01

14 2 0
                                    

Salvia memang gaib di kelas. Tidak ada yang memeduliannya kalau bukan urusan kelas. Tidak pula terlihat menonjol, baik di jalur positif maupun negatif.

Namun, bukan berarti dia kebal dari hal-hal yang berbau melanggar peraturan. Seperti tidak mengerjakan tugas dan terlambat masuk sekolah.

Ia terbiasa sampai di sekolah lima menit sebelum bel berbunyi sampai lima menit setelahnya. Jarang sekali ia datang pagi-pagi. Dan untungnya sampai saat ini ia baru sekali dapat hukuman karena terlambat.

Salvia tidak perlu menyapa teman sekelasnya, karena ia betul betul betul yakin hal itu tidak perlu. Mereka, apabila sudah asyik dengan gerombolan masing-masing dengan topik hangatnya, tidak akan memedulikan sapaan yang menginterupsi, apalagi sapaan itu berasal dari mulut seorang Salvia.

Gadis itu menyapu pandangannya ke seisi kelas mencari bangku kosong—dan wajah baru tentunya.

Bangku strategisnya—bangku ujung belakang dekat jendela—masih kosong, tetapi siswa baru nihil, tak ia temukan bahkan ujung rambutnya.

Jadi, apakah Sera semalam ngibul?

Salvia menepis pikiran negatifnya. Sera itu jarang nimbrung di grup kelas, sekali nimbrung paling kalau ada hal penting. Kecil kemungkinannya jika ia bercanda semalam. Jadi Salvia berharap si murid pindahan ini datang bersama wali kelasnya nanti.

Namun, hingga bel berbunyi bersamaan dengan masuknya wali kelas—beliau memang setepat waktu itu—tidak ada siswi baru yang mengiringinya.

Salvia tersenyum kecut. Mungkin memang sudah takdirnya untuk duduk seorang diri selama semester dua ini.

Selepas mengucap salam dan berbasa-basi sedikit, Pak Roni mulai mengabsen.

Nama-nama mulai disebut. Mulai dari yang berawalan huruf a, b, c, dan seterusnya.

"Salvia Valer–"

Saat namanya dipanggil, suara ketukan pintu menginterupsi. Salvia yang sudah berdiri pun terpaku melihat seorang pemuda masuk kelas sambil cengengesan.

Melihat seragam putih abu-abunya yang sedikit lain, Salvia menyimpulkan bahwa dialah si murid pindahan yang dinanti-nantikannya.

Ketika pemuda itu menoleh ke bangku ujung—dimana seorang gadis tengah berdiri kaku—buru-buru Salvia mendudukkan diri.

"Halo, nama gu–saya Arfel Geraldi, bisa dipanggil Arfel." Dia mengenalkan diri tanpa ada yang memerintahkan.

"Sudah begitu saja? Tidak mau menjelaskan alasanmu terlambat di hari pertama masuk sekolah?" tanya Pak Roni menyindir.

"Ah iya, maaf Pak, dan teman-teman juga kalau saya telat. Tadi harus ngantri di koperasi buat beli atribut sekolah. Terus muter-muter nyari toilet."

Salvia menghela napas panjang. Sudah tidak ada harapan baginya mendapat teman sebangku. Melihat betapa si anak baru ini sama bobroknya dengan yang lain.

Ia meletakkan kepalanya di atas meja lesu. Menatap ke depan tanpa minat.

"Baiklah, kamu duduk di ...," Pak Roni celingukan mencari bangku kosong. "Mau ambil meja lagi atau duduk sama Salvia?"

Arfel kembali menengok ke meja Salvia yang tengah melayangkan tatapan memerotes. Walau ia hanya diam.

"Sama Salvia aja, Pak."

"Ya sudah, nanti kalau kamu berubah pikiran bisa ambil meja lagi."

Arfel mengangguk lalu berjalan menuju bangku Salvia dengan senyuman kecil—yang menurut Salvia tampak seperti seringai.

Hal tersebut membuat gadis itu mendelik kecil merasa aneh dan ..., terancam?[]

SalvageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang