Saya menulis essai ini karena tuntutan realitas, juga tuntutan nasib saya yang masih bertanya apa itu hakikat cinta. Semua pencarian tentang hakikat cinta saya sandarkan pada ilmu filsafat. Ilmu yang—bagi saya sangat bermanfaat untuk mencapai jawaban dari pelbagai macam persoalan walaupun sebagian besar orang menganggap ilmu filsafat sangat rumit untuk dipahami.
Seperti yang saya ketahui, setiap orang memiliki filosofi hidupnya sendiri tetapi tidak bisa atau belum bisa mengungkapkan juga menuliskannya. Pemikiran filsafat sama seperti senjata dan harus digunakan sesuai porsinya. Seperti halnya ketika kau pergi merantau ke luar kota dan kau pulang melihat orang tuamu bertengkar, kau tidak perlu bilang bahwa orang tuamu tidak seperti Socrates dan kau juga tidak perlu menceramahi orang tuamu menggunakan filsafat Nietzsche.
Sebenarnya, manusia lebih fokus pada eksistensi bukan esensi. Eksistensi di sini berarti perbuatan kita terhadap orang lain. Sedangkan esensi adalah hal yang pokok atau isi dari manusia itu sendiri—seperti baik dan buruk. Esensi manusia adalah hal yang sukar dijelaskan dan absurd karena manusia lahir dengan keadaan tidak pasti baik dan tidak pasti buruk. Maka, pembentukan baik-buruk manusia terdapat pada eksistensinya sebagai manusia yang baik atau buruk. Dan tentang baik-buruk? Tentu semua orang tidak ingin menjadi buruk: menjadi pelacur, menjadi copet, atau sebagainya—semua itu eksis (ada) karena tuntutan keadaan.
Esensi manusia akan terbentuk dari eksisnya manusia itu sendiri. Jika kau selalu berbuat baik pada semua orang, tentu semua orang pun akan menganggapmu baik dan sebaliknya. Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat untuk dirinya sendiri. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri itulah mengapa manusia bisa mencintai, tidak seperti hewan atau tumbuhan.
Mencintai, pada dasarnya adalah kebebasan untuk mencintai. Tetapi kebebasan itu adalah kutukan yang membuat manusia gelisah. Kebebasan adalah kutukan berarti kita bebas mencintai siapa saja namun harus siap menanggung resikonya serta harus siap bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang dianggap tidak baik dalam cinta.
Dan cinta itu sebenarnya tidak semegah yang banyak orang bayangkan. Cinta itu rumit, sesederhana itu. Cinta adalah konflik karena membuat sepasang kekasih saling terbelenggu dalam keinginan-keinginan—yang secara tidak sadar berusaha saling 'mengobjekkan' satu sama lain dan keduanya berniat menjadi subjek.
Dalam cinta, satu jumlah satu sama dengan satu. Cinta adalah pertemuan antar subjek yang ingin mengobjekkan yang lain. Seperti halnya ketika pacarmu mengucap: "Aku mau kamu pakai baju merah." Kalimat sederhana yang sering kita jumpai dalam perkara cinta. Kalimat itu adalah pembuktian bahwa subjek berusaha mengobjekkan seseorang yang dia akui sebagai kekasih. Dan kau menuruti pacarmu, menggunakan baju merah setiap Minggu. Di situlah kebebasan akan hilang. Kebebasan sebagai individu sudah tidak ada. Kamu tidak bisa menjadikan dirimu sendiri. Berusaha menjadi 'aku' yang lain agar bisa dicintai dan tidak ditinggalkan.
Cinta adalah tanda kegagalan menjadi subjek, atau menjadi diri sendiri. Cinta adalah pengekangan kebebasan. Semua itu karena satu tujuan dan satu alasan: harapan untuk bisa memiliki. Dan puncaknya adalah hasrat seksual di atas ranjang yang menjadikan manusia turun level menjadi tubuh dan daging. Memang, dalam cinta seperti itu kita masih bisa eksis tetapi bukan sebagai diri kita sendiri.
Ketika seseorang sekali atau selamanya masuk ke dalam cinta, maka seseorang itu seharusnya terhindar dari kebencian, kemarahan, juga kejelekan. Cara pandang dan kehidupan orang itu akan berubah. Kau tahu pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini? Adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta.
Manusia lahir di dunia untuk memberi dan menerima cinta. Rumusan ini sangat tepat dengan apa yang diberikan Tuhan kepada manusia: cinta. Karena dengan cinta kita bisa memanusiakan manusia. Cinta adalah ekspresi orang yang mencintai. Cinta membuat seseorang memiliki tujuan—yang dicintainya. Tetapi, cinta sangat dekat dengan penderitaan. Penderitaan adalah bagian penting untuk mengenal cinta. Mustahil bila kita mengenal cinta tanpa mengenal luka. Jika orang tidak ingin menderita untuk mengenal cinta, taruhlah orang tersebut bukan seorang pecinta melainkan seorang egois yang berusaha memiliki cinta.
Tidak ada ruginya untuk kita mencintai. Pelajaran terpenting dari cinta—meskipun harus menderita adalah mengalahkan ke-aku-an dan ego kita. Sakit sejati adalah membunuh ego kita sendiri. Inilah yang menjadi penyebab salah kaprah cinta—ego. Sehingga manusia bernafsu merumuskan cinta dengan konsep masing-masing yang menurutnya paling benar dan orang lain salah.
— Asu (Adam Sudewo)
KAMU SEDANG MEMBACA
Filsafat Cinta
RomanceSebuah essai tentang cinta melalui sudut pandang filsafat.