Kung-I

29 3 1
                                    

          Ketika aku masuk ke dalam rumah, wajah keriput itu menyambutku di beranda. Tidak perlu basa basi yang aku lakukan adalah cepat-cepat beranjak menuju kamar. Tubuhnya yang renta hanya duduk di kursinya degan segelas susu dan biskuit di meja dia biasa di temani. 

Seringkali dia keluar rumah hanya untuk melakukan kegiatan buang hajat. Sudah tidak ada rasa malu, kelakuannya persis seperti anak kecil. Pikirannya sudah kembali menuju masa kanak-kanaknya yang keras. Berulang kali orang rumah memintanya untuk buang hajat di toilet. Namun, seperti anak kecil dan sifat keras kepalanya, dia tidak mau mendengarkan. Mungkin tetangga sudah maklum dengan kelakuannya.  Ya mau bagaimana lagi. 

Hari-hari aku hidup disini, bersamanya dan orangtua-ku. Sudah biasa mendengarnya marah, karena mungkin itu sifatnya. Sudah biasa di bangunkan setiap malam ketika dia mengetuk pintu kamarku atau masuk kedalam kamarku. Entah apa yang ingin dia katakan, aku tidak pernah bisa mengartikan apa maksudnya yang kebanyakan ada perintah atau entah lah aku juga tidak paham. Pintu kamarnya selalu dibanting setiap kali marah, tenaganya masih sekuat dahulu ketika marah.

Masa remaja dalam lingkungan seperti ini membuatku banyak berpikir. Ini buka hanya tentang aku yang hidup di tengah keluarga dan semua keinginannya harus di penuhi. Menjadi remaja akhir yang harus memilih rumah ketimbang bersua dengan kawan, harus memilih mengalah daripada ada yang terluka. 

Tiga tahun bulan puasa disini bersamanya. Tahun pertama yang berat, tidak ada yang namanya buka puasa bersama kawan berlanjut obrolan ringan sampai larut malam, yang ada hanya aku yang harus segera pulang ketika selesai buka bersama. 

Tahun kedua yang sangat berat, ketika dia yang emosi-nya tinggi selalu marah, selalu ingin mencelakai ayah, rumah yang harusnya tenang hanya ada teriakan yang memekakkan telinga. Terkadang bantingan pintu hingga barang yang terlempar pun memenuhi indera pendengaran, ibu yang hanya bisa pasrah selagi meneteskan air mata. Dan, aku yang memasang earphone  dengan volume paling keras.

Dan, tahun ketiga yang terasa sendu. Semenjak memasuki bulan yang penuh berkah ini, dia hanya terbaring di kamar. Ranjang yang sama ketika nenek juga terbaring lemah dan pergi untuk selama-lamanya. Tubuhnya hanya tulang yang terbalut kulit cokelat gelap, tidak ada otot (daging) yang mengisi tubuhnya. Dia tidak pernah makan selama puasa, bukan karena dia ikut puasa melainkan... entahlah aku pun bingung kenapa dia tidak mau makan. Setiap hari ibuku yang memberinya madu dan air karena dia benar-benar tidak mau makan. Terkadang aku ikut membantu, membantu mengganti popok dan menyuapinya madu. 

Dunianya berbeda dengan kita yang masih sadar, matanya selalu memandang kosong. Walau dia masih mengingat namaku, tapi dia tidak pernah mengutarakan apa yang dia ingin ceritakan. 

Keluargaku tidak pernah pergi berlibur. Berbeda dengan teman-temanku yang liburan bersama keluarganya, keadaan keluargaku berbeda dengan mereka. Ibu dan ayah selalu bilang kepadaku bahwa kita berbeda, bahwa kita harus menjaga dia walau lelah dan bosan karena dia sudah tidak punya siapa-siapa. Yang dia punya hanya ibu, ayah, aku, dan adikku. 

Kejadian ini sama ketika nenek hendak pergi, keluargaku menetap di rumah ini. Dan ketika nenek pergi, yang aku lakukan adalah menetap ketika yang lainnya pergi. Tidak ada ayah dan ibu, yang ada hanya dia. Menjadi mandiri untuk beberapa bulan karena kasihan meninggalkannya pergi ketika dia ditinggalkan cintanya. Tak lama tapi aku menetap, pada akhirnya aku pun pindah. 

Dan dia sendiri. 

____

Ditulis sebelum dia pergi.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

in memoriamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang