Aku memanggilnya Roger. Dia selalu membuat aku yang keren ini merasa lebih keren jika sedang bersamanya. Ketika kami lewat, semua mata memandang ke arah kami, tentunya dengan tatapan kagum dan wah. Jika sudah begitu, itulah saatnya aku memasang wajah paling tampan, meskipun sebenarnya aku memang selalu tampan. Kata orang – orang senyumku itu manis. Jadi, aku terus tersenyum ketika lewat walaupun kadang aku merasa sudut bibirku terasa bergetar dan kaku.
Roger memang selalu bisa diandalkan meskipun ada saat dimana dia membuatku jengkel. Yaitu, ketika dia sedang dalam mode merepotkan. Sering kali aku berpikir untuk meninggalkannya di jalanan atau menguncinya di gudang. Tapi aku tidak tega, mengingat dia sering membuatku merasa keren jika bersamanya. Dan hal itu tengah terjadi saat ini, saat kami hendak pergi ke kampung sebelah.
Di tengah jalan, tiba – tiba Roger berhenti.
"Roger? Kenapa lagi?"
Hal itu sempat membuatku panik mengingat kami sekarang berada di tengah hutan. Ya, desa sebelah berada setelah hutan ini. Ya mau bagaimana lagi, Roger sedang berada dalam mode merepotkan, jadi dengan perlahan dan sabar aku menuntun Roger ke tepi jalan. Aku duduk di samping Roger sambil berharap ada orang yang lewat. Sesekali aku melirik Roger sambil berpikir.
Tiba – tiba aku teringat sesuatu.
"Ya ampun Roger... aku lupa mengisi bensinmu!"
Gagal sudah semua rencanaku hari ini untuk menemui seseorang di kampung sebelah. Aku harus rela keringetan di tengah jalan sambil ngos – ngosan. Ini emang masalahnya si Roger. Kalau nggak mogok, ya bensinnya cepat habis. Nah, kalau udah gini, biasanya aku akan memotivasi diriku sendiri.
"Ayo Rama semangat, orang kalau sabar makin ganteng."
BRUMMM BRUMMM
Tiba-tiba, terdengar suara motor yang menurutku sudah tidak asing siapa pemiliknya. Warnanya merah mengkilat sehingga dari kejauhan saja sudah silau, ditambah dengan suara mesinnya yang aduhai. Mungkin motor itu sudah masuk ke jajaran penyumbang polusi suara di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan si Bima.
"Woy, Rama! Ngapain kamu disitu?" Nah kan, tebakanku memang tidak pernah meleset.
"Kamu nggak lihat motorku mogok?"
"Healah. Apes banget, Ram. Mogok di tengah hutan pula. Lagian kan kamu cuma diem sama motor kamu doang." Bima mematikan motornya yang suaranya aduhai lalu melepas helm. "Ngomong-ngomong, mau kemana kamu, Ram?" Tanyanya kemudian sambil mengeluarkan sisir merah dari saku jaket kulit yang tentunya imitasi.
"Ke kampung sebelah, lihat pertunjukan." Jawabku santai sambil sesekali bergidik ngeri melihat rambut Bima yang klimis, nggak kalah silau sama motornya.
"Lihat pertunjukan apa lihatin mbak mbak itu?" Bima setengah menggodaku dengan senyum anehnya itu. Itu cukup membuatku tambah jijik.
"Lihat pertunjukan, Bim. PERTUNJUKAN ! Yaudah, daripada gangguin aku, mending batuin aku aja."
"Kebetulan, aku bawa tali. Nanti aku tarik Si Roger sampai pom bensin." Tawar Bima kemudian.
"Wah, kamu benar-benar sahabat sejatiku, Bim. Tumben kamu bawa barang gituan."
"Iya. Soalnya di dekat balai desa nanti ada acara bakar - bakar. Ini tali buat ngiket kayu bakar. Nanti bantuin bawa ya!"
Aku hanya ber 'oh' ria mendengarnya. Tapi kok rasanya ada yang aneh ya.
"Loh... gimana – gimana? Cari kayu bakar buat pertunjukan besok?", tanyaku memastikan dan Bima mengangguk.
"Pertunjukan di sanur itu kan?" Bima mengangguk lagi.

YOU ARE READING
Gedebuk Love
Teen FictionAkga tidak menyadari tentang perasaan apa yang dimilikinya terhadap Roro, ditambah lagi kehadiran si manusia es bernama Bima itu semakin memerkeruh suasana. Akga memiliki firasat buruk terhadap Bima yang menurutnya hanya cari sensasi di hadapan Roro...