[0] - Prolog

10 5 0
                                    

"Lo yakin mau pacaran sama gue?" tamyaku tak percaya pada pria yang ada di hadapanku kini.

Ia mengangguk. "Udah berapa kali gue bilang, gue suka sama lo."

"Suka doang? Kalo suka doang mah ngapain lo ngajakin pacaran sama gue. Bukannya lo juga suka sama pohon? Kenapa nggak pohon aja yang lo ajak pacaran?" tanyaku heran.

Atas dasar apa ia menembakku hari ini. Dengan alasan bahwa ia hanya 'suka' padaku? Tak perlu repot-repot ia menembakku bila hanya dilandasi rasa suka belaka. Anaknya Bu Ita si mba kantin aja katanya suka sama gue. Ngapain gue harus nerima dia kalo alesannya cuma sekedar suka? batinku merutuk.

Ia menghela napas, lalu tersenyum manis yang (lagi-lagi) membuat hatiku terenyuh sambil memegang bahuku. "Gue mau kasih semua kasih sayang yang sekiranya lo perluin yang nggak bisa lo dapetin dari orang lain. Semua rasa kasih dan sayang gue kasih sama lo."

"Lo nggak mau bilang cinta?" tanyaku aneh. Ia sudah sangat manis hari ini —bukan hanya senyumannya. Di hadapan matahari pagi yang berterang indah ia menyatakan rasa sukanya.

Ia menggeleng. "Cinta itu cuma kata-kata dari orang yang romantis. Kan lo bilang ke gue kalo lo nggak suka orang yang romantis."

Aku mengangguk-ngangguk dengan muka sok serius. "Terus kenapa lo nembaknya jam sembilan begini? Lo nggak tau ya, kalo jam segini tuh waktunya kuntilanak ngejemur," ujarku sambil melirik jam tangan yang melingkar di lenganku.

"Terus harusnya kapan? Dimana?" tanyanya dengan raut wajah sok mikir.

"Di Pantai Losari gitu, di saat matahari tenggelam," jawabku asal. Aku mengingatnya dari lagu dangdut yang sering kudengar dari kamar Lala.

Ia tertawa. "Kan aku sengaja ngajak kamu jam segini. Sekalian tadi kita jogging. Jogging 'kan capek abis itu aku kasih kamu surprise."

"Aku nggak ngerasa kaget tuh. Buktinya aku nggak ngerasa kaget. Kecuali kamu ngasih aku uang dua belas juta kaya yang di uang kaget," balasku merengut.

Ia menggaruk kepalanya yang terlihat tidak gatal. Lalu menyengir kuda kebingungan. "Ya udah deh aku kasih kamu ini ajah deh," ujarnya sambil memberikan sebuah kantong plastik.

"Gue buka ya," ucapku sambil menerima bungkusan plastik itu.

Dan ... waw. Isinya sangat mengejutkan. Satu paket novel seri The Montrumologist edisi bahasa Inggris. Asli! Empat buah buku yang sangat aku impikan untuk memilikinya.

"Terimakasih," jawabku menahan kegirangan yang sudah membuncah dan (untungnya) masih bisa ditahan agar tidak melompat kegirangan. "Ini baru namanya surprise."

"Sama-sama. Kamu seneng kan?" tanyanya dengan sirat senang yang sangat kentara dalam mata cokelatnya.

Aku mengangguk. "Gue lebih suka kaya gini, daripada satu bucket bunga yang sama sekali nggak berguna."

"Nggak berguna?" tanyanya sambil menautkan kedua alisnya.

"Iya, nggak berguna. Udah layu abis itu ... dibuang. Kan sayang. Kalo buku, bisa dibaca terus dipajang. Kan indah ngeliatnya, menurut gue."

"Bener juga nih pacar gue," ucapnya sambil mengacak rambutku lembut.

Aku mengerutkan keningku. "Sejak kapan gue mau jadi pacar lo?" tanyaku heran. Cih, pede sekali dia.

"Sejak kamu nerima hadiah dari aku," jawabnya polos. Aku suka tatapannya saat ini: polos dan hangat.

"Berarti lo nyogok gue dong," ujarku sambil memasang raut wajah pura-pura heran.

Ia tampak kebingungan. "Nyogok. Lo ngasih gue ini buku biar gue nerima lo. Apa artinya lo nggak ikhlas ngasih ini ke gue?" tanyaku menjelaskan dengan berpura-pura mengintimidasinya.

Ia terlihat kaget dan menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Nggak kok. Aku ngasih ke kamu ikhlas kok. Lillahi ta'ala."

Aku tertawa. Uh, ekspresinya saat ini sangat lucu, sampai-sampai aku gemas melihatnya. Ekspresi polos dengan sejuta tatapan hangat yang terpancar dari wajahnya adalah hal yang paling aku sukai darinya. Jauh berbeda saat aku pertama kali mengenalnya. Datar dan ... misterius.

"Gue bercanda kok. Jangan cemberut gitu, jadi pengen ... "

"Cium?"

"Nabok lah. Masa iya gue mau nyium lo yang nggak pernah mandi apalagi kalo hari minggu." Ia mengerucutkan bibirnya.

"Jadinya lo mau nggak jadi pacar gue?" Tiba-tiba ia kembali menanyakan perihal tersebut.

"Hm."

"Yeay!" Ia melonjak kegirangan dan memelukku sangat erat. sampai orang-orang yang ada di sekitar kami menatap kami aneh.

"Akhirnya, Biru jadi pacar Babang—"

"Sst!" Aku menyela ucapannya.

"Kenapa? Aku kan mau ngasih tau dunia tentang hubungan kita," tanyanya heran.

Aku menjawabnya sambil berbisik. "Ngga boleh, itu namanya spoiler. Nanti cerita kita nggak ada yang baca karena udah ketebak."

"Oke," jawabnya sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Kamu nggak mau bilang I Love You gitu ke aku?"

Aku menggeleng. Ia tampak hendak membuka mulutnya sebelum ucapanku kembali mendahuluinya. "Karena motto kita adalah: pasangan Aromantis."

"Eh, sejak kapan hubungan kita ada motto-nya gitu? Aku nggak pernah bilang tuh ke kamu."

"Gue yang bikin ini. Kenapa, nggak suka? Ya udah, nggak suka mah nggak usah pacaran sama gue," paparku cepat.

Benar dugaanku, raut wajahnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. "Iya aku suka. Tapi aneh aja. Tapi bener juga sih, kalau dipikir-pikir bener juga."

"Bener apanya?" tanyaku heran.

"Kita ngga romantis."

"Itu sih lo aja. Masa nembak cewe pagi-pagi begini," cerocosku menyangkal ucapannya. Padahal, aku sendiri yang menyatakan hal itu, hihihi.

Ia menggaruk kepala bagian kepalanya yang terlihat tidak gatal. "Iya juga sih. Tapi kamu juga nggak romantis. Masa pacar ngomongnya aku-kamu kamu malah jawabnya lo-gue."

"Kita nggak sekalian bikin visi dan misi?" lanjutnya dengan wajah seperti sedang berpikir.

"Lo kira kita mau diriin sekolah bikin visi misi?!"

"Iya ya, jadi motto kita apa?" tanyanya antusias.

"Hm?"

"Ayo dong ngomong bareng-bareng," ucapnya geregetan. Tapi masih belum luntur semangatnya.

"Pasangan," ucap kami berbarengan.

"Aromantis." Tepat setelah kami menyelesaikan ucapan kami. Kami berpelukan. Ya, sebenarnya pria-ku yang memelukku terlebih dahulu. Sangat erat. Walau akhirnya aku pun membalas pelukan. Ah, persetan lah dengan yang menatap kami aneh, toh juga kami tidak berbuat mesum.

Aromantis.

(A)romantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang