1 : Awal Mula

7.9K 585 8
                                    

Bagaimana aku memulainya? Dari mana aku memulainya? Semua ingatan berkelebat mendesak otakku hingga nyaris meledak. Kapan ini dimulai? Kapan kau mulai kehilangan harapan? Kapan terakhir kau tertawa? Aku melepaskan segalanya---tidak, aku hanya pura-pura tidak menyadarinya; perubahan-perubahan yang ada padamu dan membawamu pergi dariku. Yang kulakukan hanya bergumul dengan buku-buku, duduk membelakangimu, tertawa tanpamu, tak lagi memandangmu. Aku tahu aku salah. Aku tahu.

Tapi, ada ingatan-ingatan yang jelas, beberapa minggu sebelum kita akan mengikuti ujian kelulusan. Kita menghabiskan waktu di tempat-tempat sepi; perpustakaan, taman, kamarmu, kamarku. Hening mendera kita, buku-buku tergeletak di mana-mana, aku menekurinya dengan mata menajam dan dahi mengerut, dan kau hanya duduk di hadapanku dan tak pernah mengalihkan pandanganmu dari wajahku. Awalnya aku tidak tahu pandangan macam apa itu, tapi sekarang ..., aku ingin tertawa, menertawakan diriku sendiri. Bukankah itu terlalu jelas? Kau seperti seseorang yang patah hati dan ingin menyerah.

Suatu hari di perpustakaan sekolah, di samping taman dengan pohon-pohon maple yang meranggas, daun-daun berwarna-warni yang jatuh ke tanah, angin yang berembus dan mencoba menembus jendela kaca di samping kita, orang-orang sibuk dengan rutinitasnya sendiri, kau masih melakukan hal yang sama, memandangku dengan wajah putus asa, dan aku tetap saja menganggapmu tidak ada; membaca, menggarisbawahi sebuah kalimat, menuliskanya ulang di sebuah buku catatan, membuka ensiklopedia, berlari ke rak-rak buku, mengambil sebuah buku, lalu mengulangi itu beberapa kali dan tak sekali pun menyebut namamu. Aku tahu aku keterlaluan.

Akhirnya, kau mendesah. Aku tidak sadar itu telah berarti pasrah.

"Sasuke," panggilmu pelan, aku mendengar.

"Hn," aku menggumam, bahkan enggan mendongak.

"Apa rencanamu setelah lulus?"

"Aku ingin kuliah di Amerika, mengambil jurusan kedokteran. Kenapa?"

"Ah," katamu seolah menduga sebelumnya. Lalu tersenyum kecil---senyum yang miris. "Kau pasti bisa." Hanya itu yang kau lontarkan, seolah kau yang biasanya banyak bicara tiba-tiba saja kehilangan nyaris semua kata-kata.

"Kau sendiri bagaimana?" aku balik bertanya, menatapmu akhirnya.

Tapi saat itu kau justru menunduk, memerhatikan tanganmu yang tergeletak di atas meja dengan lemah. "Aku ..., aku tak tahu. Aku akan pikirkan itu nanti. Hehe!" Lalu mengangkat kepala sambil nyengir.

Aku memukul kepalamu ringan dengan pulpen di tangan. "Kau harus memikirkannya dari sekarang. Aku sarankan, cobalah untuk ikut tes universitas. Aku tahu kau bodoh, tapi asalkan kau mau berusaha lebih keras tetap akan ada harapan. Kau sendiri yang bilang 'kan kerja keras tak akan pernah berbohong?"

Kau tak menjawab, kau hanya mengambil buku dan mulai membaca tanpa menatapku lagi.

Aku bodoh. Aku bodoh. Harusnya aku tak mengatakannya. Kau sudah cukup berusaha, dan kau sudah melewati limit di mana kau terlalu bosan, lelah, bahkan muak. Kau tidak butuh itu lagi, kan? Kau butuh aku. Tapi aku yang buta dan tuli sulit menyadari, mataku berkabut tentang bayangan masa depan yang indah; berkuliah, menjadi dokter dengan gaji yang besar, membeli kendaraan dan rumah, menjalin hubungan dengan seorang wanita cantik yang lembut, menikah, memiliki anak-anak, lalu mati di masa tua. Dan dari seluruh impian itu aku tak pernah mengikutsertakanmu. Bodohnya, kau tidak ada. Kau tidak pernah ada. Dan kau yang aku sering sebut bodoh nyatanya tak sebodoh itu. Tentu saja, kau menyadarinya.

Mulai hari itu, kau mungkin menganggapku tidak ada. Aku memadamkan satu-satunya cahaya yang tersisa; diriku sendiri.

TBC

The Last Letter [Sasunaru Fan Fiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang