Awal

439 16 4
                                    

Pukul 10.39, sudah sangat terlambat untuk menghadiri pertemuan yang dijanjikan jam sembilan pagi. Alih-alih terburu-buru​ masuk ke dalam cafe ini dan segera menghampiri teman-temannya, Afaf malah melangkah santai sambil membuka kacamatanya bak artis Hollywood.

Ia benar-benar tidak tertarik dengan pertemuannya kali ini. Paling-paling temannya itu hanya akan mempertemukannya dengan pria-pria matrealistis seperti sebelum-sebelumnya, ia sudah bosan. Cara ini sudah berpuluh-puluh kali gagal, tak ada pria yang cocok dengannya.

"Ayo cepetan! Lama banget lo jalan, udah kayak penganten baru aja!" gerutu Mesi, temannya yang tengah hamil tua, sambil menariknya dengan langkah cepat versi ibu hamil.

"Kok lo bisa ada di sini?" tanya Afaf.

"Ya bisalah, yang lain juga ada." Mesi menunjuk empat sahabatnya yang lain termasuk Anna dan semua anak-anak mereka yang masih balita, yang duduk meja nomor 13.

Kemudian Mesi mengantarkan Afaf ke meja nomor 23 yang sudah diisi oleh pria bergaya metroseksual. Cocok memang jika di sandingan dengan Afaf yang notabenenya seorang pengusaha berusia 30 tahun. Tapi agaknya Afaf tidak tertarik dengan pria ini, tak tahu apa alasannya.

"Lo duduk di sini, gue, Amel, Ana, sama Andin, plus anak-anak, gak jauh dari lo, jadi gue jamin lo aman banget. Gue harap kencan lo kali ini berhasil," bisik Mesi di telinga kiri Afaf, malas berdebat Afaf hanya menganguk pelan tanpa minat.

"Hai," sapa pria itu sambil tersenyum ramah, ada binar ketertarikan dari cara pria ini menatap Afaf.

"Hai," balas Afaf dengan canggung.

"Saya Joshep." Pria itu mengulurkan tangannya pada Afaf yang duduk bersebrangan dengannya.

"Afaf." Afaf membalas uluran tangan itu dengan canggung.

"Saya udah dengar banyak tentang kamu, dan itu bikin saya kagum," ungkapnya.

Afaf tersenyum canggung. "Terima kasih."

"Hey, gak usah berterima kasih. Kamu pantas dengan segala macam pujian. Saya juga baca banyak artikel tentang kamu di internet, sehebat itu kamu ternyata. Membangun semuanya dari awal seorang diri," pujinya.

'Basi!' Afaf menggerutu dalam hati alih-alih tersanjung dengan pujian yang di lontarkan padanya. Baru bertemu saja sudah bicara bisnis, ini jadinya pertemuan bisnis atau acara jodoh-jodohan seperti kesepakan awal, sih?

"Kamu juga cantik," kata Joshep lagi. Afaf biasa saja mendengar pujian itu, meski binar di mata pria tampan itu terlihat tulus. Pastilah tulus, orang dengan mata minus 14 tanpa kacamata pun tahu betul wanita ini cantik bukan kepalang.

Teman-temannya yang melihat dari kejauhan bersorak heboh khas ibu-ibu muda. Mengabaikan anak-anaknya yang pergi kesana-kemari menganggu pengunjung lain.

"Yang ini berhasil pasti, lo lihat Afaf sampe tersipu-sipu gitu," kata Amel berlebihan.

"Akhirnya temen gue yang satu itu menemukan jodohnya," Mesi berucap lega.

"Joseph pasti orang tepat." Andin yakin dengan yang diucapkannya.

"Oh My God ini momen yang gue tunggu." Anna menggebrak meja berulangkali menyalurkan rasa antusiasnya.

Dan beribu-ribu syukur mereka panjatkan kepada Tuhan sebelum akhirnya suara tangis balita menginterupsi mereka.

"Astagfirullah, muka anak gue kena saos!" jerit Ana.

****

Joseph kemudian menggapai tangan Afaf yang saling bertaut di atas meja. Tapi Afaf segera menepisnya, ia tak suka orang asing menyentuhnya tanpa izin darinya.

Kapan Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang