[5] - Langit, eh, atau Elang?

2 0 0
                                    

Kulangkahkan kakiku dengan senyuman secerah mentari pagi sambil menelusuri lorong yang masih lumayan sepi. Tumben sekali pagi ini rasanya aku semangat sekali untuk bersekolah. Aku memasuki kelasku, belum ada orang. Dan kebetulan hari ini adalah jadwalku untuk piket kelas. Dengan semangat aku mengambil sapu yang ada di pojok kelas, dan mulai menyapu kelas.

"Tumbenan lu mau nyapu, Ru." Seorang wanita datang sambil melihatku aneh. Siapa lagi kalau bukan Linda si seksi kebersihan yang paling rajin datang pagi hanya untuk mengomentari kebersihan kelas.

"Hehe, lagi pengen ajah," jawabku.

Semua barisan sudah kusapu bersih. Huh, melelahkan. Aku kembali berjalan ke kursi pojok dimana tempat dudukku berada. Sekitar tiga puluh menit lagi bel akan berbunyi dan itu akan terasa sangat lama bila hanya berdiam diri menunggunya.

Aku keluar kelasku. Omong-omong, aku harus kemana sambil menunggu bel berbunyi? Kantin? Tidak, tadi aku sudah sarapan. Oke, mungkin aku harus menuju perpustakaan, mudah-mudahan sudah buka.

Datang pagi-pagi ternyata tidak menyenangkan. Lebih seru datang terlambat, karena ada sensasi berbeda bila sedang buru-buru dan panik. Perpustakaan sekolahku ada di lantai dua gedung dua. Dan kelasku sama-sama dilantai dua tapi berada di gedung yang berbeda, gedung satu. Aku tidak perlu turun ke lantai satu, berjalan ke gedung dua, lalu naik lagi ke lantai dua. Karena aku hanya perlu berjalan lurus melewati jembatan pemisah antara gedung satu dan dua, ya, walaupun dari ujung ke ujung tapi setidaknya aku tidak perlu naik-turun tangga.

Dan syukurlah perpustakaan sudah di buka. Kulihat Pak Bowo —penjaga perpustakaan— sudah duduk siaga sambil mengamati para pengunjung yang masih sepi.

Aku menyapanya, dan hanya dibalas dengan senyuman seadanya —bibirnya selelalu menekuk ke bawah, jikalau ia tersenyumpun hanya terlihat kumisnya yang terangkat sedikit. Tapi sialnya, lagi-lagi tempat favoritku sudah ditempai orang lain. Dan orang itu adalah orang yang sama dengan orang yang menempati tempatku kemarin. Kalu tidak salah namanya ..., ah, payah! Lagi-lagi aku lupa namanya.

Orang itu melihatku saat aku menatap nanar tempat favoritku. Ia tersenyum dan tangannya melambai-lambai (yang sepertinya) kearahku.

Takut salah-salah orang, alias takut ia sedang memanggil orang lain yang ada di belakangku. Aku menengok ke belakang dan memastikan bahwa tidak ada orang di belakangku. Mungkin karena melihat aku menengok ke belakang tidak jelas akhirnya ia memanggilku.

"Kak Biru, sini," panggilnya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong. Dan ragu-ragu aku menghampirinya.

"Kakak masih inget aku kan?" Ia tersenyum manis. Lihatlah, bahkan ia masih terlihat kekanakkan padahal sepertinya ia seusia denganku.

Aku mengangguk ragu. Memang secara harfiah aku mengingatnya —sebagai orang yang telah menempati tempat favoritku— tapi aku hanya lupa namanya, tapi bukan berarti aku benar-benar lupa 'kan?

"Kamu kan ... um ..." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal mencoba mengingat namanya. Erlang? Rangga? Elang? Atau siapa sih namanya?

"Langit kak. Atau Elang, e-l-a-n-g," ejanya masih menampilkan senyum manisnya.

Elang. Sampai-sampai ia harus mengeja namanya agar (mungkin) aku mengingatnya. Lagipula ada apa sih dengan otakku? Aku selalu lupa dengan nama-nama orang yang baru saja kukenal. Entah salah pelafalan, ejaan, bahkan benar-benar lupa namanya. Aku perlu mengulangnya atau bertemu dengan orang itu dua atau tiga kali, sampai aku benar-benar menghapal namanya. *** (kelemahan mengingat nama)

"Lo itu sebenernya kelas berapa sih? Kok manggil gue kakak? Kan gue udah bilang, jangan panggil gue kakak," ucapku setelah aku benar-benar menyimpan namanya dalam memoriku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(A)romantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang