Empat belas hari aku terjebak dalam kegelapan, membimbing orang-orang yang terperangkap untuk terus menyalakan cahayanya.
"Tetap nyalakan cahaya kalian!" Teriakku dengan lantang, saat mereka semua lengah kemudian makhluk yang menempel pada langit-langit itu menjerit begitu cahaya mengenainya.
Namun yang membuatku bingung, kedua orang itu tetap disana, mereka menunggu.
"Kenapa kalian disini?" Tayaku begitu berhasil keluar entah bagaimana caranya.
Maksudku, yang aku ingat terakhir kali sebelum masuk ke tempat gelap gulita itu adalah bahwa aku bersama Anisa.
Atau mungkin Anisa tidak ikut terjebak dan selamat.
Tio mengangkat bahunya tanda tidak peduli. Sementara temanku yang satunya lagi, Dara, ia menyerahkan tas selempang merah muda lusuhku yang terbuka, dan sepatu sandal jelek.
"Ayo." Kata Dara.
Ternyata aku bertelanjang kaki selama empat belas hari.
Kemudian kami pergi, aku tidak mendebat lagi tentang bagaimana mereka bisa ada. Aku sudah beberapa kali terjebak dalam ruang gelap itu dan tak ada seorangpun yang menungguku sebelumnya.
Sesampainya di lift, ternyata tidak hanya kami bertiga tetapi ada seorang pria yang berdiri tepat di belakang tombol lift. Aku tidak bisa melihat wajahnya, ia membelakangi kami.
Yang aneh disini adalah, lift itu tidak seperti lift pada umumnya. Ia lebar dan memanjang, warnanya silver seperti biasa, tetapi agak terbuka di bagian atas.
Aku tidak bisa menjelaskannya dengan jelas, karena lift itu tidak benar-benar ada dalam dunia nyata.
Tiba-tiba dua orang petugas kepolisian menghentikan lift kami, ia membawa kantung mayat yang dibawa pada kedua sisinya secara bersamaan. Saat salah dari seorang polisi membuka kantung itu, menunjukan mayat pria tua yang aku rasa sudah berlumut dibeberapa bagian.
Aku mengenalinya!
Ia adalah penyebab, mungkin salah satu karena aku tahu penyebab kekuatatan sebesar ini tentunya bukan hanya satu orang, yang membuat aku terjebak dalam ruangan gelap itu. Saat aku ingin melihatnya lebih jelas, Tio menghalangi pandanganku dengan tubuhnya yang jangkung.
Sementara Dara menyentuh pergelangan tanganku agar tetap dalam posisi diam.
Bersikap diam dan tak tahu apapun.
Bagaimana mereka bisa tahu kalau pria itulah si penyebabnya, ketika hanya aku diantara kami bertiga yang terjebak.
Mimpi ini semakin membingungkan.
Kemudian ada dua kupu-kupu yang terbang menghampiriku, warna hijau lumut seperti yang ada di tubuh mayat dan satu lagi entah berwarna putih atau coklat.
Aku agak kabur mengingat.
Si kupu-kupu hijau lumut itu berhasil menyentuh bahuku, sementara aku segera menepisnya dengan cepat.
Kedua temanku itu meyakinkan polisi bahwa kami tidak mengenali mayatnya. Tio pun menatapku dengan matanya yang datar dan menggeleng, gerakannya itu membuat aku tahu kalau aku nggak bisa berbuat apa-apa selain diam, dan berada dibelakang mereka berdua sampai aku melompat ke mimpi selanjutnya.
^^^
Catatan:
Mimpi ini sudah beberapa kali datang. Namun hanya potongan yang janggal, ngomong-ngomong sering kali saya bermimpi hal yang sama.
Ah, begini, bukan dalam artian yang sama. Tapi seperti adegan yang berlanjut, atau seperti menanti potongan puzzle lainnya untuk menjadi suatu gambar.
Dan sampai pada tanggal 12 maret 2018 saya rasa mimpi ini sudah menjadi satu kesatuan, meskipun tidak pernah menutup kemungkinan kalau mimpi ini masih memiliki episode lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Mimpi di Pagi Hari
Short StoryKumpulan ingatan penulis tentang mimpi yang datang di malam hari, dan sisanya masih terasa sampai pagi. Tidak benar-benar lengkap karena penulis hanya bisa mendapatkan jejaknya. Catatan: Beberapa mimpi tak disetai dengan waktu dan tanggal.