TIGA

2 1 0
                                    

"Lo kedingingan." Tanpa persetujuan Luna, Wildan segera memeluk tubuh Luna yang terasa sangat dingin di kulit Wildan dan berharap hangat tubuhnya akan ikut menjalar ketubuh Luna. Lama. Hanya nafas dan detak jantung mereka yang terdengar.

Tapi satu yang tidak disadari Luna. Detak jantung itu...

...kini berbeda.

Luna ikut membalas pelukan Wildan. Hangat mulai kembali mengaliri darah Luna yang terasa sempat membeku. Lima menit mereka berpelukan. Kemudian Wildan melepas mantelnya dan menyampirkan mantel tersebut kebahu Luna. Sekarang Luna menggunakan dua mantel sekaligus. Wildan mendudukkan Luna ditempat tidur dan menyampirkan selimut milik Luna ke tubuh Luna menjaga agar suhu tubuhnya tidak turun terlalu drastis.

"Gue siapin air panas buat lo mandi dulu." Wildan beranjak dari kamar Luna menuju ke kamar mandi. Tidak berapa lama Wildan kembali ke kamar.

"Mandi dulu, itu air panasnya udah siap. Biar gue beresin tempat tidur lo." Ujar Wildan. Luna mengambil satu stel pakaiannya dan membawa ke kamar mandi sambil berucap, "Thanks Wil." Yang dibalas Wildan dengan anggukan.

Wildan berasumsi tidak berapa lama lagi pasti Luna akan terkena flu. Mengingat suhu di ruangannya yang terlalu dingin. Ia mulai merapikan tempat tidur Luna yang bed covernya sudah tidak beraturan lagi. Setelah selesai Wildan mengangkat tas pakaian Luna keruang tamu dan meletakkannya di sofa berwarna coklat susu yang terlihat hangat.

Ponsel Wildan bergetar, ia segera mengeceknya dan mendapati LINE dari Rio.

Rio William: Gue bakalan ngaret, jangan marah sama gue. Marah aja sama Andra, dia sibuk menggatal sama Ms. Kendrick orang-yg-br-dikenal-1-jam-yang-lalu.

Wildan Narend: yauda trsrh gw jg msh di apartemen Luna. Ntr lg br balik.

Rio William: yayaya

Wildan memasukkan ponselnya kedalam saku. Tidak berapa lama Luna telah selesai. Ia menggunakan skinny jeans biru donker dengan kaus lengan panjang berwarna putih.

"Berangkat sekarang aja yuk." Ajaknya yang sedang memakai sneaker merah kesayangannya.

"Yaudah yuk." Wildan merogoh saku jeansnya dan mengambil kunci mobil lalu menggamit tas pakaian Luna. Luna sendiri membawa tas samping yang selalu ia bawa kemana-mana.

~~~

Setibanya di apartemen Wildan, Luna langsung menyusun pakaiannya kedalam lemari yang khusus ada di dalam kamar tamu Wildan. Setelah selesai dia ikut bergabung dengan Wildan yang sedari tadi duduk disofa dengan tangannya sebagai tumpuan kepala.

"Mikir apa?" Tanya Luna yang telah mengganti pakaiannya dengan sweater berwarna pink dan celana selutut.

"Nggak ada." Ujar Wildan.

"We have spent our time together for more than ten years." ujar Luna keukeuh dengan feeling nya yang mengatakan bahwa ada hal penting yang sedang dipikirkan temannya ini.

"Rese deh. Nggak ada loh Lun." Wildan membaringkan kepalanya diatas kaki Luna. Dengan santai Luna menyelentik dahi Wildan. Sedangkan yang diselentik hanya mengaduh sambil mengelus dahinya.

"Lo nggak bisa bohong sama gue, sama kita-kita." Jawab Luna. Wildan hanya mendecak sambil memegangi dahinya yang sedikit perih. Luna lalu mengelus kepala Wildan dari dahinya hingga kerambutnya. Wildan sedikit terkejut dengan reaksi tubuhnya. Namun Luna tidak melihat keterkejutan itu di mata Wildan.

"Gue.. gue cuma mikir masalah ujian praktik yang ngeribetin." Ujar Wildan.

"Kalau masalah itu gue nyerah. Apalah ngerti gue masalah ilmu kedokteran sedangkan gue cuma anak sastra." Ujar Luna yang dibalas Widan dengan kekehan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The MomentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang