29. Modernisasi Hantu

44.9K 7.1K 447
                                    

***

Aruna merasakan kepalanya kian berdenyut. Rasa-rasanya, inilah kali pertama ia tertimpa masalah. Tetapi sialannya, kenapa harus seberat ini? Tidak bisakah ia mengajukan tawaran? Minimal, kurangi satu kilogram saja, biar ia bisa membuat testimoni layaknya produk pelangsing yang sedang hits sekarang.

Astaga, kapan sih ia bisa bersedu sedan layaknya pemeran utama wanita yang selalu teraniaya? Tidakkah wajah cantiknya ini pantas menampilkan kesenduhan juga?

Ck, tampaknya dewi jalang mesum di tubuhnya, sudah berubah menjadi pelawak lucu yang tak mempan dijangkit kesedihan. Ugh, ini jelas kerugian.

Entahlah, yang jelas, sekarang Aruna sedang terserang galau akut yang begitu hebat. Sembari menyandarkan kepala pada dinding lift dingin yang akan mengantarkannya sampai ke lantai di mana unit apartemennya berada, Aruna meletakan sebelah tangannya di atas perut. Ini sebenarnya adalah refleks saja, tidak bermaksud apa-apa. Tetapi karena sudah terlanjur, Aruna pun membuat telapak tangannya berputar-putar di sekitaran perutnya. Setengah membatin, berapa lama lagi sampai perutnya membesar dan semua orang akan tahu bahwa ia sedang mengandung.

"Cepet besar, plis," gumamnya mengelus perut lembut. "Siapa tahu bulan depan Victoria Secret lounching produk terbaru berupa daster unyu nan seksi. Terus kita bisa dipilih jadi modelnya. Lumayan lho honornya, buat tambahan lahiran."

Ia sudah memikirkan untuk mengajukan resign saat kandungannya mulai terlihat nanti. Mau berhenti sekarang rasanya sayang, Aruna butuh bonus dan THR untuk menambah pundi-pundi tabungannya. Tetapi, menunggu hingga beberapa bulan kedepan, Aruna tak yakin ia bisa. Suasana kantornya sudah tidak terlalu kondusif untuk perkembangan mental juga kandungannya.

Selain karena hubungan pertemanannya dan Windy kian buruk, Rafka justru memperparah suasana. Belum lagi setumpuk pekerjaan yang mulai gila-gilaan menjelang bulan puasa hingga lebaran nanti. Aruna benci bila sudah bekerja dengan stress. Biasanya, Aruna sangat terarah, ia sudah menyiapkan pekerjaannya jauh-jauh hari sebelum masuk masanya sibuk. Namun, dengan kondisi begini, bisa bangun pagi tidak lemas saja ia sudah merasa sangat bersyukur.

"Coba aja, kalau gue selebgram ya?" monolognya lagi. "Tinggal upload-upload muka cakep pakai barang sponsor dapat bayaran. Jadi, gitu jadi pengangguran pun nggak ngenes amat ngeliat isi tabungan," desahnya nelangsa.

Teringat kembali dengan percakapannya dan Rafka kemarin sore. Dan entah kenapa, itulah yang membuat ketidaknyamanan Aruna semakin terasa jelas. Aruna benci mengakuinya, tetapi harus ia ingatkan bahwa ia tidak suka berhutang budi. Karena menurutnya, hutang budi hanya akan mengekang kebebasan seseorang. Akbar adalah contoh nyata dari betapa tak sehatnya hutang budi dalam dunia nyata. Mungkin tidak semua yang begitu, namun yang terjadi disekitarnya sudah memerlihatkan gejala seperti itu.

Makanya, Aruna adalah orang yang tidak menyukai konsep hutang budi. Walau si penolong selalu mengatakan bahwa ia ikhlas membantu.

Aruna keluar dari dalam sangkar besi modern tersebut di lantai delapan. Namun, ia tidak segera masuk ke dalam tempat tinggalnya. Dengan tubuh lemas, ia sandarkan punggungnya lalu mulai menengadah. Benaknya sedang mengulang percakapan terakhir antara dirinya dan Rafka sebelum ia mulai menghindari pria itu seharian ini.

"Jadi, lo mau ngomong apa?" Aruna tidak berselara makan. Ia hanya memesan minuman saja sementara Rafka menyantap makanan setelah lelah berdebat dengannya ingin makan di mana. Tapi setelah melihat Rafka makan, mendadak Aruna menginginkan Roti Cane dengan kuah kari. Astaga, bahkan untuk perkara makan saja, Aruna bisa selabil ini. "Gue suka ngantuk sekarang, Raf. Biasanya sebelum jam setengah delapan udah tidur." Ia berucap serius, sekaligus ingin mempercepat saja pertemuan mereka. Kondisinya sedang tidak baik untuk berbicara dari hati ke hati layaknya Mamah Dedeh.

Attention Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang