Selamat Bertambah Sial

33 2 0
                                    




Chapter 1

Playlist : Anson Seabra - Trying My Best


Kaki Karla melangkah gontai menyusuri koridor menuju kelasnya. Seperti biasa, ia sudah sampai di sekolah ketika pegawai kebersihan sekolah masih bersiap-siap hendak melaksanakan tugasnya. Tidak jarang Karla bahkan menghidupkan lampu melalui saklar utama yang seharusnya menjadi tugas pegawai kebersihan. Tentu saja, Karla tak mau berjalan di kegelapan karena matahari yang belum muncul sepenuhnya. Kali ini, ada sedikit hal yang membuat keningnya mengernyit.

"Tumben lampu koridor udah nyala," gumam Karla sambil melirik jam yang menempel pada pergelangan tangan kirinya.

Masih pukul enam lewat lima menit. Pak Dadang yang menyandang status sebagai cleaning service paling rajin selama 15 tahun umur sekolah saja belum kelihatan batang hidungnya. Kalau lampu koridor sudah menyala sebelum Karla tiba biasanya pria setengah baya itu akan terlihat menyapu daun-daun yang berjatuhan sepanjang sisi koridor.

Ahh, sudahlah. Kalau hal kayak gitu saja dipikirkan, tidak heran dirinya kerap disebut sebagai 'penunggu sekolah' oleh teman-teman. Selain karena dia yang selalu datang pagi-pagi buta, tetapi juga—

"Pagi, Kribo!"

Langkah Karla terhenti tepat setelah melewati pintu kelasnya masuk. Pandangannya mendapati sebuah makhluk menyebalkan yang duduk dengan kaki ditaruh di atas meja dan ponsel yang baru saja ia letakkan.. Pramuditya Anggana atau disingkat menjadi Prana. Nama yang bagi Karla terlalu keren untuk cowok sinting seperti dia.

What a beautiful morning, batin Karla sarkastik. Kini ia tahu siapa kemungkinan orang yang menghidupkan saklar lampu selain Pak Dadang, yaitu cowok yang memanggilnya dengan sebutan 'Kribo' barusan. Yang buat dirinya lebih kesal lagi, cowok itu sekarang duduk di kursi dimana ia biasa tempati. Posisi sakralnya.

"Stop manggil gue kribo, plis," balas Karla hanya melirik Andri, cowok sekelas yang barusan menyapa--atau meledeknya? Karla berusaha tidak peduli. Ia agak membanting tasnya ke atas meja yang ada di hadapan Prana dan menatapnya datar.

"Minggir lo."

Berawal dari cowok iblis ini, rambut panjangnya yang keriting juga tebal sering dibuat bahan bercanda teman-teman seangkatannya. Bahkan disebut mirip dengan figur kuntilanak yang doyan gentayangan di area sekolah dan menyamar sebagai murid di kala siang. Katanya lagi hal itu membuat Karla makin cocok disebut sebagai penunggu sekolah. Dalam hati, Karla mendengus mengingatnya. Yang bener aja, mana ada kuntilanak curly?!

Alih-alih sadar diri untuk memenuhi keinginan Karla dan menjauh darinya, Prana justru menyeringai semangat. "Eh iya, 'kan udah nggak kribo ya? Ribonding dimana, sis? Aku pengen juga dong punya rambut badai," ledek Prana lalu tertawa puas.

Seandainya cowok ini tahu betapa repotnya Karla setiap pagi karena harus mencatok rambut atau mencepol sedemikian rupa akibat ledekan-ledekan mengenai rambut ikalnya yang, jujur, cukup berhasil membuat Karla tidak percaya diri. Itu juga yang jadi alasan Karla terpaksa bangun sangat awal.

"Masih pagi, Pra. Mending lo cepet-cepet cabut dari bangku gue. Sekarang," kata Karla datar, masih berusaha untuk mengendalikan emosinya.

"Loh, perasaan kelas kita nggak ada ditentuin bangku deh. Gue udah sengaja nih dateng subuh-subuh ngalahin Penunggu Sekolahan buat dapet posisi terenak se-XII IPS 3."

Tarik napas...

Buang.

Oke. Karla sudah sering mengalami gangguan dari iblis di depannya. Jika dirinya bisa mengontrol emosi sedikit lagi saja mungkin setidaknya dia tak harus berurusan lebih panjang dengan Prana. Ya, dia hanya harus mengalah seperti hari-hari yang sudah berhasil ia lalui. Meski dengan sangat berat hati--demi Tuhan kursi itu memang paling pewe sedunia!--Karla menyeret tasnya menuju bangku paling jauh dari tempat cowok itu berada.

When The Sun Goes DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang