Karmanelo DUA

72.7K 5K 332
                                    

K a r m a n e l o | DUA

JEVILO memandang puas nilai rapornya yang di atas rata-rata. Menjadi juara satu adalah obsesinya selama ini. Nilai pelajaran Matematik, Fisika, Kimia-nya sempurna. Pelajaran yang lain yang nggak begitu penting menurutnya juga harus sempurna. Hanya saja di bagian kolom perilaku dan kepribadian, Jevilo mendapat nilai C di semua mata pelajaran. Jevilo cemberut lalu memasukkan rapornya ke tas dengan perasaan yang tiba-tiba menjadi kurang puas.

Sementara itu, apa yang terjadi dengan Jevilo, terjadi juga pada Arjuna. Cowok berlesung pipi itu tersenyum melihat nilai rapornya yang sempurna kecuali pada bagian kolom sikap, ia mendapat C dan D. Bibirnya mencebik kesal lalu menghela napas panjang. Emang sih, selama ini, di kelas, Arjuna bandel banget. Nggak mau diatur dan suka keluar masuk kelas saat guru sedang mengajar. Anehnya, Arjuna tetap aja jadi juara satu. Padahal kan,  dia jarang merhatiin guru. Otak apaan tuh coba?

Tapi nggak heran sih, soalnya dari kecil Arjuna memang dikenal pintar banget. Nilainya dan nilai Jevilo selalu sama. Usia keduanya hanya beda enam bulan. Bisa dibilang, Jevilo adalah kakaknya meskipun Arjuna nggak pernah mau mengakuinya.

“Kak Arjuna pasti juara satu lagi, kan?” Nagita merentangkan tangannya saat Arjuna baru masuk ke dalam rumah. Nagita kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Arjuna.

Arjuna mematung dan diam seribu bahasa. Dirasakannya pelukan Nagita yang begitu erat. Arjuna enggan melepasnya. Kalau boleh jujur, ia ingin membalas pelukan itu. Tapi, di satu sisi, ia nggak mau melakukannya.

“Kak, hari Senin, Nagita juga udah mulai sekolah, loh! Nanti, Nagita juga mau jadi juara satu kayak Kak Arjuna sama Kak Jevilo!” Nagita melepas pelukannya dan memandang Arjuna, menunggu responnya.

“Sekolah? Kamu kan, sakit. Ngapain sekolah?”

Nagita termangu. “Memangnya, orang sakit nggak boleh sekolah ya, Kak?” tanyanya sedih.

Arjuna gelagapan. Sepertinya ia sudah menanyakan hal yang salah. “Ng… hem, nggak gitu. Kan bisa belajar di rumah.”

Sinar mata Nagita meredup. “Tapi, Nagita mau sekolah. Biar Nagita punya banyak temen. Penyakit Nagita nggak menular, kok.”

Aduh. Mati deh gue salah ngomong terus. Arjuna mengumpat dirinya sendiri.

“Nagita Sayang?” panggil Jevilo dari teras, dan seketika pula Nagita setengah berlari menuju pintu depan.

Arjuna merasa hatinya nyeri melihat binar bahagia di mata Nagita setiap kali melihat Jevilo pulang. Beda dengan dirinya yang selalu membuat gadis itu sedih. Arjuna benci dirinya, Arjuna benci sesuatu yang ada dalam dirinya. Dan satu lagi, maksud perkataan Arjuna tadi adalah, ia nggak ingin Nagita sekolah karena itu akan membuat ia susah mengawasi adik tirinya itu. Kalau di rumah, ia bisa memperhatikan apa pun yang Nagita lakukan di luar rumah lewat jendela kamarnya, tapi kalau nanti Nagita sekolah dan terjadi apa-apa? Siapa yang mau bertanggung jawab?

Arjuna melengos menuju kamarnya. Dilemparnya tas-nya ke sembarang arah. Ia memandangi langit-langit kamar dengan perasaan gusar. Ada yang salah dengan dirinya. Arjuna tahu itu. Ia sangat menyadarinya.

“Apa yang harus gue lakukan? Gue sendiri di sini.”

Meskipun ada suara-suara yang mengatakan kalau sebenarnya ia tak sendiri, tetap Arjuna merasa sendiri di dunia yang penuh dengan milyaran orang ini. Di sekolah, ia punya banyak teman cewek dan cowok. Di luar sekolah, ia juga punya banyak teman. Tapi, ketika ia pulang ke rumah, ia merasa sepi. Jika orang-orang pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya, ia pulang hanya untuk tidur, belajar, dan main game sendiri di kamar.

KarmaneloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang