Part.4

35 3 0
                                    

Bab.IV Runyam
Setelah mengacaukan hidupnya yang nyaris move on belakangan ini. Sudah lewat 3 hari ternyata ia mengabaikan surat kaleng dari pria misterius sekaligus hilangnya Erfan usai negosiasi tak jelasnya.

Tuan arsitek memangnya mau nego barangnya yang mana pada wanita gendut tak punya apa-apa ini? Jam menunjukkan pukul 5 sore waktunya wanita itu pulang ke rumah. Jadwalnya memang tidak seperti kebanyakan karyawan POM lain, ia datang sekitar pukul 8 pagi kemudian pulang pukul 5 sore mungkin karena dirinya seorang wanita sebab dilihat-lihat lagi yang sering berjaga ketika malam itu karyawan pria kebanyakan.

Nana hampir melompat kaget saat sebuah mobil Hyundai memblokir jalannya hendak menunggu ojek. Ia mengabaikan mobil tersebut namun klakson memekakkan nyaris membuat Nana terlonjak.

"Ya Allah ini orang masih waras nggak sih?" Gumam Nana was-was. Tak lama setelah klaskon memekakkan itu seseorang keluar dari dalamnya, menggunakan jaket bertudung las hitam putih dan masker anti debu pria itu pun mendekatinya.

"Aku udah nunggu kamu berjam-jam di dunkin donut lalu besoknya lagi di Uncle K, besoknya lagi di Starbuck tapi kamu kayak pura-pura mengabaikan tulisanku huh?" Cecar pria itu tiba-tiba. Nana sontak menjauhkan tubuhnya ngeri. Ini pria gangguan jiwa yah?

"Anda siapa?" Tanya Nana takut.

Pria itu dengan geram membuka maskernya kasar.

"Udah kan?"

"E..."

"Jangan banyak omong lagi, sekarang kamu ikut aku dulu."
**

Nana melilitkan tangan kelilingnya dengan telunjuk gugup. Kali kedua dalam hidup dia bisa sedekat ini berdiri dengan Erfan. Sekarang mereka di Piza Hut dan ini kali pertama bagi Nana tidak hanya lewat kawasan strategis itu melainkan ikut masuk ke dalam tempat yang sering muncul di tv-tv Jambi.

"Perasaan waktu ke POM mobilmu beda, jadi kamu yang ngirim surat it—“ ucap Nana pelan sembari menundukan pandangannya ketika banyak pengunjung berpakaian modis menatap sangsi pada baju gantinya yang lusuh.

"Diam aja bisa nggak?" Nana meringis dalam hati mendengar desis pelan balasan dari pria itu.

"Maaf." Gumamnya membalas.

Erfan mengedarkan pandangannya dulu kemudian berjalan ke salah satu kursi berpasangan yang ada di pinggir jendela kaca tempat ini. Erfan duduk sedangkan Nana ragu untuk mengikuti Erfan.

"Kalo kamu mau jadi kacungku yaudah berdiri aja kayak gitu terus." Kata Erfan menohok hatinya membuat Nana menahan keinginannya untuk menangis.

Wanita itu menghela nafas pelan lalu ikut duduk berhadapan dengannya.

"Mbak permisi!?" Panggil Erfan pada salah satu pelayan. Pelayan itu pun menghampiri tempat duduk mereka.

"Dua pizza ukuran medium yah. Yang pakek rich sosis seloyang bungkus aja terus satu yang pakek keju mozarella campur bakon sapi." Pelayan itu mencatat pesanannya kemudian berlalu pergi.

"Jadi kamu yang bikin tulisan di kertas lecek itu beberapa hari ini? Saya pikir orang iseng jadi saya abaikan aja, Maaf." Nana melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong, Erfan memutar bola matanya bosan.

"Meski ada yang iseng sekalipun seharusnya kamu cek kebenarannya dulu. Takut sendirian yah bawa suami atau pacarmu memastikan." Ucap Erfan dengan nada kasar.

"Saya nggak punya semua itu."

"Apa? Pfft apa dugaanku bener?? Kamu betah jomblo sampe sekarang jangan-jangan lagi nunggu jawaban dariku 9 tahun yang lalu huh?! Serius itu?" Tanyanya mengejek.

Harga diri Nana terinjak karena pertanyaan mengejek yang Erfan lontarkan, wanita itu namun berusaha terlihat normal walau matanya sudah panas sejak tadi.

"Intinya aja deh sekarang Er kamu... Mau ngomongin apa sampe ngirim surat nggak jelas itu sama saya? Mungkinkah tentang komentar saya di facebook—" Nana enggan panjang lebar lagi. Erfan berhenti menertawakan Nana yang gagal move on lalu membuat ekspresi wajahnya angkuh kembali.

"Aku minta tolong sama kamu." Nana mengerutkan dahi bingung. Hell setelah tak bertemu sangat lama pria ini datang-datang minta bantuan? Bahkan setelah Erfan membuatnya sakit hati di Solaria??

"Untuk?"

"Selfie satu kaliiii aja sama aku." Hah? Jadi ini nego yang Erfan ketik 3 hari lalu.

"Hah?" Melihat ekspresi Nana, Erfan paham benar kalau wanita ini belum paham juga dengan maksudnya.

"Oke aku ceritain yah. Jadi gini, kamu tahu kan Mama ku keturunan India muslim? Aku anggap kamu tahu. Dia ngebet banget pengen nikahin aku sama keluarga Khan dari Bangladesh."

"Hubungannya sama saya apa?" Erfan yang berhenti menghela nafas saja langsung dipotong oleh Nana yang jengah sendiri.

"Sabar dulu, ini mau ngomong. Kamu tahu kan gimana orang sana tipikal wanitanya? Yahhhh~~ kayak kamu gini." Nana sontak menutup tubuhnya yang besar tinggi.

"Gendut maksudnya?"

"That's right." Kata Erfan melebarkan senyum odol nya.

"Oh. Yaudah sekarang aja, setelah ini saya mohon jangan ganggu hidup saya lagi dan perlu kamu ingat Er kalau saya bahkan nggak ingat lagi kejadian konyol saya yang pernah ngungkapin perasaan sama kamu. Mana ponselmu? Kita perlu mengambil gambar berdua kan??"

Erfan menganga takjub untuk sementara waktu lalu ia memiringkan senyumannya kemudian menarik tangan gembul wanita itu untuk berdiri.

"Oke, kamu duduk di sebelahku."

Usai mengambil foto mereka, Nana langsung berdiri dari duduknya yang nyaris menempel dengan tubuh Erfan. Selain mereka bukan siapa-siapa, Nana juga tahu diri bahwa sedari tadi para pembeli lain menatapnya mencemooh karena kondisi tubuh mereka yang bagai langit dan bumi.

"Sudah kan? Saya pulang duluan Er."

"Eh tunggu," Nana yang hendak berbalik pun mengurungkan niatnya.

"Makan pizanya dulu." Perintah Erfan.

"Nggak perlu." Jawab Nana sebisa mungkin bersikap acuh. Erfan mengeluarkan tawa tak percaya mendapati respon wanita itu.

"Anggap aja bayaran karena ngambil waktu hampir maghrib kamu." Paham juga pria ini. Baiklah tak ada salahnya menerima rejeki, hitung-hitum hemat goreng tahu bacem dan kerupuk malam ini.

"Sejak kapan kamu kerja di POM simpang rimbo." Erfan membuka obrolan cukup bersahabat. Setelah mengacaukan hatinya akhir-akhir ini Erfan merubah sifatnya dengan aneh. Oh iya~ Nana hampir lupa kalau dia sudah dijadikan alat agar pria itu tak dijodoh-jodohkan oleh Ibunya.

"Hampir sebulan."

"Oh. Gajinya berapa."

"Sesuai UMR." Erfan ber-oh lagi.

"Enak yah cuman ngisiin bensin orang dapet gaji perbulan sesuai UMR Jambi." Nana tahu Erfan sedang menggodanya dengan ketikan wanita itu di grup beberapa hari yang lalu, terlihat jelas dari bibirnya tengah menahan getaran ingin mengeluarkan tawa ejekan.

"Saya nggak ingin bahas komentar itu lagi Erfan Airlangga." Desis Nana kesal.

"Oh~Oh santai dek, Abang cuman ngeluarin pendapat abang aja." Sialan.

"Ini pesanannya Mbak/Mas." Tanpa izin dari pemiliknya Nana langsung mengambil yang berbungkus kresek.

"Udah kan? Saya harap cuman hari ini kita ketemu sebagai orang yang saling kenal. Makasih, permisi." Nana langsung berjalan pergi. Melihat hal itu Erfan membulatkan bola matanya tak percaya.

"Mbak pizanya dibungkus aja. Cepetan. Na! Nana!!"

Erfan menutupi sebagian wajahnya malu. Hilang sudah harga dirinya sebagai pria tampan dengan suara tenang—kenapa otaknya memilih wanita tadi sebagai ‘bahan' agar ia lari dari kenyataan bahwa Ibunya sejak tiga tahun yang lalu selalu memojokkannya dengan wanita-wanita bercadar?

Sebenarnya ia tak menentang syariat wanita bercadar yang dimuliakan Tuhan namun ia hanya belum siap untuk sekarang menikah. Golden age nya masih panjang untuk ditempuh, nanti kalau perlu ia akan mencari sendiri wanita bercadar dengan iman melebihi dirinya... Nanti.

“Na!?” setelah mengambil piza nya dan menggesekkan kartu kreditnya pria itu menyusul kepergian Nana.

Wanita itu sudah berdiri di tepi jalan sedang menunggu ojek. Erfan membuang nafas jengah kemudian menyusul wanita itu lagi.

“Kamu tahu wanita murahan nggak?” cecar Erfan tiba-tiba. Nana langsung menolehkan kepalanya kaget, apa lagi maunya pria ini setelah mereka tak ada kesepakatan apapun.

“Apa?”

“Wanita murahan itu datang saat diajak, terus pergi gitu aja setelah uang ada di tangannya.” Mendengar sindiran pria itu, Nana mencelos hatinya.

“Jadi kamu pikir saya seorang pelacur?” masih dengan nada tenangnya, Nana coba mengatur emosi. Kenapa dulu ia bisa mencintai pria ini sampai tak bisa move on yah?

“Oke ambil ini.” Nana memberikan seloyang piza yang Erfan berikan padanya di dalam restoran. Melihat reaksi Nana, Erfan tertawa hambar jadinya.

“Kamu balikin pun lebih rendah lagi derajatmu. Mungkin...” Nana buru-buru mengambil plastik dengan lambang piza hut tersebut nyalang. Sore berganti malam, Nana kini duduk termenung sembari menatap sekotak piza berbau daging sapi panggang pemberian Erfan. Ia sama sekali tak menyentuhnya, nafsu makanpun menguap entah kemana. Yang ia renungkan dari tadi adalah tentang pertengkaran mereka. Tak seharusnya sebagai wanita yang berhasil move on—di depan Erfan saja, ia memutuskan pergi karena tak tahan dengan mulut setajam pisau tersebut. Seharusnya Nana harus menghadapi pria itu.

Miris sekali ekspetasinya yang pernah menganggap Erfan Airlangga juga mencintainya. Dasar jones kelamaan, tawanya miris sambil berdecak iba dalam hati.

“Er, Er kalo kamu jijik karena cewek gendut kayak aku pernah naruh perasaan sama kamu, seharusnya nggak kayak gini juga kamu ngebalas.” Cara pria itu menguji rasanya. Cara pria itu ingin membuat dirinya yang durja semakin jatuh sejatuh-jatuhnya.

‘Tok Tok Tok' Nana langsung berdiri dari duduk lesunya.

“Siapa?” tanyanya sebelum membuka pintu. Orang tersebut masih mengetuk kuat pintu rumah sewanya, takut-takut wanita itu mengintip dari balik jendela rumah sewa.

Seorang wanita berjiilbab organza merah muda sedang menunggunya sembari melihat jam berulang kali, wanita itu terlihat cukup berumur. Siapa? Nana langsung membuka kunci kenop pintunya kemudian melihat jelas wanita dengan pembawaan bijak tersebut.

“Gimana mau jadi mantuku kalo bukak pintu aja 2 menit telatnya.”

Baru sore ini ia menyatukan jari kelingking dan telunjuknya gugup, sekarang wanita itu kembali melakukannya. Bukan karena Erfan tapi kali ini karena Ibunya!? Hari apa ini?Kenapa hari ini rasanya ia seperti memakan sepuluh permen nano-nano saja??

Di dalam mobil Nana menundukan pandangan, sesekali ia biarkan matanya melihat kondisi di sekitar. Nyonya berwajah khas penduduk timur tengah itu terus menelisik tubuhnya.

“Apa gerangan Tante ke kos-kossan saya?” Wanita yang ditanya malah membuka kipas kayu ukiran tanah lomboknya angkuh.

“Setelah dari bandara saya buru-buru kesini buat ngelihat wajah kamu. Berapa lama memangnya kamu sama Erfan pacaran?” pacaran? Keringat dingin keluar dari pelipis dahinya. Ia memang pernah berharap akan bertemu Ibu Erfan nanti apalagi punya hubungan seistimewa itu, namun sekarang? Jangankan dikenali, pacaran pun belum. Jujur ia masih berharap.

Mobil tetap berada di depan rumah sewa sambil di jaga ketat oleh sopir Ibunya Erfan serta seorang pengawalnya.

“Saya sudah kenal Erfan sejak kami SMA Tante.” Nyonya berwajah timur tengah tersebut memutar bola matanya jengah. Anak sama Ibu tak ada bedanya sama sekali.

“Yang saya tanya sekarang kamu dan Erfan sudah berapa lama ken—“

“Ma, boleh gabung nggak?” seseorang dari luar mengetuk jendela mobil 3x membuat Ibunya Erfan menyentakkan kepala geram sedangkan Nana menghela nafas lega.

Erfan menyelamatkannya. Tidak, pria itu memang pantas datang saat hal gila ini terjadi.

**

Pemandangan malam di tepian sungai Batang Hari jembatan Gentala Arsy membuat siapapun pengunjungnya senang bukan hanya karena kerlap-kerlip lampu indah malamnya saja melainkan taman kecil di sekitaran jembatan pun kian meramaikan pengunjung.

Terlebih ini malam minggu, kali pertama dalam hidup kesepian Nana diajak oleh seorang pria datang ke tempat seindah Gentala Arsy. Rasanya ia sedang berada dalam mode wanita novel atau pemeran utama drama bernuansa manisnya cinta.

Namun faktanya lain kini, ia bukan diajak kekasih impiannya dalam dunia khayalan melainkan pria yang mulai ia pikirkan sebagai rasa penyesalannya. Erfan Apilangga, iya namanya Erfan Airlangga tapi bagi Nana sifat Erfan yang baru ia ketahui setelah bertahun-tahun memuja dari kejauhan dan hanya sesekali saling memahami lalu berharap penuh keajaiban Erfan menjawab perasaannya dengan manis sekarang malah membuatnya berpikir bahwa Erfan sekadar api raksasa yang akan menghancurkannya hingga menjadi abu jika terlalu lama mencinta.

“Jangan harap yah aku ngajak kamu kesini buat pdkt atau bikin kamu kembali suka sama aku.”

“Saya nggak berpikir seperti itu kok. Saya hanya ingin penjelasan dari kamu kenapa... Kenapa Mamamu sampe ke kos-kossan saya malam ini?” Nana memberanikan diri meluapkan rasa kesalnya walau masih dalam tempo ramah seperti dia biasanya. Erfan menghelan nafasnya gusar.

“Kamu kira aku pengen dia kayak gitu? Aku nggak tahu Mama bakal senekat ini datang ke tempat kamu langsung dari bandara.” Ucap Erfan membela.

“Tunggu, dia tahu kos-kossan saya dari mana?”

“Dari aku.”

“Ya Allah kamu... Kamu bahkan tahu alamat rumah saya.” Tanya Nana sarkasme.

“Tinggal tanya Mira aja apa susahnya.” Nana menarik nafasnya gusar.

“Kenapa harus saya sih Er yang kamu ganggu?” Tanya Nana meredam emosinya sendiri.

“Karena...” Erfan menggantungkan ucapannya, Nana yang sibuk menekuk wajahnya sendiri sekarang menunggu jawaban pria itu.

“Karena temen-temen cewekku nggak ada yang badannya segendut kamu. Paling gendut pun udah berumah tangga semua.” Astagfirulla hal adzim.
**

“Karena temen-temen cewekku nggak ada yang badannya segendut kamu. Paling gendut pun udah berumah tangga semua.”

Jika Nana ingat lagi ucapan pria itu malam tadi padanya. Ingin hati menyemprotkan bensin ini ke atas lantai POM kemudian mengambil sebatang rokok hidup lalu meletakannya secara mulus dan kaboom!? Semuanya terbakar.

Namun ia tahu hal itu tak akan membuat rasa sakit hatinya reda begitu saja, mungkin mengangkat pria itu dari matras khusus pegulat kemudian menghempaskannya dalam sekali tarikan kelihatannya tak buruk dilakukan agar rasa sakit pada hatinya menghilang.

Luar biasa yah, bertahun-tahun wanita itu mencari berbagai cara untuk menjauhkan bayangan keren serta eye smile khas Erfan Airlangga ketika menjadi pemimpin anggota paskibraka di sekolah bahkan di kantor gubernur tapi apa? Hingga ingin membenci pun malah rasa sakit yang ia dapat.

Erfan menyuruhnya bersiap-siap malam ini. Ia tak mengerti bersiap pergi kemana yang pasti alasannya menerima suruhan pria itu agar ia bisa semakin ilfell pada Erfan sendiri. Contohnya saja kemarin lalu, Erfan yang saat remaja sangatlah ramah dan wanita itu inginkan juga keramahan tersebut ditunjukan padanya justru tak ia inginkan lagi sekarang karena sifat berbedanya keluar.

Baiklah, ada orang yang berkata jika kita menjauhi biang masalah maka hidup kita akan tenang namun ada pula orang yang berkata hal kontroversial .

‘Tak ingin mencintai seseorang, caranya sangatlah mudah. Dekati seseorang itu sampai kau bertanya-tanya kenapa bisa menaruh perasaanmu di luar hatinya yang tak pernah terbuka.’

**
Nana mematut dirinya di depan cermin, usai shalat isya wanita itu langsung mengenakan salah satu gaun di bawah lutut pemberian Ibunya lebaran tahun kemarin. Ada sih niat wanita itu untuk berhijab namun ia akan melakukannya nanti jika ada pria yang datang padanya dengan setulus hati, mirip lah sedikit penggalan lagu penantian berharga. Roll penggulung rambutnya sudah sepuluh menit disana, Nana langsung melepas roll nya satu-satu kemudian memoleskan bedak pink cushion beberapa kali.

Deruan mobil mendekat di depan kos-kossan Nana. Cahaya LED nya sampai menelusup di balik gorden bunga punya pemilik kos-kossan. Erfan sepertinya.

“Na...” Panggil Erfan dari luar. Nana langsung berlari ke pintu kossannya.

“Hm?” Erfan yang semakin tampan dengan kemeja kotak-kotak, jeans navy Louis serta slip on kulitnya membuat Nana tak berhenti melihat pria itu terlebih parfum gentle yang ia pakai sungguh berbau memikat.

“Aku emang ganteng kok. Kamu ngapain pakek baju setengah badan gitu?” set... Setengah apa tadi katanya.

“Nih ganti sama gamis yang aku beliin.” Gamis. Ok g-a-m-i-s.

**
‘Cklek' Nana langsung keluar dari kossannya dengan wajah tertekuk.

“Ukuran badan kamu ini berapa sih sebenarnya?” tanya Erfan menyelidik. Nana mendongak kesal.

“Double XL.”

“Eh dijawab, aku nggak nyangka perempuan mau ditanyain ukuran tubuhnya. Berarti aku salah yah?”

“Salah?” beo Nana. Erfan mengangguk sambil hendak masuk ke mobilnya.

“Iya salah. Kupikir kamu ukuran triple XL tadi.” Asem, pantas rasanya besar sekali. Dengan langkah gontai wanita itu keluar dan mengunci pintu kossannya.

Mereka hanya diam-diaman di dalam mobil. Erfan sibuk mengendarai mobilnya sedangkan Nana sibuk main game bounce tales di ponsel Xpress Music nya yang masih kelihatan seperti baru. Tapi wanita itu menunda permainannya saat dirasa mereka berhenti di sebuah restoran martabak asin tak jauh dari jembatan menuju Jambi seberang.

“Tunggu aja, aku mau beli martabak 5 kotak.” 5 kotak? Sepertinya mereka akan bertemu orang yang banyak atau gilanya lagi mereka akan menghabiskan 5 kotak martabak itu untuk apa??

Setelah cukup lama menunggu, Nana nyaris tertidur akibat pekerjaan sore ini. Tiba-tiba pintu pengemudi tertutup cukup keras dan pahanya diberi sensasi hangat bercampur panas benda dengan kantong kresek, eh apa ini?

“Malah tidur lagi. Pegangin tuh.” Nana sontak menegakkan punggung dan membola mata kecilnya.

“Sebenarnya kamu mau kemana sih?” tanya Nana, suaranya sedikit serak khas orang bangun tidur.

“Ke Jambi seberang.” Jawab Erfan tetap fokus menyetir.

“Ngapain malam-malam begini?”

“Mama sama Papa pengen ketemu kamu.”
**
Nana menarik nafasnya dalam, tangannya masih saja mengeluarkan bulir keringat yang banyak saat wanita itu baru turun dari mobil Erfan.

“Ayok lewat sini.” Saking gugupnya wanita itu tak sadar bahwa Erfan sudah berjalan mendahuluinya. Mereka masuk ke jalan setapak lorong pembatas rumah warga yang kental budaya Melayunya, Nana bahkan menahan pekikan kagetnya saat dua kucing liar bertengkar di rumah seorang warga.

“Nih.” Dalam gelapnya lorong tersebut Nana dapat melihat dari pantulan bulan salah satu tangan Erfan berbalik ke belakang. Jantung wanita itu berdebar kencang, ternyata masih ada juga sifat white prince yang ia harapkan dari Erfan.

Nana dengan malu-malu sontak memberikan salah satu tangannya.

“Kok tanganmu? Maksudku sini tiga plastik martabaknya biar aku bawa.” Martabak? Nana yang malu sendiri langsung berlari ke belakang lagi untuk mengambil 5 kantong kresek yang ia tinggalkan.

Erfan yang menyusul Nana dari belakang sontak berkacak pinggang sambil melihat gelagat kebingungan wanita itu sambil melihat isi mobil Erfan yang terparkir di depan sebuah mushollah.

“Gimana mau kebukak kalo aku nggak mencet ini.”

‘Tin Tin' pembuka pintu yang Nana pegang sedari tadi lantas bisa terbuka karena tombol kunci mobil otomatis. Nana dengan cepat mengambil seluruh kresek isi martabak.

“Ini martabaknya, kamu mau bawa tiga kan tadi?” Nana berusaha menyimpan rasa bodohnya dalam senyum konyol wanita itu. Erfan terdiam sejenak, ia paham betul wanita ini sedang menahan malu. Pria itu ambil ketiga kresek tersebut kemudian pergi lebih dulu, Nana pun menyusul setelah mengambil dua martabak lainnya.


“Pegang.” Mereka kembali berjalan di lorong itu.

“Hah?” pegang, berarti Erfan menyuruhnya membawa tiga martabak tadi tapi kenapa malah tangannya yang kosong yang ia berikan?

“Ah maksud kamu bawa tiga martabak itu? Sini.” Jawab Nana sambil hendak mengambilnya di tangan kiri Erfan.

“Ck nggak paham banget yah.” Erfan tiba-tiba menarik salah satu tangan Nana dari belakang.

“Ini pura-pura, kenapa kamu harus sebekeringat ini sih?” cecar Erfan kala mereka berjalan beriringan. Letupan lama dalam diri Nana kembali bereaksi karenanya.

**
Nana berusaha tampak santai ketika dihadapkan oleh keluarga besar Erfan di Jambi seberang. Mulai dari nenek dari bagian Ayah dan Ibunya kemudian Ibu serta Ayah Erfan yang baru sekarang ia lihat wajahnya secara langsung—dulu ia hanya lihat wajah orangtua Erfan dalam facebook pria itu yang sudah tak seaktif waktu SMA. Serta banyak keponakan Erfan, sungguh banyak.

“Nana, ini makan manisan sama kue nya.” Tawar Nenek dari bagian Ayahnya, mungkin. Nana tersenyum ramah dan mengangguk berulang kali.

“Sesuai kriteria Mama kan Pa?” dari kedua kaula muda tersebut Erfanlah yang membuka obrolan.

“Ck.” Decak Ibunya Erfan kelihatan tak suka, Nana meringis pelan. Mereka sungguh mirip.

Mengurangi rasa canggung, salah seorang saudara kandung Erfan ikut membuka pembicaraan. “Na Abang denger kamu pernah sekelas sama Erfan dulu yah?”

“I... Iya Bang pernah waktu kelas 11.”

“Oh~ gimana si Erfan pas SMA dulu? Dia bilang sama Abang sih jadi cowok most wanted gitu.” suasana sedikit melunak.

Nana menatap Erfan yang sibuk menuangkan minuman soda ke dalam gelas mereka berdua. “Memang gitu kok Bang, saya pernah lihat dulu Erfan kesusahan nyimpen puluhan surat dari kolong mejanya ke dalam tas saat hari kasih sayang.”

Erfan berhenti menuangkan soda rasa lemon ke dalam gelasnya dan kini memperhatikan Nana yang fokus menatap Abang satu-satunya Erfan, Edgar.

“Terus eummm... Dia juga dua kali ikut ngibar di kantor gubernur. Karena saya pindah ke kampung waktu hampir kelas 12 jadi saya nggak tahu kalau dia ikut ngibar bahkan di istana presiden.” Sangat jauh ternyata Nana mengetahui dirinya, dan ia kembali mendengar celotehan polos wanita itu tentang dirinya tanpa polesan kebohongan yang sudah ia beritahukan pada Nana di dalam mobil.



“kamu lulusan mana Yuk?” kali ini adik beda dua tahun Erfan bertanya, Elsa yang sudah mendahului Abang keduanya menikah fan memiliki 4 anak kecil.
“Saya? Saya cuman lulusan SMA.” Ucap Nana tak seantusias sebelumnya.

“Oh~ nyantai aja Yuk, aku juga lulusan SMA setelah kerja di kantor desa aku malah nikah dan sekarang sibuk sama kewajibanku sebagai istri. Jadi sekarang kerja apa Yuk?” Hina kah jika ia bilang kalau dia kerja di POM bensin.

“Saya...”

“Dek, Abang nggak pernah ngajarin kamu interogasi orang kayak gitu loh.” Peringat Edgar yang seorang polisi. Elsa tertawa malu.

“Kenapa kamu nggak pakek jilbab Na?” kali ini Nenek berhidung terlewat mancung memberikan pertanyaan.

“Saya sungguh ingin hijrah Nek tapi nanti jika Allah mengizinkan saya hidup sampai jodoh yang tepat datang pada saya. Saya akan pastikan saya berhijrah saat itu juga.” Ujar Nana mantap namun ucapannya malah membuat Erfan menyenggol lengan wanita disebelahnya khawatir.

Semua orang kecuali Ibunya Erfan menatap Nana berbinar.

“Ya sudah kapan kalian netapin tanggalnya?” nyaris mirip, nyaris pula serempak mereka bertanya. Erfan menyentuh dahinya pusing.

“Terlalu pintar kamu Na.” Bisik Erfan menahan rasa gemasnya.

**
“Jadi saya harus bagaimana sekarang Er?” tanya Nana gusar ketika mereka baru tiba di kossan Nana pukul 11 malam.

“Seharusnya karna kamu nggak berjilbab aku bisa nunda Mama biar nggak jodoh-jodohin aku lagi. Tapi karena kamu ngomong kayak gitu dengan bangganya... Aku pikirin lagi alasan lain. Bukan masalah nundanya!? Masalahnya itu anggota keluarga besarku disana semua Na. Ya Allah, masuk gih aku pergi dulu.” Erfan mengakhiri sambil mengacak rambutnya pusing.

“Apa? Er... Er!?”

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang