Jauh sebelum Ceye dan Ladin menghadapi konflik yang membuat keduanya sempat memutus hubungan berbulan-bulan, Ladin sudah kenal dengan orang tua Ceye.
Lebih dari kenal malah, karena orang tua Ceye terutama mamanya sudah menganggap Ladin sebagai anak perempuannya sendiri. Karena Kak Yura tinggal di Jakarta bersama suaminya, mama jadi merindukan sosok anak perempuan yang periang dan mampu menghangatkan suasana rumah. Jadi begitu tau Cakrawala, anak bungsunya, sudah memiliki pacar, mama yang rajin mendesak kapan Ceye mengajak Ladin ke rumah.
Bagi Ladin, pertemuan pertamanya dengan orang tua Ceye adalah taruhan masa depan. Kemungkinannya cuma dua, orang tua Ceye suka atau justru tidak suka padanya.
"Bentar, jadi habis beli kue, kamu langsung jemput mama kamu ke stasiun?" tanya Ladin dengan mata melebar.
Ceye yang sedang mencoba memahami apa beda bolu cokelat karamel dan cokelat tiramisu hanya mengangguk.
"Aku ikut?" tanya Ladin lagi.
Ceye mengangguk lagi.
Ladin menggeleng-geleng takut. "Enggak deh ya, aku pulang ke kosan aja."
Ceye kali ini menoleh. "Ikut," ujarnya singkat.
"Duh nggak usah, ya? Ini udah sore lagian, nanti aku baliknya kemalem--"
"Ntar aku anter pulang," potong Ceye. Kemudian seluruh badannya yang menjulang menghadap Ladin. "Enaknya cokelat karamel atau cokelat tiramisu?"
"Ngg... cokelat tiramisu."
"Oke," Ceye kemudian mengambil dua buah kotak bolu dan berjalan menuju kasir tanpa memedulikan Ladin.
Ladin menganga. Ceye pasti sengaja menyudahi obrolan mereka sebelumnya.
"Ceye..." panggil Ladin seraya menarik ujung kaos Ceye. "Aku nggak usah ikut jemput mama kamu ke stasiun, ya?"
Ceye menyingkirkan tangan Ladin dari ujung kaosnya dan menariknya pelan. "Ikut, Ladin."
"Tapi, kan...." Ladin memandangi penampilannya saat ini yang jauh dari kata rapi. Siang ini dia baru selesai survey tempat pameran di Dago Atas lalu menerjang teriknya sinar matahari dengan ojek ke percetakan untuk mengambil spanduk. Menyadari bahwa tubuhnya telah diterpa polusi dan dosa dunia, Ladin merasa dirinya tak pantas menampakkan diri di depan mama Ceye. Belum lagi baju yang dikenakannya jauh dari keanggunan. Hari ini Ladin cuma memakai kaos polos yang dipadu dengan jeans dan Converse. Sudah, itu saja. Mama Ceye apa tidak kaget melihat anaknya bawa-bawa manusia kucel sepertinya?
"Kalo kamu maksa aku ikut, aku ke kosan dulu boleh nggak? Mandi dulu," Ladin menawarkan pilihan.
Ceye menggeleng. Sebersit senyum jahil tercetak di bibirnya. "Kenapa? Lagi jelek?"
Ladin mendelik. "Gue rebus ya lo!"
Ucapan Ladin ternyata cukup keras untuk sampai di telinga ibu-ibu yang sedang mengantri di kasir. Ceye tertawa tanpa suara, menertawakan muka Ladin yang memerah karena kata-katanya mengundang perhatian.
"Udah, gitu aja. Masih enak diliat, kok," kata Ceye pelan dengan kedua bola mata melirik pada Ladin.
Ladin meringis. "Muji apa nyindir, nih?"
"Muji, Din."
Ladin mendengus sambil menghentak kakinya pelan. "Pulang dulu, ya? Please..."
"Ntar kalo kereta mama keburu nyampe tapi kita belum ada disana gimana?"
"Ya udah aku nggak usah ikut kalo gitu. Gampang, kan?"
"Ikut."
"Ah... kamu jangan ngeselin, dong!"