Bab.V Contoh Camer ‘Idaman’
“... Aku harus gimana dong?” Nana menutup penjelasannya pagi ini pada Diana yang hendak bersiap-siap ke gereja.
“Astaga!? Kok bisa kayak cerita novel-novel gitu sih Na?? Mungkin si Erfan beneran suka juga sama kamu...”
“Ana, dasi polkadotku mana?” tanya suara bass dari dalam perumahan megah di Puri Mayang. Mendengar hal itu Nana langsung mundur.
“Ntar aja deh aku inbox atau sms kamu yah. Ibadahnya jauh lebih wajib bye Dian.” Diana mengangguk sedih sambil melambaikan tangannya pada Nana yang sudah ditunggu ojek langganannya.
Tujuan keduanya saat dapat pergantian libur adalah ke rumah... Keluarga Mira.
**
Baru saja hendak masuk ke pagar rumah keluarga Mira, tiba-tiba ia mendengar suara ribut agak serak khas wanita itu. Nana menyipitkan mata saat melihat siluet seorang wanita seorang wanita dengan pakaian olahraga badminton keluar dari rumah Ibunya.
“Enak aja dia nger—“ Nana melambaikan tangannya pada Mira yang sibuk mengoceh sendiri.
“Eh? Nana?!” Mira langsung menghampiri Nana.
“Masuk yok.” Melihat penampilan wanita itu sepertinya Mira sedang terburu-buru.
“Nggak usah. Kamu mau latihan badminton yah?” tanya Nana. Mira langsung keluar dari pagar.
“Bukan Na, kemaren tuh yah aku kalah taruhan bola sama si Abi terus hukumannya hari ini dia nyuruh aku nemenin dia main badminton lawan sepupu dia sama istrinya. Gedeg banget aku sama tuh orang.” Nana mengulum senyumnya.
“Yaudah deh, ntar aku inbox aja masalahku.”
“Apa? Na ceritain aja! Woy Na!!” aduh cerita kasmaran yang nyentrik. Ia sampai lupa kalau dirinya juga punya masalah.
Sekarang rumah si Amoy Sari.
**
Nana mengelus dua sisi tubuhnya yang kedinginan, wanita itu tak sangka jika mendung tiba-tiba menyelimuti langit padahal hari barulah menjelang dzuhur.
Tadi ia ke rumah Sari dan suaminya yang ada di Nusa Indah namun dengar dari tetangganya pasangan muda itu sedang mengunjungi Jamaah yang datang dari Thailand sehingga Nana mau tak mau berbalik arah entah kemana.
“Pak ke Smanseb aja lah.” Ucap wanita itu lemah tanpa tujuan yang jelas.
Sesampainya ia di Smanseb ia kembali mengingat masa-masa indah dan buruknya di sekolah ini. Sekolah yang terletak cukup jauh dari hiruk pikuk jalan raya tersebut kelihatan ramai oleh motor siswa yang terparkir tak teratur di dekat pagar sekolah. Hm? Kenapa ramai padahal ini hari minggu.
Nana berinisiatif masuk, meski sedikit malu lataran tidak pernah menjadi alumni disini.
“Eh kayak kenal. Nanah kan?” mendengar nama panggilan itu Nana langsung berbalik sambil menatap datar wajah pria di belakangnya. Ia tahu siapa itu.
“Pak tiga ratus kali saya jelasin. Nanah itu cairan kuning yang datang setelah terluka parah atau jatoh, heran yah 10 tahun nggak ketemu manggilnya masih gitu aja.” Ucap Nana datar. Pak Afif adalah satpam legendaris sekolah ini, dari awal pembangunan sekolah beliau sudah bekerja disini. Ia tertawa pelan sehingga kedua bagian kumisnya bergerak naik-turun.
“Ahahahaha Bapak sering beberapa tahun lalu lihat kamu jalan-jalan di sekitar sekolah. Mau lihat Ibu nggak? Kan dulu kamu sering curhat tentang cowok di paskib sama dia.” Ujar Pak Afif menggoda padahal pria itu tak tahu siapa orangnya.
“Eh kalian masih tinggal di rumah dinas sekolah Pak?”
“Iya, anak-anak Bapak aja yang sekarang kepisah karena pada sekolah jauh semua.” Nana berOh ria sambil berjalan di belakang Pak Afif.
**
Cukup lama Nana dan Ibu Hanif berbicara, setiap 5 menit sekali Nana pasti mencomot satu pisang goreng di atas piring hingga habis.
“Maaf Bu pisang gorengnya abis.” Ucap Nana konyol, mendengar hal itu Ibu Hanifah tersenyum memaklumi.
“Udah 10 tahun kamu nggak ngunjungin Ibu Na, paling datang pun nggak main ke rumah. Lain kali bawa oleh-oleh dari kampung yah hehe.” ucap Ibu Hanifah, Nana mengangguk antusias.
“Oke lah Bu, di kampung sekarang lagi panen jengkol besar-besaran ntar kalo Mamak saya mau ke Jambi saya nitip bawain empingnya 1 kilo khusus deh buat Ibu.” Celoteh Nana ceria.
“Wihh beneran? Oke deh Ibu tunggu. Oh iya kamu dulu pernah ikut paskib kan? Anak-anak sering latihan tiap minggu disini jadi yah rame banget.” Jelas Ibu Hanifah, oh karena itu banyak siswa yang berkumpul di lapangan. Nana mengangguk paham kemudian naik ke atas tangga hendak keluar dari sekitaran sekolah.
Ketika ia mencapai tangga terakhir, wanita itu menghela nafas puas. Ternyata ia tidak gendut-gendut amat, faktanya? Ia bisa menaiki anak tangga dari tiap bagian kelas yang terpisah seperti ketika Nana SMA. Bagian anak tangga teratas membuat Nana kembali melihat aktivitas siswa yang ia pikir hanya nongkrong saja.
Sekarang mereka tak hanya mengobrol sambil duduk di salah satu tangga menuju lapangan bendera atau duduk di dekat tiang bendera melainkan sudah baris-berbaris seperti halnya anggota ekskul paskibraka. Nana langsung mencari tempat pas untuk melihat aktivitas mereka, nah?! Kursi dekat pohon besar menjadi pilihan tepat.
Selain bisa diduduki dengan nyaman kursi yang berjumlah tiga buah terbuat dari adonan semen itu juga strategis untuknya melihat latihan mereka barang sebentar saja.
Melihat dua pria dan satu wanita pengarah latihan tersebut Nana ingat dulu ia pernah ikut paskib namun hanya sebentar karena tujuannya masuk bukan untuk menjadi salah satu kandidat pengibar bendera di kantor gubernur bahkan tingkat nasional Nana hanya ingin...
“Mau masuk paskib lagi Na?” Nana nyaris terjungkal ke depan.
Ia menatap kaget pria yang baru akan ia sebutkan namanya itu. Erfan Airlangga dari bangku memanjang lain duduk sambil mencobloskan minuman 1000 yang ia beli di toko Ibu Hanifah sebelumnya, pria itu tak mempedulikan betapa keras degup jantung Nana saat ini.
“Y... Yah enggaklah.” Jawab Nana melepas kegugupannya meski sedikit.
“Ngapain kamu kesini?” tanya Erfan sembari menyeruput minuman rasa anggur di tangannya hingga tinggal setengah.
“Cuma... Cuma kepengen aja kok.” Goblok!? Kenapa masih gugup juga jawabanmu Na!! Batin Nana malu.
“Kepengen atau emang lagi ngikutin aku?” lagi-lagi Erfan bertanya diselingi senyum setengah.
“Apa? Nggak ada kok ak—“
“Fan!? Sini bantuin kita!!”
Merasa terpanggil Erfan hanya melihat Nana yang terpotong ucapannya sebentar lalu berdiri tanpa berbalik barang sesaat. Apa tadi ia baru ‘dikacangi' ?
Merasa benar jika ia ‘dikacangi' Nana menundukkan wajahnya sambil menyumpahi diri sendiri “Demi betis tak seimbangku, aku tak akan pernah menyanggah over lagi pancingan pria itu. Dasar Apilangga!?”
**
15 menit ia masih duduk nyaman di tempatnya bukan untuk melihat Erfan yang dengan lagak keren mengajari junior-juniornya melainkan saat ini ia sibuk memandangi lingkungan sekolahnya.
Ia pernah satu kelas dengan Erfan ketika wanita itu menginjak kelas 11 Ipa 2. Dari remaja pria itu memang punya kharismanya sendiri yang membuat siapapun kagum bahkan menyukainya diam-diam.
Wajahnya terkesan innocent bersama pembawaan ramah dan terkadang membuat gadis di sekolahnya salah artikan kebaikan pria itu, mungkin India dari sang Ibu dan darah setengah Arab dari sang Ayah membuatnya semakin sempurna terlebih tingginya kala itu sekitar 173cm padahal baru berumur 17 tahun. Usai mengingat kelas yang pernah mereka duduki bersama, Nana kembali fokus melihat latihan baris-berbaris di lapangan.
“Nasyid itu memang asyik yuk kita mainkan wo oh wo oh~” Nana terkesiap kaget saat suara seorang pria mendekatinya tapi dari berbagai arah ia tidak melihat sosok itu. Seingatnya Erfan tak bisa bernyanyi, lalu siapa?
“Nanaaaa!?” Nana melonjak sedikit dari tempat duduknya, bila dia masuk dalam penggambaran hiperbola pastilah wanita gendut ini akan menggemparkan seisi jagad raya sekarang. Dari sampingnya seorang pria bermata menyejukkan tersenyum lebar ke arahnya, Nana terus mengelus dadanya yang berdetak kencang.
“Idih lebay banget gitu aja kaget, masih ingat Abang nggak?” Nana berusaha mendeskripsikan wajah pria itu. Mulus namun ia kelihatan cukup berisi, hm... Ah!?
Siapa?
“Meh segitunya nggak inget Na? Kami dari Evo~~” sahut yang lain keluar dari persembunyian mereka atau mungkin Nana tidak tahu sedari tadi banyak wajah tak asing baginya.
“Dari ekskul nasyid?!!!” Nana hampir memekik kaget.
**
Dari kejauhan Erfan menatap risih suara memekik tertahan itu. Sudah ia duga, pasti si gendut. Wanita itu tidak sendiri lagi kini. Ada beberapa pria dan wanita yang mengerubunginya.
“Bukannya mereka dari ekskul nasyid Fan?” tanya Alvin, senior 2 tahun di atasnya. Erfan kembali mengacuhkan kerubungan semut tersebut dan mengedikkan bahunya acuh.
“Weh kayaknya bangkit lagi tuh ekskul lumutan. Buktinya si Igor, Nanda, Deri sama si Putra juga ikut kesini. Kita kesana yok?!” ajak Alvin antusias.
“Males, Abang aja. Aku mau ngajarin yang kelas 10 haluan kanan sama kiri.” Tolak Erfan.
“Macam mana pulak kau?! Dulu suka kali kau kunjungi itu ekskul. Ku duluan yah, kalo berubah pikiranmu langsung aja nyusul.” Pamit Alvin.
“Biar kita bertiga aja Bang. Anak kelas 10 udah mulai paham kok.” Erfan terpaksa mengulas senyumnya kemudian mau tak mau ikut Alvin yang telah berjalan duluan.
**
“Nanda paling inget banget sama kau Na, kita-kita aja cuman inget wajah kau doang. Apa... Karena nama kalian awalnya sama-sama ‘N’ eciee~” goda Igor, senior 2 tahunnya. Nana menggeleng tak membenarkan.
“Kayak bocah aja kamu Bang.” Ejek Nanda pria berisi yang melihatnya lebih dulu tadi.
“Pengen kita seperti dulu lagi Na.” Kali ini Novi teman sekelasnya yang sekarang sukses sebagai anggota nasyid wanita EVO.
“Aku turut senang waktu lihat kalian tampil di Jakarta bahkan bikin album mini bareng senior lainnya. Semoga adik-adik kita juga bisa nerusinnya.” Harap Nana tulus, beberapa adik kelas mengangguk semangat.
“Coba kamu nggak pindah waktu itu Na, kita pasti bisa bersama.” Kali ini Tita teman sekelasnya dulu.
“Dan kamu pasti tiap tahun nggak sms Abang terus Na.” Semua orang kontan tertawa mendengar sahutan dari Nanda sehingga Nana memerah malu karenanya.
“Katanya mau dirahasiain?!” desis Nana yang duduk disampingnya. Nanda malah semakin tertawa lebar.
**
“Woy Gor ganteng kali kau sekarang? Nggak kukira cepatnya kau pulang dari Quebec.” Alvin yang berdarah karo langsung menepuk pundak Igor yang juga masih berdarah karo.
“Aku ke Jambi mau lihat perkembangan grup nasyid sama basket aja. Sekolah metodismu macam mana? Masih ngejar S2 kau?” Igor yang muslim keturunan kembali bertanya. Alvin memang tetap mengejar pendidikannya, karena keluarga cukup banyak di Jambi sehingga pria itu harus bolak-balik Medan-Jambi dalam rentan waktu 2 tahun lebih.
“Puji Tuhan tinggal praktek lapangan aja aku.” Mereka asik mengobrol tak sadar jika Erfan dan Nana saling adu ‘laser’.
Kenapa pria itu terus menatapnya? Nana berpura-pura tak tahu selama lebih dari 40 detik tapi... Erfan tetap melihatnya aneh!!
Dialog mata.
‘Kenapa?’ Nana memberanikan diri beradu tatap dengan Erfan lagi.
‘Itu.’ Nana mengerutkan dahi bingung, dagu Erfan mengarah kemana?
‘Apa?’
Tak tahan lagi Erfan tiba-tiba mengambil lengan kanan Nanda yang bersandar nyaman pada pundak kiri Nana sejak tadi. Lengannya yang diambil tiba-tiba membuat Nanda menatap Erfan bingung.
“Bang udah lama nggak ketemu yah?” Erfan langsung menukar poker face datarnya ke mode senyuman overdosis. Nanda yang terkejut hanya mengangguk kaku sambil membalas jabatan tangan pria itu. Kemudian...
Erfan menyalami semua orang tanpa tertinggal seorang pun.
**
Hari sudah semakin sore, Nana baru ingat kalau wanita itu sedang menjemur pakaiannya dan jika tidak dibangkit secepatnya hujan pasti akan membasahi semuanya jauh lebih basah daripada ketika ia memerasnya secara manual terlebih mendung serta angin yang kuat berembus tak pelak membuatnya sungguh khawatir.
Syukur saja teman dan senior satu ekskulnya juga mulai pulang.
“Na nginep dimana kamu sekarang?” Nanda menghentikan mobilnya di depan pagar sekolah. Nana yang sedang menelepon ojek langganannya sontak mematikan panggilan.
“Aku sekarang ngekos Bang.” Jawab Nana.
“Ngekos? Kamu netap lagi di Jambi Na??”
“Iya Bang, baru dua minggu lah.”
“Oh yaudah biar Abang anterin aja.”
“Hah? Nggak searah Bang tempat kita.”
“Ciee yang tahu banget~ yuk ah keburu ujan nanti.” Nana berterima kasih sebelum masuk ke dalam mobil.
**
Erfan pun bersiap akan pulang setelah junior-juniornya pamit. Ponselnya berdering ketika pria itu berjalan pelan di belakang senior dan adik kelas beda setahunnya. Ia merogoh celana olahrganya kemudian menyentuh ikon hijau.
“Waalaikum salam Ma.”
“...”
“Ngapain ke rumah?” Erfan berhenti melangkah. Alvin dan yang lain ikut berhenti di depannya.
“...”
“Nggak usahlah Ma, stok makananku masih banyak kok apalagi waktu bikinin skesta pabrik baru mi karakter di Jambi.” Erfan langsung menjauhkan ponselnya ketika sang Ibu mengomeli cara hidup kurang sehatnya.
“...”
“Besok? Bawa Na... Ck, dia sibuk besok Ma. Halo Ma. Ngucapin salam pun enggak.”
**
Nana menunggu Erfan di depan kantor POM daerah simpang rimbo dengan cemas. Meski kenal Pak Heri baru dua sampai tiga minggu tapi ia tahu jenis direktur cabang pengisian minyak bensin seperti apa pria tua itu.
Dingin dan tak tersentuh, jadi ia cukup pesimis dengan jabatan Erfan sebagai arsitek yang akan menjemput ‘kekasih palsu' nya menemui ‘calon mertua' entahlah wanita itu dan izin kerja hari ini.
Aduh kenapa mereka belum keluar juga? Gumamnya khawatir, Pak Bahrul mulai mendekati
Nana. “ Tenang, Pak Heri kenal kok sama Mas Erfan jadi...”
“Oke makasih Om.” Pak Bahrul belum menyelesaikan ucapannya, Erfan sudah keluar bersama Pak Heri dengan senyum sumringah.
“Kirim salam sama Mamamu yah, maaf Om nggak bisa sering main ke rumah. Tahu sendirilah gimana kerjaan Om ini?” ucap Pak Heri tak enak, Nana merinding disko karenanya. Ini kali pertama wanita itu lihat Pak Heri tersenyum.
“Siaplah Om, Nana ayok.” Ajak Erfan.
“Hah? Oh~ permisi Pak Heri, Pak Bahrul.” Pamit Nana.
“Eh Er.”
“Apa.”
“Aku masih pakek seragam kerjaku loh.”
**
“Beneran nggak apa-apa kayak gini? Ntar Mamamu risih lagi.” Erfan mulai menyetir melewati kendaraan lain.
“Itu yang aku mau, jadi dia mikir dua kali buat nyariin aku calon istri sekarang.” Jawab pria itu enteng. Nana menautkan jemarinya gugup, sampai kapan ia harus mengikuti permainan ini?
“Terus tadi kenapa Pak Heri ngebolehin saya libur kerja hari ini?”
“Yah aku ngomong aja kamu itu kacung sehariku.” Ka... Ka apa tadi katanya?
Nana menatap pria itu tak suka, Erfan melihatnya sekilas. “Yah enggaklah, ngomong apapun itu bukan urusanmu. Yang penting semakin cepat kamu dan aku nyelesain urusan kita, semakin cepat kita nggak ketemu lagi kan?”
Dering ponsel jadulnya terus bergema di dalam mobil Erfan. Pria itu sampai 3x mengalihkan fokus mengemudinya dengan tatapan tak suka.
“Kondisikan tolong, berisik tahu nggak?” desis Erfan sambil tetap melihat jalanan di depannya. Nana meringis pelan, ia membuka kunci ponselnya. Lagi-lagi Mira, Diana dan Sari. Pasti karena curahan hatinya yang belum kesampaian pada ketiga sahabatnya itu. Baru akan menelepon salah satunya, ponsel wanita itu kembali berdering.
“Waalaikum salam Mir.”
“...”
“Ntar deh aku ceritain, sekarang aku lagi kerja. He em, assalamualaikum.” Lampu merah di perempatan jalan samping POM bensin tinggal 20 detik lagi.
Tak lama kemudian Diana ikut menelepon.
“Iya Dian?”
“...”
“Eummm, aku masih sibuk kerja. Nanti yah?” setelah itu Sari ikut bertanya mengapa mencari dirinya kemarin.
Semua temannya selesai menelepon. Erfan langsung berujar. “Susah yah jadi orang sibuk.” Nana lagi-lagi meringis.
‘Semuanya karena kamu Er!?’ desahnya dalam hati. Kenapa dari sekian banyak wanita cantik yang bisa didapatkan pria setengah Arab setengah India itu malah memilih dirinya yang serba kekurangan dapat masuk dalam permainannya.
“Hm? Rumah orangtuamu bukannya di Jambi seberang.”
‘kletak!?’ mendadak dan secara mengejutkan Erfan malah menyentil dahinya pelan.
“Kerja kelompok bikin cairan asam dan basa di rumah siapa?” sambil mengelus dahinya sayang Nana berpikir.
“Rumah Bibimu.”
“Terus rumah Bibiku dimana?”
“Mendalo.”
“Itu tahu.” oh~ tunggu... Kenapa Nana jadi sebodoh ini?
**
“Kok ke Citra Raya?” Nana bertanya lebih kepada dirinya sendiri. Ia ingat rumah Bibinya Erfan tepat di depan Universitas Jambi.
“Ke rumahku.”
“Di Jambi kamu tinggal sama Bibimu kan?” tanya Nana, Erfan hanya mengangguk sekilas. Nana pun ingat bagaimana Erfan berangkat selalu terlambat karena rumahnya ada di Mendalo.
“Sekarang aku punya rumah sendiri.” Nana membulatkan matanya kaget. Rumah sendiri? Ah~ jika ingat kerja pria itu sih wajar. Sungguh pria idaman... Ibunya.
“Oh~” Erfan tergelak saat melihat ekspresi lesu wanita itu.
“Kenapa? Kamu galau karna nggak bisa dapeti calon suami kayak aku?” Erfan, selalu dia yang diejek.
“Enggak sih saya mikir aja tentang celotehan Mamak di rumah. Dia bilang kalo pria itu diukur dari seberapa banyak hartanya. Tapi bagi saya harta seorang pria belum tentu menjamin kebahagiaan istrinya, jika saya berhasil menikah sebelum umur 30 tahun nanti.
“ saya sebisa mungkin akan nyari calon suami yang biasa-biasa saja dan bikin diri saya nggak tertekan bersamanya.”
Erfan menyembunyikan rasa takjubnya sebagai pendengar misi Nana Alfarisi. Ia mengangguk dalam hati bahwa perempuan seperti Nana sangat sukar dicari dewasa ini.
Erfan bertanya, siapa wanita dewasa ini yang tak suka harta?
Siapa pula wanita di dunia ini yang hanya menginginkan kesederhanaan dalam gubuk cinta mereka bahkan untuk setiap harinya makan sepiring berdua??
Jika sangat banyak yang mengangkat tangannya, cukur saja bulu kaki pria setengah bule ini sekarang juga.
Mereka akhirnya sampai di depan salah satu rumah mewah di Citra Raya City nan luas, pria itu menatap sekilas rumah hasil jerih payahnya tiga tahun belakangan ini agar semua cicilannya lunas dan sekarang telah berhasil ia wujudkan sebagai salah satu target hidupnya. Kemudian ia mematikan mesin mobilnya dan turun lebih dulu.
Nana mengikuti pria itu usai melepas sabuk pengamannya.
“Siap untuk neraka perdanamu Na?”
“Hah?” Nana tak mengerti.
“Maksudku bertemu calon mertua pura-puramu.” Mendengar lanjutan Erfan Nana sontak bergidik ngeri.
Sekelebat ingatan memacu kerja otaknya lebih cepat dari biasa. Ia tak pernah lupa bagaimana cara wanita yang ditemuinya sebanyak dua kali beberapa hari laku menatapnya tak suka serta meremehkan, tak pelak pula wanita itu berdecak merendahkan ketika ia menuturkan kisahnya pada keluarga Erfan yang lain.
Seharusnya ia tak makan hati jika ingat wanita tua itu, namun pikirannya yang lain pun seolah berpikir bahwa ini nyata. Calon mertuanya pun memang benar menjadi masalahnya sekarang, namun... Ia lebih baik diam saat ini.
“Oh kalian sudah datang?”
“Hm, aku ke atas dulu Ma.” Jawab Erfan ringan.
“Lah? Katanya ketemu klien hari ini??” tanya sang Ibu bingung.
“Nggak jadi, Pak Adit belum bisa terbang ke Jambi hari ini. Na betah-betah yah sama Mama.” Nana yang disebut namanya hanya mengangguk kaku.
Ibu Erfan mirip seperti anaknya, setelah poker face ramahnya terpampang kini Nana bergidik takut dengan poker face datar wanita itu. “Ayok ke belakang.”
Ajaknya dingin, sukar tersentuh.
**
Nana nyaris menganga takjub. Ada 1,2,3, 8 kantong kresek besar di atas pantry dapur yang belum dibuka oleh pemiliknya.
“Tante beli ini semua untuk acara sedekahan yah?” tanya Nana ramah, wanita setengah baya itu mendelik tak suka ke arah Nana. Apa dia salah bertanya yah.
“Kamu lihat kulkas Erfan kosong kok nggak diisi? Coba lihat, isinya cuman aer putih terus ini, lemari dapurnya pun cuman diisi beberapa dus mi hampir kadaluarsa. Kamu yang memang nggak peduli atau kamu pengen Erfan mati muda?!” celoteh lebar wanita tua itu sehingga Nana menunduk dalam. Kenapa ia seperti dimarahi calon mertua sebenarnya?
“Maafin saya Tante.” Hanya itu yang dapat ia katakan.
Ibunya Erfan terus melihat wanita itu dari atas hingga bawah. Nana masih menggunakan seragam pom bensin warna merah putihnya tak lupa topi pula.
“Kamu kerja di POM?” cecar si wanita tua semakin mendesis.
“Iya Tante.” Jawab Nana sekadarnya.
“Astaga!? Erfan dapat dimana wanita beginian ya Allah.” Saat itulah harga dirinya terinjak. Benar-benar hancur.
Ia tak boleh menangis, Nana sebisa mungkin menahan air matanya yang sakit pada pelupuk. Ia segera mengulas senyum lembut.
“Tante saya denger dari Erfan tadi kalo saya disini buat bantuin Tante masak. Memangnya kita mau masak apa?” Nana berusaha menghilangkan getaran suaranya, wanita tua yang terus komat-kamit tak jelas tadi langsung melihat ke arahnya jengah.
“Kita? Saya hanya nyuruh kamu yang masak. Denger-denger kamu datang dari kampung kan, pasti bisa masak. Masak aja tempoyak sama sambel ikan bawal. Eh iya jangan lupa isi kulkas sama barang belanjaan ini.” Titah wanita tua itu masih dalam intonasi menyebalkan. Nana mengangguk lemah.
Setelah wanita itu pergi Nana langsung mengeluarkan barang dari kresek pertama kemudian mengeluarkan dari kresek berikutnya. Perlahan wanita itu juga melainkan bumbu tempoyak serta dan bumbu ikan bawal yang akan ia buat.
“Kalau seperti ini balasan tak melupakanmu ... Lebih baik aku nggak ketemu kamu saat ini Er.” Gumamnya disertai air mata yang jatuh.
**
Erfan yang kini tenggelam dengan sketsa sebuah rumah milik kliennya terpaksa mengalihkan tatapannya ketika seseorang mengetuk pintu kamar pria itu. Erfan segera menutup sketsanya lalu membuka pintu kamarnya
.
“Hm? Mama nggak bantu Nana di bawah??” tanya Erfan heran. Wanita tua itu memutat bola matanya jengah.
“Aduh biar dia sendiri aja deh nyelesainnya, kalo makanannya nggak enak... Mama bener-bener nolak dia sebagai calon menantu Mama. Oh iya dapat dimana kamu perempuan macam dia? Sudah nggak berpendidikan tinggi, kerjanya nggak jelas lagi.” Mendengar celotehan Ibunya pria itu menghela nafas kasar, ada sedikit rasa geram terhadapnya.
“Kalo Mama nggak bantuin dia, aku yang akan turun sekarang.” Tak ingin memperpanjang masalah Erfan langsung saja turun ke bawah.
“Fan! Fan!!” seru Ibunya yang ia abaikan begitu saja.
**
Sial, matanya kembali berair saat ia dihadapkan dengan...
15 butir bawang merah ukuran besar. Cukup yah matanya bengkak karena mendengar penghinaan Ibunya Erfan, jangan lagi.
‘Tap tap tapp' Nana yang sudah menyusun barang di kulkas tak menghiraukan bunyi kaki pada tangga rumah Erfan. Ia hanya fokus dengan bahan-bahan di depannya, paling Ibunya Erfan yang tengah mengawasi.
“Kamu kenapa.” Tanya datar suara bariton dari belakangnya, Nana lantas mendongakkan kepala. Erfan, wanita itu sontak menyeka air matanya cepat.
“Kok nangis? Mama ngomong apa aja sama kamu??” tanya Erfan cepat dan terkesan kesal.
“I... Ini aku lagi ngupas bawang merah jadinya yah... Yah nangis.” Nana berusaha memperbaiki kerja jantungnya yang bertalu kencang. Kenapa pria ini tepat berada di belakangnya? Tubuh gendut wanita itu kontan terlindungi dengan tinggi Erfan. Perkiraanya yang tanpa melihat ke belakang, ia hanyalah sebatas dadanya.
“Kubantuin yah?” Pria itu berpindah ke sampingnya. Bukannya malah normal detak jantungya kini semakin kuat sebab ucapan lembut si Erfan Airlangga. Sejak bertemu Erfan ,belum pernah pria itu absen berbicara dengannya tanpa menaikkan volume suara tapi kini? Oh Tuhan sadarkan Nana!?
“Tahu apa kamu tentang masak? Nggak biar saya aja, Mamamu nyuruh saya kok yang masak.” Tolak Nana menghilangkan kegugupan menggilanya. Erfan menaikkan salah satu alisnya.
“Ngeremehin yah? Kamu nggak ingat aku pernah ikut sispala dulu, bahkan aku pernah juara lomba masak.” Erfan kembali meninggikan suaranya ponggah.
“Saya bukan penggemar beratmu yah sampe ingat kamu pernah ikut ekskul apa aja.” Desis Nana menyelesaikan kupasan terakhirnya.
“Cih, mataku nggak buta Na. Setiap aku ada perlombaan atau pergi tanding kamu pasti nyempil diantara siswa lainnya.” Ingat Erfan.
“Jadi kamu meratiin saya waktu sekolah yah? Kok... Kok.” Ketahuan.
“Mau berkokok kamu sayang? Yaiyalah aku ingat, secara badanmu paling besar dan tinggi sendiri. Aduh Na jangan ngeles kaya bajaj Jakarta kamu.” Remeh Erfan, ia tak peduli wajahnya merah lataran pria itu ingat kelakuan ‘penguntinya’ sekarang antara malu dan berdebar dipanggil sayang. Tiba-tiba pria itu menempelkan bagian bawah hidung Nana dengan bumbu merica giling yang ia dapatkan dari atas meja.
“Ih!? Apaan nih!! Er kamu dapet dimana!!” Nana melihat bubuk coklat agak putih yang menempel pada bagian bawah hidungnya.
“Ini.” Dengan polos dan terus tertawa Erfan memperlihatkan bubuk dengan bacaan ‘lada kita'.
“Erfann!!! Ha... Hatchimm!!” Nana terus bersin karenanya. Erfan sontak melihat judul bumbu ditangannya, ia langsung membulatkan mata tak tahu.
“Maaf, maaf. Aduh ingusmu banyak banget. Tunggu, tisu... Tisu.” Erfan apiiii!! Apilangga!!
Nana terus bersin-bersin di dapur sedangkan Erfan kelimpungan sendiri. Heleh mana tisu di ruang tamu!!
“Habis, ck. Nggak ada cara lain.” Erfan sontak kembali ke dapur.
“Na, sini...” panggil Erfan sedikit ragu akan keputusannya. Nana yang masih bersin-bersin hanya melayangkan tangannya menyuruh Erfan menunggu.
Bulat dengan keputusannya, Erfan langsung melangkahkan kakinya lebar mendekati wanita itu. Ia tadah kedua tangannya tepat di hidung wanita yang menunduk itu lalu memencet hidung kecilnya pelan.
“Mau keluar lagi nggak?” tanya Erfan khawatir. Ini semua karenanya.
“Aduh! Kamu ngapain sih ngeletakin tanganmu disitu, kena kan? Ha... Hatchim.” Erfan langsung sigap menutup hidung wanita itu.
“Ini kan salahku.” Gumam Erfan sepelan suara palung lautan.
**
Nana menghidangkan masakannya setelah insiden ‘ingus-mengingus' tadi. Meski pada akhirnya Erfan langsung berlari ke kamar mandi dan mencuci tangannya menggunakan desinfektan campur karbol campur hand wash 7x berturut-turut seperti membasuh najis saja tapi pria itu tetap makan di sampingnya.
Usai menghidangkan makanannya di depan ‘Yang Mulia Ratu Misil' Nana kembali duduk di samping Erfan. Yah biar aktingnya sebagai calon menantu lebih real, kata Erfan sih.
Nana yang masih menyentuh hidungnya yang sakit membuat Erfan berbisik pelan padanya. “Kamu bersin sekali lagi, aku nggak mau ngorbanin tanganku untuk kedua kalinya.”
“Siapa yang suruh kamu ngelakuin aksi heroik gitu.” Ucap Nana tak terima.
“Ayok makan. Fan sendokin nasi Mama dong.” Mereka pun mengakhiri perdebatan singkat itu. Sungguh hari yang melelahkan bersama calon mertua palsu terlewat ‘idaman’ para calon menantu diluar sana.
Nana padahal biasa saja jika ini terjadi padanya terlebih ia sedikit berharap bahwa semuanya nyata namun kembali lagi pada fakta sebenarnya. Erfan tidak mencintainya, Erfan hanya minta tolong padanya dan mungkin nanyi Erfan akan memberinya imbalan atau yang sangat menggiurkannya lagi dengan menjalani permainan kelas ringan ini Nana bisa lari dari pesona Erfan untuk selamanya kemudian mencari calon suami lain tanpa bayang-bayang pria yang sedang makan disebelahnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
RomanceBertemu denganmu lagi, bukannya udah tertata rasa malu dan suka ini tapi aku semakin jatuh karnamu. -Nana Alfarisi