MELAHIRKAN

2.2K 124 0
                                    

Hari taksiran kelahiran bayi pertamaku masih dua minggu lagi, tetapi aku sudah mulai merasakan kontraksi-kontraksi palsu.

Uda Wira mengantarkan ke rumah kontrakan Bunda. Rumah besar berpagar setengah badan, berwarna hitam, terdapat sedikit noda karat di sana-sini -- menunjukkan bahwasanya rumah yang dikontrak Bunda adalah rumah lama--

Dengan dimensi 8 x 12 meter persegi, rumah memiliki tiga buah kamar ukuran besar, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang makan dan dapur.

"Rumah ini terlalu besar untuk Bunda tinggali seorang diri," aku memberi penilaian terhadap rumah baru bunda.

Rumah ini bahkan jauh lebih besar dari ukuran rumah kami semula. Ketika kutanya berapa biaya kontraknya bunda menjawab;

"Tujuh juta rupiah," seakan tanpa beban ia mengucapkan.

"Bukankah harga segitu masih terlalu besar, Bun? Kan masih banyak rumah kontrakan dengan harga yang sesuai dengan kondisi keuangan kita saat ini," aku berpendapat.

"Memang, ada yang lebih murah. Rumah yang di simpang hanya tiga juta. Ada juga yang tepat di depan sekolah lima juta setahun."

"Nah, kenapa Bunda memilih yang ini?" aku berusaha menentang pemikirannya.

"Supaya tidak dianggap susah. Dengan begitu, tetangga yang dahulu tidak memandang sebelah mata."

Masih saja bunda memikirkan harga diri. Untuk apa dipandang tinggi oleh orang lain kalau sebenarnya rendah. Malu mengakui kalau sedang dalam keadaan susah. Lebih ingin terlihat kaya di mata dunia.

Ya, walau pun sudah tidak memiliki banyak uang seperti dulu, tapi gengsi bunda tetap tiada berkurang.

"Ya sudah," aku sedang malas membahasnya. Intinya aku tidak mau melihat bunda pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, dan terlunta-lunta di masa tua.

Setelah mengantarkan, Uda Wira pamit pulang. Sekolah masih belum libur. Aku akan mengabarinya ketika bayi ini sudah akan lahir.

***

15 Nopember 2009

Aku mulai merasakan kontraksi teratur sejak pukul sebelas malam. Karena sudah terlalu akrab dengan his palsu, kali ini aku pun mengabaikan.

Tidur sudah tak nyenyak. Tepat pukul tiga aku terbangun, menunaikan sholat malam lalu bergegas ke kamar mandi karena mulas yang tak tertahankan.

'Duh, makan apa semalam, kenapa perut ini rasa melilit' batinku.

Sampai flek keluar pun aku belum menyadari kalau itu salah satu pertanda segera melahirkan. Aku tetap melakukan aktivitas seperti biasa; memasak air, nasi, menyuci pakaian dan sebagainya.

Ketika sedang menyapu, berkali-kali aku harus terduduk menahan sakit yang mulai semakin rapat jaraknya. Bunda lalu mendekat.

"Kamu kenapa, Hira?"

"Perut Hira sakit, Bun," memegang perut yang terasa semakin kencang melakukan denyutan.

"Itu tanda mau melahirkan. Ayo kita ke rumah bidan."

Bunda lalu mengambil tas yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari untuk menyambut proses kelahiran.

***

Hari masih pagi. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh ketika kami tiba di rumah bidan.

Setelah memeriksa, bidan menyatakan bahwa sudah waktunya si bayi akan lahir.

"Ini sudah pembukaan dua, saya bantu induksi ya, Bu," bidan senior yang belakangan kutahu bernama Hamidah mulai mempersiapkan barang-barang yang diperlukan.

"Iya, Bu. Apa yang terbaik menurut Ibu," aku berusaha menahan segala bentuk rasa sakit yang menggerogoti sekujur tubuh.

Luar biasa menjadi seorang ibu, karena harus melewati bermacam ujian. Sakit yang tak terperi ketika hendak melahirkan bayi terkasih.

Sungguh hebat perjuangan menjadi Ibu. Bagaikan tulang yang remuk redam dipatahkan, rasa sakit yang harus dijalani sebelum melahirkan.

Aku terharu saat akan menjadi Ibu. Rasa sakit yang mendera, harus ditelan bersamaan dengan buliran keringat dan air mata.

Semua rasa itu mengingatkanku pada peristiwa puluhan tahun silam. Seperti inilah adanya ketika Bunda akan melahirkanku ke dunia yang fana. Bunda yang harus rela mempertaruhkan hidup dan mati ketika akan menyambutku.

Kugenggam tangan Bunda erat sekali. Aku tidak ingin melepaskannya. Seandainya perjuanganku harus terhenti hingga hari ini saja, aku ingin melaluinya di dalam dekapan hangat Bunda.

Keringat dingin terus mengucur, kugigit bibir perlahan sambil tetap melafalkan dzikir dan do'a.

'Akankah aku hanya sampai hari ini saja, Bunda?'

Sungguh besar pengorbananmu demi kelahiran seorang Hira. Tidak akan sanggup aku menyakiti, bahkan sekedar membantah setelah detik ini.

"Maafkan Hira ya, Bun. Hira juga mau bilang kalau Hira sayang Bunda."

***

SEHANGAT DEKAPAN BUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang