42. Tak Hanya Sekadar Tabir

41.1K 7.1K 926
                                    


***

Akbar mendatangi Hendra di ruang kerja pria itu selepas sarapan pagi tanpa Aruna tadi. Well, wanita itu belum bangun. Akbar sih maklum, karena semalaman, Aruna terus saja mengoceh mengenai banyak hal yang sama sekali tak mampu ia pahami. Tetapi walau pun begitu, Akbar tetap saja menemaninya. Mendengar semua yang Aruna curah, Akbar melakukan itu hanya agar semakin mengenal sisi lain dari pribadi Aruna.

Dan hal itu terbukti berhasil. Karena kini, selain mengetahui bahwa Aruna lebih menyukai cokelat daripada mawar. Akbar pun akhirnya tahu, setelah menggosok gigi dengan pasta, Aruna akan berkumur menggunakan mouthwash yang tidak mengandung alkohol di dalamnya. Aruna benci mandi dengan air dingin, ia mencintai shower lebih dari bak mandi. Aruna menggunakan sabun cair beraroma citrus yang segar dan bukannya mawar yang lembut. Aruna tidak suka berendam, tapi wanita itu menyukai jika seluruh tubuhnya terbalut lulur. Namun, Aruna tidak menyukai lulur kocok, ia hanya jatuh cinta pada lulur yang memiliki butiran scrubs sendiri di dalamnya.

Ya, hal-hal kecil memang. Namun bagi Akbar, pemahaman itu sudah sangat berharga.

Aruna tipe pribadi yang sangat terbuka. Wanita itu tahu apa yang ia mau. Dan wanita tersebut juga paham, bagaimana mengatakan keinginannya. Dalam beberapa kesempatan, mungkin Akbar menginginkan pendamping yang santun dan membuatnya penasaran karena terlalu pendiam. Tetapi setelah ia pikir-pikir lagi, bagaimana jadinya rumah tangganya nanti, bila ia beristrikan seseorang yang secara kepribadian sangat mirip dirinya. Tentu saja, dunianya akan tentram dan minim warna. Untuk itulah, mungkin Tuhan membuat pertunjukan dengan membebaskan ikatan rasa yang ia punya. Lalu, saling terhubung bersama Aruna, hingga mereka mencipta takdir baru seperti sekarang ini.

Oh, ya, tentu saja itu sangat masuk akal bukan?

Karena katanya, bila abu-abu adalah duniamu. Maka bersiaplah, untuk kedatangan ribuan warna yang dibawa oleh jodohmu. Memang tak semua warna itu tepat, tapi setidaknya, suram bukan lagi nama belakangmu.

"Kamu nggak ke lapangan?"

Teguran Hendra membuyarkan lamunan Akbar hingga terpecah. Carut marut dari rangkaian peristiwa yang ada di kepalanya segera berhambur tak tentu arah. Kemudian, ketika fokusnya telah kembali, Akbar menarik napas sembari menatap ujung sepatu yang ia kenakan dengan kebulatan tekad. "Ada yang mau Akbar bilang ke Papa," katanya terus terang.

Dengkusan Hendra menyemarakkan suasana kaku yang tercipta. Pria setengah baya dengan kursi roda sebagai penopangnya itu pun segera melepaskan kacamata. Ia tatap Akbar yang duduk teramat tegang saat ini. "Terkait apa?"

Akbar menarik napas lagi. Hendra mungkin bukanlah tipikal pria dengan emosi meledak-ledak yang memalukan. Tetapi, lebih parah dari itu, Hendra memiliki kemampuan mengintimidasi lewat kalimat sederhana namun beracun. "Papa pasti tahu," Akbar menjawab pendek.

"Ah, Papa udah terlalu lelah untuk main tebak-tebakan, Bar. Kamu aja jelasin sekarang."

Tembakan langsung dari Hendra, membuat Akbar tersenyum kecut. Betapa Hendra mengetahui titik lemahnya sebagai anak. Tetapi dirinya, sama sekali tak mengerti di mana letak titik lemahnya Hendra. Ia hanya mengenal pria itu saja, namun tak paham di mana kelemahan sang lawan.

Ah, ternyata Akbar tak sehebat itu rupanya.

"Kamu tahu 'kan, Bar, kalau semua yang Papa lakukan itu untuk kebaikan kamu?" Hendra mencerca dengan amat berwibawa. "Papa hanya ingin kamu menjalani masa depan yang bahagia. Tidak salah memilih hingga berakhir salah kaprah. Karena kadang-kadang, yang kita dengar itu bukanlah isi hati. Melainkan keinginan duniawi yang akan kita sesali nanti."

Akbar tak akan termakan kata-kata Hendra lagi kali ini. Lalu menuruti pria itu seperti sebelum-sebelumnya. "Walau ini keinginan duniawi yang berpotensi membuat Akbra menyesal, Akbar akan tetap mengambil risikonya, Pa," ujarnya penuh tekad. "Mulai kali ini, biarkan Akbar mengambil keputusan sendiri, Pa. Kemudian menerima konsekuensi atas pilihan Akbar itu."

Attention Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang