Ketahuan 2

143 15 0
                                    

Bapak dan Ibu saling melempar pandang berulangkali. Alis keduanya berulangkali naik turun saling melempar tanya, melihat sikap anaknya yang terlihat murung.

"Kenapa?" Bapak berbisik.

Ibu menggeleng. "Gatau," bisiknya.

"Pak, Bu," Afaf buka suara membuat keduanya kaget bukan main.

"Neng, ibu sama bapak teh gak maksud—" Si Ibu mencoba menjelaskan.

"Aku mau tinggal di apartemen yang deket kantor buat beberapa hari ini," kata Afaf.

"Oh, ibu kira kamu teh negur kita," kata Si Ibu.

"Bapak sama ibu emang mau nanya apa?" tanya Afaf.

Keduanya menggeleng panik. "Enggak," jawabnya bersamaan.

Si Bapak mengangkat tangannya, persisi seperti murid yang akan bertanya pada gurunya. "Tapi neng, kenapa kamu tiba-tiba mau pergi rumah."

Si Ibu mengangguk. "Iya neng, ada masalah naon?"

"Enggak ada masslah sih, aku lagi kerjaan jadi capek banget kalo harus pulang pergi ke sini, Bu, Pak." Terpaksa Afaf bohong. Padahal alasan dia pergi dari rumah untuk menenangkan diri dan berhenti membuat orang tuanya khawatir.

"Jaga diri ya, neng!" Nasihat Bapak.

Sulit bagi Afaf untuk bisa fokus memeriksa berkas-berkas penting pagi ini, sosok Dimas terus bergentayangan di kepalanya. Beberapa kali gadis ini menggelengkan kepalanya berharap bayang-bayang wajah Dimas hilang.

"Akh!" Afaf mengacak rambutnya sambil memejamkan matanya saat bayang-bayang Dimas tak mau pergi dibenaknya.

"Faf, kamu baik-baik aja kan?" Suara Dimas yang menggema di telinga Afaf membuat gadis ini semakin frustasi. Kenapa bayang-bayang Dimas semakin nyata?

"Akh! Pergi! Pergi!" jerit gadis ini sambil mengacak rambutnya lebih keras.

Membuat Dimas panik dan menahan kedua tangan Afaf agar berhenti menyakiti dirinya.

Mata gadis ini terbuka. "Dimas? Kamu— Lepasin!" Afaf menarik tangannya.

"Ada keperluan apa?" Afaf bertanya dan mencoba menormalkan raut wajahnya, berpura-pura tak terjadi apa-apa.

"Kamu kenapa?" tanya Dimas, serius.

"Kenapa apanya?" Afaf bertanya, tak acuh.

"Tadi, kenapa kamu nyakitin diri kamu sendiri?" tanya Dimas menuntut.

Afaf menelan ludahnya, rasa malu kini menyelimuti dirinya. "Saya pikir itu bukan hal yang penting buat dibahas, Dim."

Dimas menatap Afaf tajam. "Penting, aku perlu tahu keadaan pacar aku kayak gimana."

Gadis ini membuang wajahnya ke samping, menutupi semurat merah diwajahnya. Wajah Dimas tampak marah, tapi kenapa ini terdengar dan terlihat manis di matanya.

"Aku baik-baik aja," jawabnya pelan.

"Aku harap memang gitu,"

*****

Selepas menemui Afaf di ruangannya, Dimas memutuskan untuk pergi ke rooftop. Di temani sebatang rokok yang ia tinggal setengahnya, Dimas hanya berdiri menatap ibukota yang terlihat begitu sesak dari atas. Dimas merasa frustasi dengan semua permasalahannya dengan Afaf. Ini terlihat sepele namun juga rumit baginya. Satu lagi, ia kecewa karena tak berhasil mengajak Afaf bicara barusan dan merasa takut duluan mendapatkan tolakan.

"Aku baru tahu kamu ngerokok." Suara itu terdengar dari belakang tubuhnya. Refleks Dimas berbalik dan menemukan sosok Afaf yang berjalan kearahnya.

Kapan Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang