Bonus Chapter: The Heir

31.4K 4.5K 467
                                    

Hujan deras dan angin kencang yang diiringi dengan suara gemuruh petir mewarnai malam itu, selain teriakan dan tangisan kencang seorang wanita yang tengah berjuang di antara hidup dan matinya.

"Yang Mulia." Salah satu pelayan membungkukkan badannya dalam-dalam ketika melihat Raja Alastair tengah duduk di kursi singgasananya, mengasah pedang yang berada di tangannya hingga tajam. Hingga pedang itu mampu menebas kepala musuh-musuhnya semudah memotong sepotong mentega yang biasa tersaji di atas meja makannya. "Ratu Clementine .... " Pelayan itu meremeas tangannya gelisah ketika melihat tatapan mata Raja Alastair yang menatapnya tajam.

Suara gemuruh dan kilat petir yang tiba-tiba menghampiri membuat semua pelayan yang berdiri di ruangan itu diam seketika. Bila ratu mereka mati malam ini, maka bisa dipastikan bahwa seluruh pelayan juga bidan yang berada di sisi Sang Ratu juga akan ikut mati saat itu juga.

Alastair beranjak turun dari atas kursi singgasananya lalu menyeret pedangnya menuju ruang persalinan, tempat Verity kini berada dikelilingi dengan belasan pelayan dan bidan yang tengah bersusah payah berjuang untuk melahirkan bayinya.

"Yang Mulia." Seorang prajurit yang berjaga di depan pintu ruang persalinan menunduk hormat ketika melihat Sang Raja yang kini berada di hadapannya, tidak segera masuk ke dalam ruangan itu.

"Raja Alastair." Tybalt, tidak, Jenderal Wildemarr, yang telah tiba dari Dragør sejak pagi tadi terlihat muram. Pria itu berdiri di depan pintu ruang persalinan, menuggu di sana semenjak Verity masuk ke dalam dan berteriak kesakitan.

Anak yang tengah mereka perjuangkan ini kelak akan memimpin seluruh Inkarnate, pewaris takhta kerajaan. Kelak anak ini tidak hanya penting untuk Austmarr, tetapi juga Dragør.

Alastair tidak membalas sapaan Tybalt, pria itu terdiam ketika ia mendengar suara jeritan dan tangisan wanita yang berada di dalam sana. Tidak lama kemudian terdengar suara jeritan bayi menggantikan suara wanita yang tadinya terdengar begitu dominan dengan tangis pilu kesakitan.

"Yang Mulia," seorang bidan yang membuka pintu lalu terhenyak kaget ketika melihatnya telah berdiri di depan sana. "Bayinya .... "

"Bagaimana ratuku?" Alastair melihat sekilas sosok bidan yang menggendong seorang bayi yang telah dibersihkan, sementara ia berjalan lurus ke sosok putih pucat yang masih berada di atas kasur. "Verity ... Verity .... "

Alastair diam terpaku ketika melihat sosok pucat Verity yang begitu mirip dengan sosok yang pernah ia temui di Dragør dulu. Sosok pucat yang merupakan mimpi terburuknya, sosok Verity yang tidak lagi bernyawa.

"Apa yang terjadi?" Alastair menggenggam tangan Verity, ia tidak bisa merasakan aura kehidupan di dalamnya.

"Yang Mulia." Seluruh bidan dan pelayan yang berada di dalam sana segera menunduk dalam-dalam, menyadari bahaya yang segera menyampiri bila Sang Ratu benar-benar telah tiada.

Suara ketukan pintu terdengar, mengisi kekosongan yang mencekam karena tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara selain seorang bayi yang menangis begitu kencang di ruangan itu.

"Alastair," Raja Alexander masuk ke dalam ruangan itu, melihat sosok pucat Verity yang terbaring di atas kasur dan menyadari apa yang menyebabkan suasana yang mencekam di dalam ruangan itu.

Alexander berjalan menuju Verity lalu membuka pelupuk mata wanita itu lalu mengangguk singkat ke arah Alastair. "Dia baik-baik saja."

"Apa kau yakin?" Alastair mengenggam tangan Verity semakin erat lalu mengecupnya sekilas.

"Dia akan baik-baik saja, Alastair," ucap Alexander tenang ketika melihat wajah Alastair. Pria yang berada di hadapannya itu mampu menyembunyikan kilatan ketakutannya ketika melihat sosok Verity yang terbaring pucat di hadapannya.

***

Sudah empat hari, empat hari Verity terbaring koma semenjak kelahiran putra pertamanya, Pangeran Lazarus Austmarr. Wanita itu belum membuka matanya atau menggerakkan jemarinya sedikit pun, membuat Alastair yang terus berada di sebelahnya cemas.

Alastair bahkan tidak memedulikan Alexander yang masuk ke dalam ruangan itu dan menatap keduanya dengan mata hijaunya yang cemerlang. Tangan kiri pria itu menggenggam erat sebuah tongkat yang membantunya berjalan sementara tangan kanannya yang kini tinggal setengahnya tersembunyi di balik lengan pakaian yang ia kenakan.

"Pangeran Lazarus ... " Alexander mengembuskan napas panjang. "Jantungnya .... "

***

Tidak butuh waktu lama bagi Alastair untuk segera berjalan menghampiri ruangan tempat penerus takhtanya itu berada. Sosok pangeran kecil itu berada di sana, di atas ranjang bayi berwarna putih yang diletakkan tepat di bawah jendela mozaik besar yang terpapar sinar matahari langsung. Pelayan dan ibu susu yang berada di ruangan itu segera bangkit berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat Sang Raja pertama kalinya masuk ke dalam ruangan itu.

"Kau bilang jantungnya?" Alastair melihat sosok pangeran kecil yang tengah tertidur itu lalu menolehkan kepalanya sekilas ke arah Alexander.

"Kutukan Mariella." Alexander mengangguk singkat.

"Bahkan setelah wanita itu mati?" Alastair tersenyum getir ketika melihat putranya itu. Kutukan Mariella tidak berakhir di dirinya, kutukan Mariella akan terus ikut ke seluruh Raja Austmarr yang berikutnya. Tidak ada jalan keluar untuk kutukan itu.

"Dia akan tumbuh besar dengan kutukan yang menempel kuat di dalam dirinya, Alastair. Tidak ada jalan keluar lain selain menerimanya." Alexander memperhatikan sosok pangeran kecil itu. Tidak ada satu pun bagian dari Verity yang terlihat di dalam diri bocah itu. Pangeran Lazarus seperti cerminan dari ayahnya, mata cokelat gelap dengan rambut yang sama gelapnya. "Bagaimana kalau Verity tahu nanti?"

"Kita akan pikirkan nanti setelah ia terbangun."

***

Verity tersenyum lebar ketika melihat sepasang bocah yang usianya tidak lebih dari lima tahun, Alice dan Roman, anak kedua dan ketiganya. Kembar seperti Mariella dan Ratu Amaranta. Dibandingkan Pangeran Lazarus yang seperti cerminan ayahnya, Alice dan Roman adalah cerminan Verity. Yang membedakan hanyalah rambut mereka yang berwarna pirang pucat seperti keturunan Selencia, tidak hitam seperti rambut Verity.

Nyaris mati setelah melahirkan Pangeran Lazarus ternyata membuat Alastair menjadi jauh lebih protektif kepada dirinya. Setelah Pangeran Lazarus berusia lima tahun, Verity kembali hamil dan untung saja kehamilan keduanya ini tidak seperti kehamilan pertamanya.

"Alastair," Verity menyadari kalau sikap Alastair jauh berbeda antara anak pertamanya, Lazarus dan anak-anaknya yang lain. "Ada apa?" Verity bertanya ketika melihat perhatian Alastair yang tertuju kepada Alice dan Roman.

"Tidak ada apa-apa." Alastair tersenyum tipis kepadanya. Di dalam istananya kini ada empat penerus kerajaan, Dragør, Austmarr, Selencia, dan juga Raria. Empat penerus kerajaan dan dua rahasia besar. Kutukan Mariella kepada calon raja Austmarr dan ketidaktahuan penerus Raria, Orion dan Cassiopeia Raria, kalau orang yang telah membunuh pemimpin Raria sebelumnya adalah sosok yang mereka anggap sebagai pengganti orang tua mereka. "Semua baik-baik saja."

"Apa kau yakin?" Verity menatap pria itu tidak yakin.

"Ya. Lazarus akan baik-baik saja, begitu juga Alice dan Roman." Alastair mengecup punggung tangan Verity dan meyakinkannya. Lazarus mungkin akan merasakan rasa sakit yang teramat dalam seiring bertambahnya usianya, jantungnya akan semakin mengeras seperti batu, begitu juga hati dan perasaannya, tetapi bocah itu akan baik-baik saja, dia bisa menemukan penawarnya sebagaimana Alastair menemukan Veritynya.

The King's Bride | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang