Senyum Palsu

1.2K 156 12
                                    

Seharusnya Jimin tahu, kalau rekahan senyum palsu Jungkook saat itu akan menjadi rekahan
senyum terakhir yang adiknya tampilkan.

♦♦♦

"Hyung,"

"Apakah kita akan bahagia?"

Jimin bersimpuh di depan kursi roda yang diduduki oleh Jungkook. Ia meraup wajah letih adiknya, "Tentu. Kita akan bahagia."

Jungkook hanya meluruskan pandangannya ke depan, memandangi orang - orang yang sedang berlalu - lalang di taman rumah sakit sore itu. Entah mengapa, ia enggan membalas tatapan lembut Jimin yang mengarah padanya. Jungkook hanya merasa Jimin terlalu menahannya, memaksanya untuk selalu mengikuti dan menuruti apa yang Jimin minta.

Permintaan Jimin hanyalah permintaan yang sederhana. Tetaplah tinggal di sana dan bahagia bersama Jimin selamanya.

Namun, Jungkook bimbang. Akankah ia mampu memenuhi permintaan kakaknya? Jungkook ingin sekali berkata pada Jimin kalau ia sudah tak kuat. Ia tak lagi sanggup. Sepayah apapun ia mencoba menahan dan terus menahan, rasa sakit itu akan semakin mengikis raganya. Mencampakkannya ke titik kesadaran yang paling dasar.

"Sklerosisnya sudah masuk tahap yang sangat mengkhawatirkan. Sel darah putih Pasien Park Jungkook menjadi terlalu agresif sehingga menyerang selaput pelindung saraf pada otaknya."

Jungkook juga tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya. Walaupun Jimin bungkam bila ia bertanya soal kesehatannya sendiri, ia bukanlah seorang bocah yang bisa dibodoh -
bodohi. Jimin bohong jika berkata kalau Jungkook itu baik - baik saja.

Karena pada kenyataannya, Jungkook itu tidak pernah merasa kalau ia baik - baik saja.

Jungkook tak ingin memberi harapan yang sia - sia.

Jungkook hanya tak ingin Jimin berakhir kecewa.

Jungkook juga tak ingin membenci dirinya sendiri karena tak memenuhi permintaan Jimin yang tak seharusnya ia setujui.


"Kita akan bahagia..." gumam Jungkook sambil tersenyum kecut ketika Jimin menanggapi pertanyaannya.

"Kita...," Jungkook mengalihkan pandangannya, memandang mata Jimin yang terlihat memerah dan berkaca di sana, "... aku dan kau...,"

"... akan bahagia."

Jimin memeluk tubuh adiknya, berusaha tegar kala tubuh Jungkook sudah bergetar hebat di sana karena menahan isak tangisnya, "Benar. Kita akan bahagia, Jungkook."

"Kau dan aku, akan bahagia. Selamanya."

♦♦♦

"Jungkook?"

Jimin merapihkan poni Jungkook yang tergerai lepek dan kusut, menatap lembut wajah adiknya. Bibir Jimin bergetar ngilu jikalau terus - terusan memandang wajah Jungkook. Jungkook terlihat pucat, bibirnya kering terkelupas, serta mata yang tak lagi mampu memancarkan binar keindahannya.

"Hm?"

Jungkook menoleh kala Jimin memanggil namanya. Anak itu mencoba tersenyum, walaupun yang Jimin tangkap itu adalah senyum yang sarat akan kebohongan. Senyum
Jungkook itu palsu, Jimin muak melihatnya.

"Kau ingin hadiah apa dariku?"

"Hadiah?"

Jimin mencoba merekah senyum. Hatinya berdenyut sakit ketika Jungkook membalas senyumnya dengan senyum palsu yang adiknya itu ciptakan, "Ulang tahunmu."

Jimin meraih tangan adiknya yang berbaring di ranjang pesakitan. Sedangkan Jungkook, anak itu berusaha terlihat baik - baik saja tatkala pening itu kembali menyerangnya, merobohkan tembok pertahanan yang susah payah ia bangun. Jungkook menggeleng, meremas tangan kakaknya dan berharap pening itu akan pergi, lenyap dari kepalanya.

"Kenapa? Kau tidak ingin hadiah dariku?"

"Eoh? Kata siapa?"

"Bukankah tadi kau menggeleng?"

"Aku?" Jungkook menunjuk dirinya sendiri, "Kapan?"

"Tadi."

"Bukan begitu, kok."

"Eum..., aku...," Jungkook memberi jeda, "hanya ingin hadiah yang sederhana."

"Sederhana? Sesuatu yang sederhana?"

Jungkook mengangguk, "Aku hanya ingin Bunga Krisan Kuning yang indah...,

... serta keikhlasanmu, Hyung."

Gigi Jimin menggertak. Ia mencoba menahan air mata yang tiba - tiba saja ingin mendesak keluar kala Jungkook menggumamkan kalimat itu dari bibir keringnya, "Krisan?"

Jungkook hanya menampilkan jejeran gigi putihnya di sana.

"Untuk apa bunga krisannya?"

"Supaya makamku terlihat indah, Hyung."

Lagi, Jimin menggertakkan giginya untuk yang kedua kalinya. Ia menarik napas dalam, membelai wajah adiknya yang sangat pucat. "Oke. Aku akan memberikan hadiah Bunga Krisan Kuning yang indah...," napas Jimin tertahan, "... serta keikhlasan untukmu."

Jungkook mengaitkan tangannya dengan tangan Jimin, "Terima kasih."

"Hyung, aku lelah. Tak apa 'kan kalau aku tidur?"

"Kau lelah?" Jimin mengulum bibirnya sendiri, tak biasanya Jungkook mengeluh lelah padanya. Ia mengeratkan genggamannya pada adiknya, "Tidurlah. Aku akan tetap berada di sampingmu dan menjagamu. Aku juga tidak akan memaksamu untuk bangun jika kau sudah terlelap."

Jimin menarik selimut biru langit berlogokan lambang rumah sakit itu hingga menutupi dada adiknya, "Aku akan menunggumu bangun dengan sendirinya."

"Hm. Terima kasih untuk segalanya, Hyung. Aku sangat bersyukur karena telah memilikimu. Aku senang."

Jungkook menggapai wajah kakaknya, "Jimin Hyung, aku menyayangimu."

"Aku..," Jimin merasa kalau pipinya di aliri oleh air, "... juga menyayangimu."

Seharusnya Jimin tahu, bahwa sore itu, akan menjadi kenangan terakhir yang sempat ia rekam bersama Jungkook.

Jika saja Jimin tahu, tidur yang Jungkook maksud itu bukanlah tidur yang ia jalani setiap malamnya.

Dan seharusnya Jimin tahu, rekahan senyum palsu Jungkook saat itu akan menjadi rekahan senyum terakhir yang adiknya tampilkan.

Jimin egois. Ia hanya terlalu hanyut dalam ketakutannya, terseret oleh rasa takutnya sendiri jika ia harus kehilangan Jungkook. Tanpa ia ketahui, tak seharusnya ia menunggu
Jungkook bangun dari tidurnya.

Karena, jiwa dan raga adiknya telah pergi untuk selamanya.

Meninggalkannya sendirian bersama kenangan indah yang tak banyak sempat ia dan adiknya ciptakan. []

Senyum Palsu yang TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang