Bab II. Erfan Airlangga atau Erfan Apilangga?
"Nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi." Nana mulai pembicaraan mereka saat motor supra fit modif itu mulai berjalan membelah kerumunan orang-orang yang akan pergi shalat Maghrib.
"Yah bisalah Jambi kan cuman sebesar daun kelor. Udah 7 tahun yah nggak ketemu Na." Iya 7 tahun, terakhir ia bertemu Abi pun saat mereka berpapasan memilih baju lebaran di Lippo. Jikapun reunian Nana pasti menyaring teman akrabnya saja, bukan pria tapi wanita semuanya. Contohnya saja si Diana atau Mira yang ia belum dengar kabar pasti mereka saat ini.
"Iya juga yah." Tiba-tiba Abi menggerakan motornya.
"Eh Bi kenapa oleng gini?" Tanya Nana khawatir, yaiyalah khawatir jalan dari 3 menit tadi bagus saja lalu kenapa oleng sendiri? Walah jangan-jangan onderdil motornya sudah usia lanjut ini. Abi menjawab pertanyaan khawatir Nana dengan tawa renyahnya.
"Aku ngetes aja, ternyata badanmu makin gembur ketimbang SMA dulu." Kampret, ingin rasanya Nana kini mencekik leher jerapah pria di depannya kalau saja mereka tak dalam kondisi pengemudi dan penumpang.
"Iya, berat badanku sekarang naik turun dari 64 ke 69 macam itu terus." Celoteh Nana agak keras karena angin yang melawan laju motor Abi. Abi lagi-lagi tertawa kelewat renyah. Apanya yang lucu?
"Bahahah demi apapun yah Na, cewek biasanya itu nggak mau ditanyain tentang berat badannya lah kamu malah ngomong sendiri tentang berat badanmu. Eh iya kamu udah berumah tangga sekarang?" Lama pertanyaan Abi ia undur jawabannya.
"Belum ketemu jodohnya." Jawab Nana sepelan angin yang berlawanan.
"Mau sampe kapan Na? Kamu itu udah kelewatan umur lagi buat nikah. Cepetan gih sana susul Diana." Ceramahnya, Nana berdecak tak percaya. Seingatnya dulu Abi orang yang pendiam jikapun akrab ia akan akrab dengan sesama jenisnya, mereka sama dalam hal ini walau hanya sekali pernah satu kelas tapi Nana cukup mengenal sosok penyendiri berwajah innocent ini.
Pintar dalam pelajaran IPA lalu takut jika disentuh gadis SMA centil yang menguji keimanannya.vHha, waktu memang mengubah seseorang. Ini sudah 7 tahun loh. Mengalirlah pembicaraan mereka sampai ke masalah pribadi. Mulai dari pekerjaan Nana lalu rumah wanita itu dimanaLangit mulai oranye di ufuk senja, raut wajah gadis itu mendadak muram sendiri bila ingat kepergian mendadaknya. Abi yang 'mengengkangi' koper berbahan plastik terkelupas milik Nana tak mendengar lagi celotehan wanita itu.
"Kamu nggak nanya aku kerja apa?" Tanya Abi balik.
"Hm?" Nana tersadar dari lamunannya ternyata kepergian mereka sudah di daerah 16.
"Bisa nggak yah aku diterima sama calon mertuaku kalau punya kerjaan seperti ini?" Tanya Abi biasa saja namun walau Nana tak tahu air muka pria itu ia paham betul bagaimana seorang pria menahan beban mengerikan pada bahunya terutama jika ia tulang punggung keluarga maupun ingin segera menikah. Kalau di desa, pekerjaan apapun bagi wanita-wanita yang akan dipersunting tidaklah masalah asal mereka tahu saja cara memamahbiakkan ternak atau mengurus kebun besar seperti sawit dan kebun kecil seperti tanaman pisang.
Namun ini kota, mental mereka dalam menikah jelas lebih diuji ketimbang mental menikah pria di desa. Mankanya jaman sekarang berbondong-bondong pria matang mempersunting istri di pelosok negeri jika pendidikan serta pekerjaan mereka kurang berbobot diterima wanita kota.
Nana tahu darimana padahal punya pengalaman membawa seorang pria ke rumah pun ia tak pernah lakukan? Puluhan novel pernah ia koleksi di kamarnya dan kini telah dikiloi oleh sang Ibu usai wanita paruhbaya itu bosan melihat santapan all day para tikus got itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
RomanceBertemu denganmu lagi, bukannya udah tertata rasa malu dan suka ini tapi aku semakin jatuh karnamu. -Nana Alfarisi