bagian tiga: gombalan maut

90 0 0
                                    


***

Jam setengah lima sore, Papa duduk santai dengan kopiah miringnya di depan tv, ditemani secangkir kopi dan setoples kerupuk lumping sapi.

"Dad," panggilku.

Papa yang sedang sibuk mengunyah menoleh, "hmm?" Sahutnya sambil mengangkat alis.

Aku mengendikkan bahu, "test pendengaran doang." Aku langsung ngacir dari hadapan Papa. Aku yakin sembilan puluh delapan persen Papa berteriak tidak terima.

Aku sampai dapur, menatap Mama yang lagi-lagi sibuk di depan kompor, "Mak, lagi ngapain?"

Mama menoleh, "kamu lihatnya Mama lagi ngapain, Fani?" Mama berdecak dan menatapku jengkel. Aku hanya nyengir lebar, "kamu jangan keseringen nanya yang nggak guna gitu sama Mama, dong!"

Aku haha hehe sambil menggaruk belakang kepala, "Mak, kalau boleh ja-,"

"Ape?"

Sekarang giliran aku yang berdecak, "Mak ku cuma mau ngomong, sekali-kali buatnya jangan gorengan tempe kek, Fani pengen punya bibir yang seksian dikit," Mama menoleh bingung, "yaa ... maksud Fani, ganti kek jangan gorengan mulu. Kalo bibir Fani ketemunya sama yang berminyak mulu ... Fani nggak pede, berasa punya pinggiran asbak yang menempel bukan pada tempatnya."

"Bibir kamu memang kayak pinggiran asbak, Fan."

"Mak!" aku berucap tak terima, "ya sebenernya nggak apa sih, dari pada bibir Mama, kayak pinggiran koreng, hii."

Pletak!!

"Aduh," aku meringis lalu mengusap-usap kepala, "Mak, aku pengen cerita,"

"Nanti dulu," Mama meletakkan satu sorok gorengan di piring.

"Tentang Ustadz Kahfi ini mah."

Mama yang hendak menggoreng, langsung mematikan kompornya, aura semangat membara dapat aku rasakan melalui pancaran wajahnya, haha.

"Jadi gimana?"

"Aku nggak jadi ambil rambut sama kaos dalamnya," bahuku merosot, kecewa. "Nggak tau caranya, lagian gimana mau ngambil, Mak? Fani mah ditatap sama Ustadz Kahfi aja udah berasa nggak punya tulang sama pijakan"

Mama yang tadinya menampilkan raut jengkel berubah seolah mual mendengar perkataanku, "heleh lebay."

"Beneran, Mak..." aku mencoba meyakinkan, "terus-terus, pas pelajaran kan Fani ngomong pengen dinikahin sama Ustadz Ka-,"

"Serius?? Kamu ngomong gitu?" Mama memotong ceritaku, dia mengguncang bahuku berlebihan, "ayo lanjut! lanjutkan ceritamu! Mama yakin kamu mewarisi darah muda Mama dulu."

"Darah muda Mama yang mana?"

"Yaa ... yang nyulik Papamu itu."

"Nyulik?" keningku mengkerut bingung. Otakku berpikir keras, apa jangan ja-

"Kan Mama pernah cerita, buat nikahin Papamu Mama perlu nyulik Papamu dulu."

Heh?? "Memang Papa nggak berontak ta, Mak?"

Mama tertawa merdu, kuah dari mulutnya menciprat sedikit hampir mengenai wajahku, "Ya enggak dong! Yakali Papamu berontak, orang Papamu cinta sama Mama," Mama menepuk dada bangga, sementara aku hanya menatapnya heran.

Beliau melanjutkan bercerita, "sebenernya Papamu yang mau nyulik Mama, tapi berhubung Papamu anak keagamaan yang katanya takut dosa, Mama sama Papa buat kesepakatan, biar Mama aja yang nyulik Papa."

Sungguh luar biasa. Tidak pernah berhenti terkagum-kagum aku kalau mendengar cerita hebat Mama bersama Papa dulu, "Mak, Kau begitu luar biasa."

Mama terbahak sombong, "Mama gituloh!" serunya bangga, "udah lupain soal tadi, jadi ... gimana soal Nak Kahfi?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

F a n i  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang