-4-

100 5 0
                                    

Wajah pucat yang semakin terlihat karena kulit putih disertai bulatan hitam di sekitar mata, kini terbilang mengharukan jika seseorang menatap mata teduh itu. Tapi sayangnya seseorang yang ada di depannya ini tidak mendapat izin untuk menatapnya.

Wanita yang hampir menginjak umur empatpuluh tahun itu menatap anak angkatnya yang sedari tadi hanya menunduk, tanpa mau menjawab atau sekedar mengangguk. Sejak awal ia mengasuh gadis itu, mereka memang jarang sekali berbicara. Kemungkinan besar karena gadis itu sulit berinteraksi dengan orang asing. Ya, selamanya mereka hanya akan menjadi orang asing bagi Fiona.

Bahkan saat gadis itu menginjak umur limabelas tahun, ia memaksa untuk tinggal sendiri di apartment milik keluarga angkatnya.

Lisa, ibu angkat Fiona. Tidak akan pernah lupa pada kejadian di mana Fiona tidak mau masuk ke dalam rumah selama satu minggu karena menuntut ingin tinggal sendirian di apartment. Mau tidak mau, Lisa menuruti kemauan Fiona.

Bahkan kata asing masih melekat sampai sekarang, sekeras apapun Lisa mencoba untuk membuat Fiona menjadi seperti anak kandungnya sendiri.

"Kalau gitu mama balik dulu ya,"

Ini adalah kata-kata yang Fiona tunggu sejak tadi. Setelah lelah mendengar ucapan minta maaf dari kedua orangtua angkatnya, yang menyesal karena sudah menitipkan Fiona ke tempat sialan itu.

Ia memang mengidap phobia sosial. Ia memang memiliki trauma masa lalu. Tapi sekejam itukah mereka menitipkan Fiona ke rumahsakit jiwa saat trauma yang ia punya hanya terjadi selama limabelas menit?

Keterlaluan. Batin Fiona.

"Belanjaan udah lengkap di dapur, kalau mau beli sesuatu chat aja ke bodyguard di depan," Lisa sudah akan mengusap puncak kepala Fiona, tapi tangannya terhenti di udara saat gadis itu menjauh.

Senyuman terpaksa hadir di sana. Bersamaan dengan seorang lelaki datang ke arah mereka. Herman, Ayah angkat Fiona. Ia tersenyum ke arah gadis itu meski tidak terbalas. Bagaimanapun, mereka akan tetap menyayangi Fiona meski jalan yang mereka ambil terkadang salah, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Fiona.

"Jangan lupa, minggu depan kamu mulai kuliah. Semuanya udah papa selesaikan, kamu tinggal dateng aja, ya." Suara Herman yang sangat tulus itu terdengar.

Satu kenyataan kembali menampar Fiona. Ini sebenarnya yang memenuhi otaknya sejak kepulangan dari rumahsakit. Dua orang di depannya kini malah menyuruh Fiona kuliah secara normal, setelah masa SD hingga SMA gadis itu melewati home schooling.

Fiona tidak lagi mendengar apa yang kedua orang itu katakan sampai mereka beranjak dari sana. Ketika suara pintu tertutup rapat, saat itulah Fiona mendongak dan menatap ruangan ini dengan pandangan kosong.

Jika kalian adalah orang terdekat Fiona, maka kalian tidak terkejut lagi melihat perbedaan sikap gadis itu saat berada di rumah dan saat berada di luar. Berbeda drastis seperti bukan Fiona yang biasa orang lihat di luar sana. Sayangnya, gadis ini tidak memiliki orang terdekat di dalam hidupnya. Selain almarhum ibunya, dan ayah kandung Fiona.

Sekarang, gadis itu mondar-mandir berjalan di ruang TV seraya menggigit kukunya. Memikirkan apa yang terjadi jika nanti ia kuliah secara normal. Apakah ia akan selalu pingsan jika bersentuhan dengan orang lain? Apakah ia mendadak ingin buang air kecil jika berada di keadaan ramai? Apakah tubuhnya bergetar hebat jika berbicara dengan seseorang?

Oh tidak. Ini tidak benar. Tapi Fiona juga tidak akan selalu hidup di dalam kandang seperti ini. Ia membutuhkan masa depan.

Gadis itu terjebak dalam hidupnya sendiri. Seperti tidak ada pilihan, dan hanya ada sesuatu yang mengharuskan Fiona keluar dari zona aman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Last HealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang