-3-

65 5 0
                                    

Bagi Rangga, tidak ada yang lebih kesal selain berurusan dengan orang lain. Terlebih orang yang sama sekali tidak dikenal. Tapi kali ini ia sendiri yang membawa dirinya ke dalam masalah.

Membuat seorang gadis pingsan karena dirinya bukanlah hal yang Rangga inginkan. Ia masih tidak mengerti apa kesalahan yang ia lakukan sehingga Ravinka merepet tidak memiliki ujung. Padahal, jarang sekali Rangga peduli pada orang lain. Dan sewaktu ia membantu gadis itu mengambil minum adalah sesuatu yang jarang sekali terjadi. Oh, ralat. Sesuatu yang tidak pernah terjadi, dan baru menit yang lalu Rangga lakukan.

Mungkin ini menjadi alasan baru untuk Rangga untuk semakin tidak peduli pada orang yang tidak ia kenal. Yaitu, niat baik yang berubah menjadi kejadian yang tidak diinginkan.

"Lagian kamu juga! Tiba-tiba banget sepeduli itu sama orang. Ibu-ibu kecopetan aja kamu diem, nah sekarang ada angin apa sampe-sampe mau bantuin pasien ambil minuman?"

Ravinka berbisik namun intonasinya sama seperti orang sedang emosi. Tidak mungkin ia mengeraskan suaranya dalam ruangan ini, ia masih menjaga image di depan para suster.

Rangga hanya diam, melihat gadis yang berbaring di atas ranjang putih itu dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Cowok itu bersandar di dinding, dengan kedua tangan berada di saku celana dan matanya tidak lepas dari wajah pucat yang kini tidak sadarkan diri itu.

"Bicara sama orang asing aja dia gak bisa, gimana gak pingsan kalau kamu pegang tangannya!" Ucap Ravinka lagi, masih dengan intonasi sama seperti tadi.

Rangga menghela nafasnya pelan. Semakin lama ia berada di sini, Ravinka tidak akan berhenti memarahinya dan semakin besar pula rasa bersalahnya.

"Mau kemana?" Dengan cepat Ravinka menahan lengan adiknya yang sudah akan beranjak dari sana.

Sekilas Rangga melihat para suster yang terang-terangan menatapnya dengan penuh pujian. Cowok itu langsung menatap Ravinka sebelum menjawab.

"Pulang."

"Nih anak bener-bener dah." Ravinka menggeleng tidak percaya "Kalau ga peduli, setidaknya tanggung jawab udah buat orang pingsan."

Rangga tahu gadis itu baik-baik saja saat Dokter memeriksa keadaannya. Bukankah itu bisa menjadi alasan Rangga bisa kembali ke rumah sekarang juga?

"Besok kuliah." Jawab Rangga sekena mungkin.

Ravinka menatap Rangga dalam diam. Tidak heran lagi dengan sifat adiknya. Kesempatan ini diambil Rangga untuk melangkah menjauh dari sana.

Saat akan membuka pintu, cowok itu kembali berbicara tanpa menoleh.

"Besok ke sini lagi."

Pemilik rahang tajam itu keluar dari ruangan, membiarkan perasaannya campur aduk antara pulang ke rumah atau justru menginap di sana demi mempertahankan alasan tanggung jawabnya. Namun sangat tidak mungkin karena Rangga sudah keluar dari ruangan itu.

***

"Gue udah beli dua tiket, jangan sampe lo nolak lagi karena itu tiket harganya bukan murah. Oke?"

Kevin , sahabat Rangga yang sedari tadi membahas tentang festival musik dan memaksa Rangga untuk ikut dengannya karena ia tidak memiliki teman lain yang bisa diajak.

"Lo tau ngga? Gue berasa ngomong sama tembok, anjir. Jawab kek walaupun cuman dua kata andalan lo itu."

"Gak."

Kevin memutar bolamatanya "Satu kata." Ia mengambil dua kertas tiket dari dalam tas yang menggantung di bahu kirinya itu "Lo liat ini ada berapa?"

Last HealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang