PILIHAN

2K 129 1
                                    


Mengenai Harun, aku benar-benar tidak ingin menikah dengannya. Dia sudah kuanggap adik sendiri. Berulang kali Ucu Nana meminta, tapi aku tetap menolak.

"Ucu, tanpa menikah dengan Harun, Hira tetap menganggap Ucu seperti Ibu sendiri," aku memeluk erat wanita yang belakangan ini kesehatannya mulai menurun.

"Ya sudah. Ucu menyerah. Sebagai gantinya, kamu harus ikut Ucu ke kampung."

"Hira setuju," aku mengangkat ibu jari sebagai isyarat bahwa aku bersedia.

Ternyata membawaku ke kampung halaman di Padang Sidempuan adalah permintaan terakhir sebelum dia menghembuskan nafas yang terakhir satu bulan kemudian.

Aku merasa bersalah. Tapi itu sudah menjadi suratan takdir. Tidak ada yang bisa menolak.

Mengenai kenapa aku menolak Reza, Dani atau pun Harun, tak lain karena aku masih punya trauma masa lalu. Kisah 'permainan dokter-dokteran' itu begitu membekas. Alam bawah sadarku berusaha meyakinkan kalau tidak akan ada lelaki yang akan menerima setelah kuberitahu kalau aku korban 'pelecehan'.

Tidak hanya itu, perekonomian keluarga juga sedang terpuruk. Hutang Bunda di Bank, rumah yang masih diagunkan membuat berpikir,  aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan menikah dengan lelaki yang jelas-jelas strata sosialnya berbeda jauh denganku.

Dibesarkan dalam ketidak adilan, kesusahan serta penderitaan, tidak membuat mataku silau dengan harta, pangkat dan jabatan. Akan berbeda mungkin halnya jika berada di posisi Kak Tami, seorang anak yang terbiasa menjadi nomor satu, mendapatkan perhatian lebih, selalu menggunakan pakaian mahal serta barang-barang bermerk. Tidak perlu berpikir lama-lama, dia pasti menerima tawaran-tawaran itu.

Sekali lagi, sayangnya aku bukan Kak Tami. Aku adalah Hira. Hira sederhana yang kelak akan menemukan jodoh yang bisa menerimanya apa adanya. Hira yang memiliki kekuatan untuk mengatakan jati diri yang sesungguhnya, sebelum prosesi akad nikah dimulai. Hira yang akan memilih calon imamnya melalui sayembara subuh.

"Carilah calon suami, yang kau menemukannya sedang sholat subuh berjama'ah di mesjid," aku ingat betul perkataan Ayah kala itu.

"Kenapa seperti itu Ayah?" Hira yang kala itu masih polos berusaha mencari jawaban.

"Karena itu yang baik. Hira juga harus menjaga marwah sebagai perempuan. Tidak perlu menawarkan diri pada pria untuk berpacaran. Pacaran itu tidak baik. Banyak godaan syetan di sana. Ingat, jadilah perempuan yang elegan bukan jadi yang murahan. Jangan mau jadi barang obralan berharga murah, tapi jadilah seperti pajangan di toko, hanya orang tertentu yang bisa memilikinya," Ayah menasihatiku panjang lebar.

Aku yang kala itu masih belum mengerti apa maksud perkataan Ayah, hanya mengangguk setuju. Sekarang, aku mengerti arti perkataan sarat makna tersebut.

Dialah Wira, tetangga kost yang sering mencuri perhatianku dari semula. Pria sederhana, yang berasal dari desa, dan mencoba mengubah nasib di ibukota provinsi.

Dialah Wira, yang sering kupergoki setiap kali kembali dari sholat subuh-- saat aku sedang menyapu teras--, serta isya --ketika aku akan menggembok pagar-- memastikan tidak ada lagi anggota rumah yang keluar di atas jam segitu.

Dialah Wira, yang ternyata seorang yatim piatu, dan hidup seorang diri setelah Ibu dan Bapaknya meninggal dunia beberap waktu yang lalu.

Wira adalah seorang guru honorer di sebuah sekolah yang berada tak jauh dari sini. Kami sering berselisih saat aku akan menuju ke kampus.

Ternyata diam-diam, dia menyimpan banyak perasaan padaku, sejak jauh-jauh hari, bahkan saat pertama kali kuinjakkan kaki di kota ini. Dia juga tahu ketika Dani datang berkunjung, dan akhirnya hilang bagai ditelan bumi.

Wira menyimpan rapih semua  perasaan, dan mengutarakannya empat tahun kemudian, ketika dia telah memiliki sejumlah uang dan sekodi keberanian untuk melamarku.

Dia datang di suatu pagi yang cerah. Mengenakan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans biru dongker.

Di teras tempat biasa kami menerima tamu, dia pun mencoba mengutarakan isi hatinya.

"Hira, bersediakah kelak kamu menjadi Ibu dari anak-anakku?" dia mulai masuk ke inti pembicaraan.

Sama seperti Dani, aku pun memberi syarat tiga bulan lamanya.

"Aku tidak mau hubungan yang tidak jelas juntrungannya. Jika kau serius, halalkan aku. Kuberi waktu tiga bulan."

"Bagaimana dengan maharnya?" dia bertanya lirih.

"Aku minta hafalan juz tiga puluh. Selebihnya terserah kau saja, berapa pantasnya mahar yang kau berikan," aku berusaha memberikan kemudahan.

"Baiklah. Aku akan mempersiapkan segalanya," dia pun akhirnya berlalu.

***

Tidak perlu menunggu tiga bulan lamanya, karena dua minggu setelahnya dia kembali datang dan menyatakan kesiapannya.

Aku pun pulang ke rumah, memberitahukan pada Bunda, bahwa akan ada yang melamarku.

"Berapa maharnya?" tanya Bunda.

"Hira tidak bilang apa-apa tentang itu. Hira cuma minta hafalan juz tiga puluh, dan mahar sesuai kesanggupan dia," aku menatap Bunda.

"Bodoh! kenapa tak kau minta dua puluh atau tiga puluh juta atau bahkan lebih. Kau calon dokter gigi. Bunda mengirimkanmu jauh-jauh untuk bersekolah, menghabiskan banyak biaya. Tahu kamu!" nada suara Bunda meninggi.

Aku mengernyitkan dahi. Maksud Bunda apa? Dengan mengatakan bahwa ia menghabiskan banyak biaya untukku.

Sudah beberapa tahun belakangan ini Bunda berhenti mengirimiku uang. Ah, mungkin dia teringat Kak Tami. Bunda memang menghabiskan banyak uang untuknya.

Aku ingin membantah perkataan Bunda yang terakhir, tapi hati kecilku berbisik 'jangan', tak baik melawan orang tua. Meski benar, tak perlu mendebat. Mungkin saja pikiran Bunda sedang kacau.

Semenjak insiden 'kebangkrutan' Bunda, ia memang sering terlihat murung.

"Bunda, Wira bukan anak orang kaya, dia juga sebatang kara. Biarlah dia memberikan mahar sesanggupnya."

"Tidak ada calon lain kah," Bunda mengorek-orek informasi.

Aku sengaja menyembunyikan perihal Dani dan Harun. Bunda bisa lebih marah lagi jika mengetahui aku menolak mereka hanya demi seorang guru honorer yang memenangkan 'sayembara subuhku'.

"Tidak ada Bunda. Hira kan jelek, tidak akan ada yang mau menerima Hira. Bersyukur Wira mau," aku berusaha meyakinkannya.

"Bunda tetap tidak setuju!"

"Dia akan datang melamar, setelah aku mengabarinya mengenai kesediaan Bunda," aku memegang tangan Bunda yang semakin bertambah lemah.

Bagaimana pun, restu Bunda tetap kuharapkan. Aku tidak akan melangkah ke jenjang pernikahan tanpa kesediaannya.

"Ya sudah!" perempuan lima puluh tahunan itu menyerah. Aku lalu menyium tangannya.

***

SEHANGAT DEKAPAN BUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang