2.

5.5K 622 83
                                    


Unintended revised version part 2: Vandra POV

Hari ke-65 aku mendekap di rumah sakit. Vanya, kakak perempuanku yang super bawel itu tidak membiarkanku beranjak dari tempat tidur semenit sekalipun, seperti hari ini saat aku berusaha keluar dari kamar karena perasaan bosan minta ampun. Dia malah menceramahiku hampir dua puluh menit.

"Itu luka jangan sampe makin parah, terus kamu nggak lupa kalo tulang bahu kamu patah kan?" tangan Kak Vanya menunjuk-nunjuk pundakku, matanya juga menatapku tajam sarat penekanan. "Udahlah, Van. Diem aja di kamar nggak usah ke mana-mana."

Aku menyerah, kembali berjalan pelan ke tempat tidur yang paling setia menemaniku dua bulan ini, tentu saja selain Jihan yang juga sangat sering mengunjungi.

Berbicara tentang gadis itu, aku jadi teringat mantan pacarnya, orang yang membuatku terpenjara berhari-hari di rumah sakit. Laki-laki yang memang tidak pernah menyukaiku sejak dulu awal mula mereka berpacaran. Tentu saja aku tahu alasannya, Gilang cemburu padaku yang selalu menjadi nomor satu untuk Jihan, mana ada laki-laki yang tidak marah kalau dia dinomor duakan oleh perempuannya.

Aku masih ingat saat Jihan memilih ditemani olehku untuk mendaftar kuliah. Juga ketika dia harus pulang ke rumahnya, dia terang-terangan meminta aku yang mengantar parahnya, dia melakukan semua itu tepat di hadapan Gilang. Apalagi ketika tahun lalu Gilang berulang, Jihan malah membuntutiku ke Bromo. Setelah semua kejadian itu aku pikir Jihan memiliki perasaan spesial untukku, aku memberanikan diri memintanya putus dari Gilang dan menjalin hubungan denganku. Tapi, aku salah. Mungkin Jihan tidak pernah menganggapku sebagai laki-laki terbukti dia terang-terangan menolak perasaanku di malam yang dingin di puncak Bromo.

Aku menertawaiku diriku sendiri mengingat semua itu.

"Kenapa?"

Kak Vanya yang sejak tadi membaca berkas-berkas kasus pembunuhan terselubung Gilang padaku, menoleh keheranan mendapatiku tertawa sendirian. "Serem tahu, tiba-tiba ketawa kayak gitu."

Aku memangku pipiku dengan tangan berusaha terlihat manja dan manis di depan Kak Vanya. "Makanya, cepet-cepet bawa aku keluar dari sini."

"Nanti aja kalo udah sembuh."

"Ya ampun, Kak. Aku udah sembuh."

Kak Vanya menatapku lama. "Kalo tangan kanan kamu udah positif bisa digerak-gerakkan." Perempuan yang kupanggil kakak sejak aku dilahirkan itu kembali mengalihkan pandangannya ke map cokelat yang dia pegang.

"Kak...." Aku merengek, geli memang. Tapi ini jurus terakhir yang bisa aku pakai.

"Van, aku takut Gilang berulah lagi kalo kamu keluar dari rumah sakit bulan ini. Aku belum berhasil bawa dia ke penjara. Kamu nggak tahu, berapa banyak yang orang tuanya keluarkan agar anaknya itu tetap bebas." Tatapan Kak Vanya berubah lembut menyiratkan kekhawatiran yang mungkin selalu dia sembunyikan selama ini. Selain harus mengurusku di rumah sakit, Kak Vanya sebagai pengacara juga sedang berusaha keras meminta keadilan tentang kejadian yang aku alami.

"Dia pasti masih berkeliaran mencari kesempatan buat lukai kamu lagi."

Aku kembali tertawa memegangi kepalaku yang tidak sakit. Dengan kondisiku yang seperti ini, memang aku bisa mati kapan saja di tangan Gilang. Aku nyaris lumpuh, maksudku tangan kananku.

"Pio baik-baik aja?" Aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Jihan yang jaga, kok."

Dan,

"Ada yang lagi ngomongin Jihan?" Sebuah suara tiba-tiba muncul dari arah pintu, aku melihat kepala Jihan menyembul dari arah sana.

"Hei" Kak Vanya mendekati gadis itu, lalu memeluknya.

UNINTENDED (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang