Hiruk pikuk yang bising akan teriakan lautan insan berdominan perempuan mendadak membuat pening yang bergemuruh di kepalaku semakin nyata terasa. Padahal aku masih ingat betul bagaimana aku bercita-cita untuk menjadi salah satu perempuan yang berteriak histeris itu. Bagaimana aku begitu mengagumi tujuh orang penyanyi asal Korea yang sempat mengganti masa kelamku menjadi masa yang penuh impian.
Ya, aku ingat tatkala aku rela menabung mati-matian dan menangis meminta izin pada orang tuaku untuk berada di tempat ini.
Itu dulu, lima tahun yang lalu.
Saat aku masih mengeluh akan penatnya SMA tanpa tahu hal lebih berat apalagi yang akan aku hadapi setelah lulus dari sana. Memang. Masa remajaku tak begitu menyenangkan seperti kebanyakan cerita teman-teman kuliahku. Yang terpikirkan saat itu hanyalah cara untuk bertemu idolaku. Dimana saja.
Haha. Lihatlah aku sekarang. Alih-alih bahagia akhirnya dapat bertemu sang idola, aku mendengus terganggu mendengar teriakan gadis-gadis jelmaan aku lima tahun lalu. Tentu saja! Benakku kini sedang penuh dibayang-bayangi oleh deretan pekerjaan yang membeludak setelah benar-benar menggunakan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi. Proyek film orisinil karya pertamaku setelah hampir setahun hanya bekerja sebagai asisten sutradara honorer. Masa depanku.
"Lo ngapain dah segala maksa gue nonton konser ginian? Naskah gue masih harus revisi, Ra. Ah, mahasiswa ketuaan di kampus mana ngerti yah. Skripsi lo tuh pikirin, Arabella! Jangan sampe tahun ini lo gagal wisuda lagi." Aku mulai mengomel--lagi dengan agak berteriak karena kebisingan para perempuan di venue ini. Entah sudah keberapa kali aku mengucapkan kalimat yang sama dengan nada yang hanya sedikit berbeda.
"Iya-iya, dibilang besok langsung kerjain ngebut! Panikan amat, sih. Lagian ini konser pertama mereka setelah vakum lima tahun, gila! Lo nggak kangen emang?" Ara memutar tubuhnya menatapku. Tentu saja aku menggeleng datar.
Ara menghela napas lalu memegang kedua bahuku dan merematnya sebelum kembali bercuap sok serius. "Gue tau lo udah males fangirling lagi--tapi ini tuh momen langka, La. Lo tau kan BTS jarang ke Indonesia selama aktif? Sekarang... Indonesia satu-satunya negara yang mereka datengin setelah konser reborn di Seoul kemaren. Dan, astaga, BigHit mabok yah? Bisa-bisanya ngadain konser sepenting ini di Jogja, bukan di Jakarta!"
Dia Arabella, teman satu apartemen sekaligus teman sejurusanku. Ide dia juga yang menyeretku repot-repot menonton konser boyband internasional yang baru saja melakukan comeback pertamanya setelah beberapa tahun vakum di dunia musik. Tepat dua bulan setelah dua member terakhir yang menjalani wamil telah kembali maka mereka bertujuh sudah bebas dari kewajibannya sebagai warga negara. Dan hari ini tujuh pria yang sudah menginjak umur sangat matang itu kembali membentuk formasi di panggung yang sama setelah lima tahun berpencar karena banyak hal.
Banyak hal. Salah satu yang terbesarnya ialah sebuah insiden yang tak akan pernah dilupakan penggemarnya kala itu. Termasuk aku.
Aku melengos. "Ya tapi nggak main pesen tiketnya tanpa ngomong-ngomong dulu ke gue, Ra. Lo dapet duit darimana lagi tuh beli dua tiket dadakan gini? Jangan bilang... lo morotin pacar om-om lo itu lagi ya?" cerocosku tak tahan. Aku memang masih belum dapat menerima kegilaan temanku yang satu ini.
Benar saja. Ara hanya nyengir seperti tanpa dosa. "'Pacar om-om gue' tuh dokter. Bucin lagi. Udah santai aja nanti kalo film pertama lo sukses, lo traktir gue."
Mulutku berhasil terbuka lumayan lebar akibat kesintingan Ara. "Traktir lo? Nggak salah? Traktir om lo yang ada!"
Ara terkekeh sebelum tangannya tiba-tiba membuka ranselnya. Mataku kini tidak bisa lagi tak membelalak ketika cewek sinting itu mengeluarkan dua light stick yang sangat kukenal lalu memaksaku memegang salah satunya. Tentu saja light stick khusus yang resmi dikeluarkan agensi boyband ini untuk meraup keuntungan dari remaja-remaja baru puber di seluruh dunia. Aku ingat dulu aku bahkan tak sanggup membelinya. Kalau tidak salah... ARMY Bomb?
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Goes Down
FanfictionMeski banyak masalah ia alami semenjak memasuki usia remaja, Sekarlangit memilih untuk tidak menyerah pada kehidupan yang mulai terasa kejam. Baginya, di dunia yang jahat ini juga, Karla bernapas di era yang sama dengan grup penyanyi yang sudah mena...