MELANJUTKAN HIDUP

2.1K 131 6
                                    


"Loh kok balik, Kak? bukannya Kakak pulang ke kampung halaman, Kakak?"

Sesosok pria berkepala nyaris botak tiba-tiba muncul, membuyarkan lamunanku tentang Reza.

"Mmm ... iya, Har. Pas kakak balik, ternyata mereka nggak di rumah. Coba dihubungi, ternyata sedang di Bandung."

Aku terpaksa berbohong. Bagaimana pun, tidak akan sanggup aku memberitahu kalau Bunda lebih baik tidak melihatku, daripada melihatku berhijab.

"Kakak tidak merasa kelelahan?"

"Ya lelah lah. Ini rencananya mau meluruskan kaki. Istirahat. Kak Yati mana?"

"Kak Yati dinas pagi. Jam dua juga sudah pulang."

"Bang Indra?"

"Biasa, tidur. Begadang terus dibantai tugas kuliah."

"Kakak masuk kamar dulu ya," aku pun berlalu karena alarm di tubuh sudah mengisyaratkan untuk beristirahat.

***

Semenjak insiden hijab beberapa waktu lalu, aku belum ada menghubungi Bunda. Aku merasa belum siap kalau Bunda harus marah, menghardik, mengusir bahkan memecatku jadi anaknya.

Seburuk apa pun Bunda memperlakukan, aku tetap anaknya, dan dia tetap Bundaku. Ibarat dicincang air tiada putus, begitulah hubungan pertalian darahku dengan Bunda. Berkah air susu yang mengalir di tubuh ini menjadikan darah dan daging yang kini bisa menopang jiwa rapuhku. Tak sedikit pun ada dendam di hati.

Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, terbuat dari apakah engkau duhai kalbu? Meski perlakuan kasar Bunda bertubi-tubi, aku tetap menyayanginya.

Sebagai manusia biasa sangat wajar kalau awalnya aku merasa kecewa pada sikapnya. Ketimpangan dalam memperlakukan aku dan Kak  Tami sempat membuatku
merasa sedih. Rasa sayang yang besar pada Bunda, ternyata mampu mengalahkan perasaan sedih dan kecewa.

Rasa rindu yang menggebu pada Bunda jua lah, membuatku memutuskan untuk meneleponnya  saat ini. Aku ingin mendengar kabar darinya.

"Ya halo ..." wanita yang tak lain adalah Bundaku mengangkat telpon di seberang.

"Apa kabar Bunda?"

"Baik ..." terdengar lemah suara Bunda. Aku yakin ada yang tidak beres yang sedang terjadi padanya.

"Ada apa, Bun? Cerita ya sama Hira ... suara Bunda beda, tidak seperti biasanya."

"Iya, Bunda sedang dalam masalah."

Akhirnya Bunda pun menceritakan, duit yang selama ini ia setor setiap bulan, dalam rangka arisan bulanan, dibawa kabur oleh temannya. Bunda menjadi korban penipuan.

"Banyak yang hilang, Bun?"

"Lumayan, mobil sama rumah sudah tergadai ke Bank. Bunda juga sempat mengagunkan slip gaji buat ambil pinjaman lain."

Aku terkejut. Bunda yang selalu bersikap tidak ada uang kalau berbicara denganku, Bunda yang hanya menghamburkan uang demi Kakakku, harus kehilangan banyak uang dengan cara yang tragis. Berharap untung malah buntung yang datang.

"Sudah lapor polisi, Bun?"

"Sudah, perdata. Kamu tahu artinya kan? Duit ratusan juta Bunda amblas. Bunda bangkrut."

"Hira sedih mendengarnya Bun."

" Sudah tidak perlu memikirkan Bunda, pikirkan saja kuliahmu. Sepertinya Bunda belum tahu kapan bisa mengirim duit bulanan sama kamu."

Iya, Bun. Tidak apa-apa. Nanti Hira cari cara untuk mengatasinya. Hira bisa jualan kok Bun, atau membuka kelas privat untuk anak SD dan SMP."

"Bunda bingung, Kakakmu sudah mau selesai, dia sedang butuh dana banyak-banyaknya. Dari mana Bunda mendapatkannya? Kalau pun dapat pinjaman, bagaimana Bunda membayarnya. Gaji Bunda habis buat bayar hutang."

SEHANGAT DEKAPAN BUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang