"Ada cerita yang harus berubah menjadi kenangan, ada luka yang harus di sembuhkan."
"Lo maunya apa sih? Lihatin gue sampai kayak gitu? Naksir gue? Jauh jauh sana!" Kiara menatap Gevan dengan kesal yang kini sedang meneliti wajahnya dengan seksama.
"Gue cuma heran, gue pengen inget elo tapi nggak inget inget, makanya gue lihatin lo siapa tau inget," jawab Gevan enteng dan tetap dalam posisi yang sama yaitu menumpuhkan wajahnya pada kedua tangannya yang berada diatas meja di depan Kiara.
"Lo minta di bom ya?" Tanya Kiara tajam, mulai kesal dengan Gevan, setiap ia memandang laki-laki di depannya ini ia selalu teringat kejadian dua tahun lalu yang masih amat sangat dalam menyimpan luka yang kini sedang terbuka karena keberadaan Gevan.
Ia tidak pernah berpikir jika akan bertemu dengan Gevan lagi, sudah sejauh ini ia beranjak pergi untuk tidak bertemu atau hidup dalam lingkup yang berkaitan dengan masa lalunya, atau lebih tepatnya ia ingin melupakan apa yang pernah terjadi di masa lalunya dan waktu dua tahun tidak cukup melupakan semua kenangan pahit itu barang sedikitpun.
"Lagian kelas lo 'kan nggak disini! Pergi sana yang jauh!" Usir Kiara lagi tapi Gevan masih tetap kekeuh untuk tetap bersamanya lebih tepatnya tetap memandangi wajahnya tanpa dosa.
"Apa lo nggak tau? dengan cara lo kayak gini lo sama aja nyakitin gue!" Ujar Kiara melankolis menahan bulir bening yang siap meluncur dari tempatnya saat ini juga. Gevan menautkan alisnya tampak bingung dengan ucapan Kiara.
Menyakiti dalam hal apa? Batin Gevan menebak-nebak isi otak Kiara.
"Nyakitin gimana? Gue kan nggak ngapa-ngapain lo dan gue juga bukan Jane Volturi pemain Twilight yang kalau natap aja bikin orang kesakitan bahkan meninggal, Bukan 'kan? Terus apa alesannya coba? Karena gue ganteng mirip Edward Cullen kan? Tapi seharusnya lo seneng bukan malah tersakiti," celoteh Gevan panjang lebar membuat Kiara menjadi semakin tidak suka kepada laki-laki di depannya ini, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah sekalipun telah lupa akan beberapa ingatannya tetap saja menyebalkan.
"Banyak ngomong ya lo!" Jengah Kiara memukul wajah Gevan tanpa rasa kasihan dengan buku tebal yang berada di depannya.
Gevan membeku, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi dan memegangi pipi kirinya yang terasa panas dan perih karena kelakuan Kiara, terbesit ide dalam otak Gevan secara tiba-tiba, "aduh! Kepala gue sakit!" Gevan mengerang dan memegangi kepalanya membuat Kiara kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Lo kenapa?" Tanya Kiara terlihat khawatir kepada seseorang di masa lalunya ini.
Gevan melihat ekspresi Kiara yang kini terlihat sangat khawatir tentang keadaannya, "ciee.. Perhatian ternyata sama gue!" Ujar Gevan tak berdosa yang kini sudah tak memegangi kepalanya dan berekspresi biasa saja tak seperti tadi yang terlihat kesakitan.
"Berarti lo kenal gue di masa lalu kan? gue lupa ingatan udah 2 tahun lalu, ada beberapa hal yang gue lupa, jadi bantu gue buat inget elo ya?" Lanjutnya.
Kiara membulatkan matanya terkejut mendapati Gevan ternyata hanya mengetes dirinya saja dua detik kemudian wajah Kiara kembali datar mencoba mengontrol emosinya.
PLAK!
Tanpa rasa bersalah Kiara berdiri dari duduknya, "anggep aja emang nggak pernah kenal sama gue! Dan jangan ganggu gue, dan lo harus tau! Setiap gue lihat lo, lo cuma nambahin rasa sakit gue! You hurt me again." Ucap Kiara sebelum meninggalkan kelasnya.
Katakan saja Kiara egois, ia tidak ingin mengingat apapun yang pernah terjadi dua tahun lalu, tapi Gevan berlaku sebaliknya ia ingin mengingat semuanya bahkan Gevan sampai bertanya pada orang tuanya mengenai Kiara tapi nihil orang tuanya pun tak ingin mengingat kejadian dua tahun silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIXTY SECOND
Teen FictionAdryan Dwiki Elvanio cowok dingin yang kelewat flat akhirnya bisa merasakan yang namanya jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada tetangganya sendiri yaitu Kiara Betseba Zou. Namun Ryan bukanlah seseorang yang pandai untuk mengungkapkan perasaannya...