"Sepuluh menit lagi." ucap seorang lelaki seraya mengeluarkan koper hitamnya dengan elegan.Melihat bangunan mewah yang tampak nyaman lewat kaca mobilnya, ia mengangguk pelan. Tanda bahwa ini saatnya.
Dengan tenang ia membuka pintu mobil lalu menutupnya perlahan. Melihat jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya lalu menepuk pelan mantelnya yang berkerut.
Puas dengan penampilannya, ia menyeberangi jalan dengan langkah cepat lalu masuk ke hotel tersebut.
Sesekali lelaki itu menggosokkan tangan ke mantel hitamnya saat berada di dalam lift. Orang-orang kaya berbau alkohol dan parfum mahal serta wanita berbaju minim tak luput dari pandangannya.
Menjijikkan.
Lelaki itu mendesah bahagia saat ia sampai ke lantai yang ditujunya. Ia mendorong pelan beberapa orang mabuk saat keluar dari lift. Butuh usaha untuk menyingkirkan orang-orang itu mengingat mereka sedang dalam mode 'hilang akal sehat'. Dan itu cukup membuatnya jengkel.
Pintu lift tertutup. Kini, baik celotehan tak terkontrol maupun tawa sumbang tak lagi terdengar. Hanya lorong yang berhiaskan lampu-lampu oranye yang menyambutnya dalam keheningan.
Meregangkan ototnya sebentar, lelaki itu menapaki lantai setenang mungkin. Melihat nomor pintu yang dicarinya, lelaki itu memasang senyum andalannya lalu mengetuk pintu.
Tak lama, seorang wanita berambut merah menyambutnya dengan senyum menggoda.
"Hello." sapa wanita itu, membuka pintu cukup lebar.
Lelaki itu masuk, mengumbar senyuman menawannya yang terkesan dingin.
"Ini akan jadi malam tak terlupakan dalam hidupku." ucap si wanita lalu memagut bibir si lelaki yang dibalas serupa.
"Aku yakin itu." balas lelaki itu misterius.
Lalu, dalam sekejap mata lelaki itu menancapkan pisau tepat di jantung si wanita. Dengan mata membelalak wanita itu menatap si lelaki.
"Sleep tight." bisik si lelaki seraya mengelus rambut merah si gadis lalu mengecup bibir merah itu untuk terakhir kalinya.
Melihat tidak ada pergerakan yang berarti, pria berkulit coklat itu menatap jam tangannya dan menyeringai puas.
" 22.45.06. "
*****
Ada banyak hal yang Callie benci di dunia ini. Dan salah satunya adalah saat ia harus mengakui bahwa dirinya penakut.Hari-hari dimana ia sebangku dengan murid baru bernama Arden nyaris menguras kewarasan otaknya. Bagaimana tidak? Ia bahkan kelewat paranoid setiap kali lelaki itu mengeluarkan suara atau sekadar bernafas.
Bahkan Callie mulai merasa bahwa suara Arden terus terngiang-ngiang di kepalanya sepanjang hari, mencekokinya dengan kenyataan gila yang membuatnya mual.
"Apa kau baik-baik saja, Callie?"
Suara berat itu menyentak hayalan Callie. Gadis itu menoleh lalu mengangguk kaku.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Arden dengan kening berkerut.
"Apa?"
"Wajahmu pucat." ucap Arden, memegang pipi Callie lalu mendekat hingga wajah mereka nyaris bersentuhan.
"Pucat seperti orang mati." bisik Arden pelan lalu menjauh.
Callie diam sejenak. Tapi segera menoleh dengan wajah pias dan tersenyum kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grim Reaper's Prediction
Mystery / ThrillerApa yang kau lakukan jika seseorang mengungkapkan tanggal kematianmu? Apa kau akan tertawa mengejek? Atau berpura-pura tidak tahu? Atau mungkin menerimanya begitu saja? Lantas, jika kau memilih pilihan terakhir, apakah itu tandanya kau siap untu...