The Time We Meet

26 3 0
                                    

•The Time We Meet• (1)

Aku berlari menuju halte kecil itu. Bajuku basah kuyup. Harusnya tadi aku bawa payung. Cerobohnya aku.
Hari ini hari yang buruk. Brosur restoran yang diberikan kepadaku ada 200 eksemplar dan aku hanya bisa membagikan tidak sampai setengahnya. Alhasil, uang yang kudapatkan juga tak sampai setengah dari seharusnya.
Kedua, aku bertemu Wendy alias Yoojung, ketua geng Girls Prom saat sedang membagikan brosur. Kuberitahu kalau itu sangat memalukan karena dia dan gengnya mengejekku di depan umum, bahkan menginjak-injak brosur yang kubawa. Aku tak tahu bagaimana nasibku besok di sekolah. Wendy tak akan membuatku tenang. Selalu. Dia dan gengnya tak akan membuat siapapun tenang. Terutama bagi orang yang tak mampu sepertiku. Uh, aku akan berpura-pura sakit saja besok. Dan berharap semoga besoknya lagi dia sudah melupakanku.
Ketiga, dan semoga yang terakhir. Malam ini hujan dan aku belum sampai di rumah. Hujannya sangat deras padahal hari ini masih masuk musim panas. Aku tak berpikir untuk membawa payung atau bahkan jaket untuk berjaga-jaga. Seragamku basah kuyup padahal seragam ini harus dipakai keesokan hari. Masalah itu gampang sih, sebenarnya. Aku tadi sudah bilang kan, kalau besok aku akan berpura-pura sakit?

Jam sudah menunjukkan pukul 18. 45. Aku mendesah ketika menyadari kalau kesialan keempatku baru saja dimulai. Seharusnya bis datang pada pukul 18. 30. Ah, semoga bis itu baik-baik saja selama perjalanan.

Aku melirik ponselku. Baterainya habis, padahal aku baru saja ingin menelepon Ibu yang sedang bekerja di rumah, atau Kakakku yang menganggur saja. Huh, terpaksa aku harus menunggu bis tadi, sendiri di malam-malam begini.

Aku menggigil, berharap ada jaket atau apalah yang tertinggal disini untuk sekedar menutup seragam pendekku. Astaga ini dingin sekali. Aku sadar aku mulai ketakutan, karena tak ada siapapun di jalanan ini. Halo, kemana semua orang Seoul sekarang? Apa aku melewatkan sesuatu hari ini?

"Hei,"
Aku terkejut, orang yang memanggilku berpakaian hitam semua, wajahnya ditutupi masker hitam dan hoodie. Seperti setan saja, batinku.
Dia menyerahkan sebuah payung merah padaku.
"Pakai ini, pergilah ke halte lain. Kudengar bis yang akan menuju kesini mengalami kecelakaan di ujung jalan," pintanya.
Aku mengangguk. "Kau siapa?" tanyaku.
Ia mendongak, melepas masker hitamnya. Tersenyum. Dingin. Aku tak tertarik dan langsung mengambil payung merah itu.

"Terimakasih,"

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang