denganku, cara bicaranya itu terlihat terlalu akrab untuk seseorang yang baru dikenalnya.
"Jadi belia kalau boleh tanya kapan MOS diadakan?" sekali lagi aku sengaja tidak tahu untuk menghindari basa basi yang tidak diperlukan.
"Kalau gak salah sih 2 minggu lagi, dan katanya nanti kakak OSIS nya galak galak cowok semua lagi, nanti kita disuruh bawa inilah itulah dan juga..."
"Oke makasih sampai jumpa." Aku berbalik diri dan berjalan keluar sekolah, tampaknya ini lebih efektif untuk menghindari basa basi.
🎆🎆🎆🎆🎆
Dua minggu kemudian.
Hari Pertama MOS diadakan. Perlengkapan yang diperlukan untuk MOS bukan main banyaknya, aku pun terpaksa meminta orang tuaku mengirim uang saku untuk membeli keperluan MOS. Tampaknya yang dikatan gadis itu benar, kakak pembimbingnya cowok semua, aku pun terpaksa menahan diri dan menurut dari perintah yang terkadang terdengar tidak masuk akal.
Tapi ada yang aneh, di suatu barisan ada seorang cewek yang ku pikir tidak ada dalam tes masuk, namun ikut dalam kegiatan MOS. Ketika ku lihat namanya di kertas karton menambah keyakinanku kalau dia tidak ada didalam daftar siswi yang lolos di dalam tes. Namanya Dyana.
Tak terpikir alasan yang cocok mengapa terjadi hal demikian, hingga suatu ketika salah satu kakak pembimbing menghampirinya dan membicarakan sesuatu yang bisa kulihat mengintimidasi cewek tersebut.
"Berani juga lo ikut MOS ini ya dyana haha." kata kakak pembimbing dengan nada remeh temeh.
"Berisik lo, mau gimana lagi ini memang peraturan sekolah." kata cewek itu yang terkesan acuh.
"Tinggal kelas masih bisa belagu lo. Untung aja lo cewek kalau cowok udah gue smack lo haha"
Seketika tangan cewek tersebut menghempaskan kakak pembimbing itu ke tanah.
"Gue gak suka ya kalau lo menjadikan gender sebagai alasan, kalau mau nonjok tonjok aja."
Sejurus kakak pembimbing lain yang melihat kejadian itu langsung memisahkan mereka berdua.
"Sudah Marcel! Walaupun dia tinggal kelas dia tetaplah teman kita." kata kakak pembimbing lain itu.
"Dia sendiri aja yang baper! untung gak gue..."
"Sudah cukup! Dyana kamu masuk ke kelompokku saja."
"Oke itu lebih baik daripada sama cowok Playboy yang satu ini."
"Cih, pergi sana lu siswi abadi"
ohh jadi itu alasannya. Gumamku. Tak terpikir olehku kalau dia tinggal kelas, hari ini aku benar tidak teliti.
Cewek itu masuk kedalam barisanku, suasana pun kembali seperti biasa.
Beberapa saat kemudian, sebuah tepukan yang agak kuat menyambar pundakku.
"Apa aku mengenalmu ya, kamu kok kelihatan gak asing?" kata cewek itu.
Bersambung...
Tidak ada orang yang berhenti untuk bermimpi, yang ada adalah terhalang untuk bermimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Pair
Fiksi RemajaSebelas tahun lalu. Apa yang terjadi tahun itu? Kuingat samar. Bagaimana bisa aku lupa? Yang kurasa berupa kenangan indah, apakah ini cinta sejati? Membulatkan tekad bukan perkara mudah, rasa ingin tahu menghalalkan segalanya. Bukan hanya tentang...