confession

1.1K 49 0
                                    

Chelsea memalingkan wajah mendengar penjelasan Bagas soal 'bunglon' tadi.

"Chel" Bagas berdehem sebentar sebelum meletakkan piring berisi kue yang sudah habis separuh itu.

"Hm"

"Gue ..." Bagas menggantung ucapannya.

Chelsea menoleh, harap-harap cemas dengan apa yang ingin Bagas sampaikan. Sayangnya, sebelum Bagas sempat bicara seseorang sudah lebih dulu menyela.

"Lo masih gak punya malu ya Chel" Chelsea menoleh ketika sebuah suara mengganggunya.

Melihat Shila, Chelsea memejamkan mata sejenak.

"Ngapain lo dateng? Duduk bareng Bagas lagi. Belum puas ngambil kerjaan gue?!" Shila masih bersikap elegan. Hanya nada suaranya yang terdengar tajam.

"Kak, please ..." Chelsea mulai lelah.

"Apa?! Lo mau ngambil Bagas juga?" tantang Shila sinis.

"Oh, atau lo mau bikin Bagas mati juga dan bikin Angel depresi kayak yang lo lakuin ke Alvin?!"

Chelsea sudah tidak tahan lagi. Dia berdiri menantang Shila.

"Kematian kak Sivia tidak ada hubungannya denganku. Pekerjaan kakak yang hilang adalah kelalaian kakak. Dan, Bagas. Dia dan Angel hanya terjebak pejodohan bisnis. Bagas berhak memilih dengan siapa sebenarnya dia akan menikah" ucap Chelsea tajam.

"Oh? Gitu? Kalau hari itu lo gak ngerengek minta Alvin buat jadi fotografer lo dengan meluk-meluk Alvin. Apa iya Sivia bakal salah paham? Dia nunggu Alvin yang mau pergi kencan selama hampir dua jam terus dia malah ngeliat pacarnya lagi gelendotan sama jalang kayak lo! Apa iya, ada kemungkinan Sivia bakal mati malem itu?!" Shila sudah tidak tahan lagi. Bahkan ucapannya membuat perhatian di sekitar mereka teralihkan.

Chelsea jelas terkejut dengan penjelasan Shila. Dia tahu Sivia meninggal karena kecelakaan. Tapi Chelsea baru tahu penyebab kecelakaan itu.

Chelsea memegang ujung meja kuat-kuat berharap dapat menambah kekuatan dirinya untuk berdiri.

"Kak. Apaan sih! Malu-maluin tauk. Diliatin nih!" bisik Angel yang menarik lengan Shila.

Shila menghempaskan tangan Angel dari lengannya dalam satu kali entakkan. Matanya masih nyalang menatap Chelsea.

"Gue gak masalah lo ambil pekerjaan gue. Tapi, lo udah ngambil sahabat gue. Dan gue gak bisa maafin lo. Liat hal gila yang bisa gue lakuin kalau lo sampai nyakitin adik gue" ancam Shila tegas dan tajam sebelum meninggalkan Chelsea yang sudah terduduk lemas.

Bagas yang sedari tadi sibuk memperhatikan penjelasan Shila, mendekati Chelsea yang memandang kosong lantai.

Bagas menekuk satu kakinya agar dapat sejajar dengan gadis itu.

Menepuk pelan punggung tangan Chelsea, Bagas tersenyum menghapus air mata yang sudah jatuh di wajah gadis itu.

"Mau keluar?" tawar Bagas

Chelsea mengangguk lemah.

Bagas langsung menggandeng lengan Chelsea erat dan menuntunnya berjalan keluar.

Chelsea tidak peduli kemana mereka akan pergi. Dan setelah sadar, Chelsea bisa melihat jalanan padat ibu kota dari tempatnya sekarang. Mereka ada di atap gedung ini.

Duduk di lantai, Bagas melepas jas hitamnya kemudian menggunakannya untuk menutupi paha putih Chelsea yang terekspos.

"Lo mau tiduran?" ucap Bagas menepuk-nepuk pahanya.

Tanpa di komando dua kali, Chelsea merebahkan kepalanya di atas paha Bagas.

Seperti biasa, satu tangan Bagas akan di pegang oleh Chelsea dan satu tangan yang lainnya Bagas gunakan untuk mengelus puncak kepala gadis itu.

Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut keduanya sampai tiga menit selanjutnya terdengar isakan kecil dari mulut Chelsea.

"K ... Kenapa ... Gue ... G ... Gak ... Tahu?" ucap Chelsea susah-payah di sela isakannya.

Bagas menarik tubuh Chelsea agar bangkit. Dia merengkuh gadis itu kedalam pelukannya.

"Sstt ... Don't cry baby. It's not your mistakes. All is destiny" ucap Bagas mengelus punggung Chelsea yang semakin kencang terisak.

Tidak ada jawaban dari Chelsea. Tangisan Chelsea pecah. Bagas yang mendengar itu ikut merasa nyeri di bagian ulu hatinya.

Chelsea melepas pelukannya setelah mendengar dering ponsel.

Menarik nafas panjang, Chelsea berusaha bicara senormal mungkin.

"Ya, ma?"

"..."

"Aku keluar bareng Bagas. Nanti aku pulang sama Bagas naik taksi" jawab Chelsea menatap Bagas seolah meminta persetujuan. Bagas yang paham, langsung mengangguk.

"..."

"Iya. Apa sudah selesai?"

"..."

"Oke. Dahh"

Chelsea menutup sambungan telephone dan mengusap sisa-sisa air matanya. Dia kembali kedalam pelukan Bagas hanya dengan posisi berbeda.

Gadis itu bersandar pada dada bidang Bagas membuat pria itu bisa memeluknya dari belakang.

Nyaman dan aman. Itu yang Chelsea rasakan ketika bersama Bagas.

"Sekarang gue musti gimana, Gas?" tanya Chelsea serak.

"Lo gak tahu soal kejadian itu. Tapi, kalau lo mau lega. Gue saranin lo minta maaf sama bang Alvin dan khususnya kak Shila. Dari yang gue liat tadi, kak Shila bener-bener terluka." jelas Bagas

Chelsea menghembuskan nafas. Lagi. Memejamkan mata sejenak, dia tidak yakin akan dengan mudah mendapat maaf dari Shila.

"Gas, gue jahat gak sih sama Marsha, Angel sama Bastian juga" ucap Chelsea lagi.

"Urusan Marsha, gue yang bakalan selesain. Termasuk Angel, biar itu jadi urusan gue sama keluarga. Bagian lo, Bastian sama kak Shila." ucap Bagas menggenggam tangan Chelsea erat.

"Gue ngerasa jahat"

"Setiap orang adalah jahat dan baik menurut posinya masing-masing. Setiap orang selalu punya kesalahan. Dan setiap irang punya kesempatan" kali ini Bagas mengeratkan pelukannya pada Chelsea.

Angin malam semakin terasa di kulit tangan Chelsea. Bagas meraih jas yang tadi ia gunakan untuk menutup paha Chelsea menjadi menutup bagian depan tubuh gadis itu, sementara kaki Chelsea Bagas lindungi dengan kedua kakinya.

Chelsea menyandarkan kepalanya pada dada bidang Bagas. Sedang Bagas meletakkan sebelah pipinya pada puncak kepala gadis itu.

"Gue takut Gas"

"Ada gue. Jangan ngerasa semua masalah penyebabnya adalah lo. Kita selesain bareng-bareng" ucap Bagas meyakinkan Chelsea.

'Gue berharap masalah ini segera selesai. Setelahnya, gue bisa bicara soal kita.'

_

Pacar ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang