"Mak, lagi ngapain?" Aku mencomot gorengan yang baru saja Mama sajikan di piring. Panas.
Mama yang sibuk dengan spatulanya menoleh,"Kamu lihatnya mama lagi ngapain?" Mama mendesis dan melanjutkan lagi aktifitas menggoreng.
"Bikin gorengan."
"Udah tau nanya."
"Ish, Maak ..."
"Apa Fani?" Mama terlihat dongkol, aku nyerenges lebar, "udah sana siap-siap sekolah. Mama lagi sibuk. Don't disturb Mama, okay?"
"Hoh." Aku menggelontor dari hadapan mama.
"Oh ya Fani, jangan lupa sama rencana Mama."
Aku yang sudah berjalan berhenti, menoleh menatap Mama dan menaikkan satu alis, "rencana apa?"
"Naklukin nak Kahfi."
"Hohoho," aku tersenyum miring, "emang rencana Mama apa?"
Mama mematikan kompor dan mendekat, dia berbisik, "Mama tadi malem searching di google, tentang gimana naklukin hati manusia."
"Terus?"
"Menurut mama mending kamu pelet dia?"
Aku terbelalak, "PELET?? MA AKU CINTA DIA TAPI AKU PANTANG DENGAN CARA KOTOR!!"
"Ini juga nggak bakal kotor-kotoran kok."
"Beneran?" aku menatap Mama penuh selidik.
"Iya, kamu tinggal ambil tiga helai rambut nak Kahfi," mama berkata serius, "atau kalau susah kamu cukup ambil kaos dalamnya, nggak kotor-kotoran kan?"
"Iya juga sih ... tapi, Mak!" aku sedikit kesal, "itu susah."
"Gampang! Jangan nyerah sebelum berperang."
"Oke, jadi?"
"Kamu ambil rambutnya tiga helai, atau kalau itu susah kamu ambil kaos dalamnya aja."
"Ya lalu?"
"Setelah dapat salah satunya..." Mama menjeda ucapannya, dia merogoh saku lalu mengeluarkan ponsel dan mulai membaca, "kalau dapat rambut tiga helai, rambutnya kamu simpan ditempat pensil kamu, kalau kamu dapatnya kaos dalam, kamu rendam di lumpur tiga hari tiga malam, lalu cuci lima hari tujuh malam, lalu simpan di dalam sarung bantal kamu."
"Ya dan akhirnya?"
"Akhirnya nak Kahfi cinta sama kamu! Yeay!!" Mama melompat-lompat.
Nggak logis menurutku. Baru dengar cara memikat hati orang dengan cara pelet sebegitu anehnya.
"Mak, ku penasaran tingkat provinsi. Ngomong-ngomong tentang pelet itu Mama sumbernya dari mana?"
Mama berhenti melompat-lompat dan tersenyum lebar, "dari ... paranormal idiot dot com."
"MAK? IZINKAN FANI KEJANG-KEJANG KESELEK GORENGAN."
***
Pagi-pagi kelas riuh seperti biasa. Ada Ani yang berkeliling menawarkan dagangan risolnya, ada vida, vita dan vila yang sedang monyong menghadap kamera. di depanku ada Gea, cewek tak perduli penampilan meski terkadang mendapat teguran.
"Fan, PR nya udah belum?"
Pr? Aku menaikkan satu alis, "h-hah?"
"Pr udah belum?"
"Emang ada Pr ya?"
"Ini bocah! Ada tugas merangkum dari Ustadz Kahfi mengenai qada dan qadar, nyangkut paut sama tujuan hidup juga," Gea heboh, dia mengguncang pundakku sambil menatap horror, "jangan bilang lo belum?"
Aku menggeleng.
"Ajib! Nanti lo bakal dipanggil ke ruangan Ustadz Kahfi buat dikasih hukuman." Gea mendelik saat aku malah mengendikkan bahu acuh, "naah tuh masuk, mampus lo!"
Aku menatap ke depan, meneliti penampilan Ustadz Kahfi yang memang selalu menawan. Haha ... tunggu saja Ustadz! Tidak lama lagi hatimu akan ku tawan.
"Assalamu'alaikum semua, sehat hari ini?" Ustadz Kahfi tersenyum manis. Matanya sedikit menyipit. Ah dari kemarin-kemarin alisnya masih tebel aja, nggak menipis sama sekali persis seperti rasa cintaku untuknya, hehe.
"Wa'alaikumussalaam, sehat Ustaaadz!" Kami menjawab serempak.
Pelajaran dimulai, Ustadz Kahfipun menerangkan panjang kali lebar mengenai qadha dan qadar, yang bersangkut pautan dengan banyak hal, seperti bahwa manusia itu hidup harus memiliki tujuan, apa yang ingin diraih serta diwujudkan.
Ustadz Kahfi berhenti menerangkan, dia kali ini melingkari tulisan himmah yang tertulis di papan lalu bertanya, "jadi ... Siapa yang mau memberi tahu tujuan hidupnya pada saya?"
Kelas hening.
"Saya, Ustadz!" Gea mengangkat tangan. Sementara Ustadz Kahfi tersenyum manis.
"Silahkan Gea, apa tujuan hidup kamu, saya ingin dengar."
"Saya pengen jadi anak sholehah yang punya rumah sakit besar dan terkenal, serta menyedekahkan sebagian hartanya untuk orang yang nasibnya tidak seberuntung saya, Ustadz."
Ustadz mengangguk bangga, "Waah, mulia sekali Gea," serunya, "ada lagi?"
"Saya Ustadz!" Akmal mengangkat tangan semangat.
"Silahkan Akmal."
"Saya mah pengen jadi suaminya Gea aja deh Ustadz, biar nggak usah kerja tapi banyak uang dan sukses. Saya akan menoreh sejarah baru, dengan menjadi pengangguran miliarder pertama di dunia."
Seisi kelas tertawa, Ustadz Kahfi hanya menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
"Ustadz saya juga dong!" Aku bersuara, Ustadz Kahfi menatapku tepat di mata membuat perutku rasa-rasanya dihujani gula-gula, "tapi nanya dulu deh. Boleh kan Ustadz?"
Ustadz Kahfi mengangguk.
"Tadi Ustadzkan menjelaskan tentang takdir yang tidak bisa diganggu gugat, seperti umur, jodoh, maut dan ..." aku kebingungan.
"Rezeki," ucap Ustadz Kahfi.
"Nah iya itu. Tapi poinnya bukan itu sih, Tadz. Saya cuma mau nanya kenapa sih, manusia itu diciptakan berpasang-pasangan?"
Ustadz Kahfi di depan mengerutkan kening, dia terlihat sedang memikirkan jawaban apa yang pas, "jadi gini Fani-,"
"Gimana Ustadz?"
"Sabaar dong," Ustadz terkekeh, "kenapa manusia diciptakan berpasang-pasangan? Sebenarnya gampang, dari situ Allah hanya ingin menunjukan bahwa ... yang satu itu hanya Allah, yang tidak berpasangan itu hanya Allah, sebagai pembeda mana makhluk dan mana sang khalik."
"Oh gitu ya Ustadz," aku manggut-manggut, "Ustadz, terus gimana sama saya yang jomblo dari lahir, dan sudah lima tahun belakangan ini saya menyandang gelar tuna asmara, apa itu tidak menyalahi kodrat dan aturan?"
"Ya tidak tentu, lagian nggak sedikit makhluk yang dipertemukan dengan jodohnya di akhirat, kok."
"Tapi saya nggak mau dipertemukan di akhirat Ustadz, pengennya di dunia dan itu sekarang!"
Ustadz Kahfi hendak bicara lalu mengatupkan bibirnya cepat, "eh?"
Kelas hening.
"Ustadz ... pulang sekolah nanti tolong nikahin saya!"
***
Hai? Baca ya ... Ini short story spiritual pertama. Jangan lupa vote ya. 😂Salam b aja dari author amatir di sini. 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
F a n i
Humor"Sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan untuk bisa menikung." -Fani Karin Abdullah Hak cipta dilindungi undang-undang Copyright©AnaAbdullah Mei, 2018