That Day🌙

9 3 0
                                    

Soyeon PoV (1)

Hari sekolahku benar-benar buruk. Wendy dan gengnya masih mengingatku, sialnya. Tapi, aku sudah memperkirakan, dan aku tak malu saat Wendy mengungkapkan jati diri keluargaku di depan umum.

Lucunya, aku kagum saat Wendy berceloteh kepada orang-orang tentang keluargaku. Oke aku tahu kalau di memang mengejekku, tapi, aku tak menyangka kalau ia tahu sejauh itu. Ia tahu tentang pekerjaan ibuku, kakakku, bahkan ia tahu tentang ayahku yang meninggalkan kami untuk hidup bersama istrinya yang lain.

Dari awal aku memang tidak malu dengan semua itu. Namun, aku terkadang ingin menyumpal mulut orang saat hal-hal itu dibicarakan, terutama tentang perginya ayahku. Apalagi jika yang membicarakan itu adalah orang-orang yang tak kukenal.

Lebih buruk lagi karena hari itu Miyeon tidak masuk sekolah karena sakit. Semalam ia menelpon dan menanyakan kabarku, aku bilang aku baik-baik saja dan tak benar-benar sakit. Lalu kuperhatikan kalau suaranya rada serak dan ia batuk-batuk. Tentu saja ia bilang ia baik-baik saja, padahal kentara sekali kalau ia sedang sakit. Sahabat yang baik tak akan memberitahu deritanya, kupikir.

Sepulang sekolah, kuputuskan untuk menjenguk Miyeon. Kubelikan sekeranjang buah di dekat sekolah, lalu kuselipkan notesku-yang berisi tanda tangan biasnya-di dalam keranjangnya. Aku yakin dengan itu ia bakal langsung sembuh.

Rumah Miyeon tak jauh dari sekolah. Rumahnya sederhana, bersampingan dengan toko roti milik ayahnya. Kuketuk pintu rumahnya perlahan. Yang datang ibunya, mengenakan celemek yang sepertinya baru ketumpahan tepung dan telur. Ia mempersilakanku masuk ke kamar Miyeon dan minta tolong kepadaku untuk menjaga Miyeon sebentar.

Kamar Miyeon rapi, tak seperti kamarku yang amburadul. Aku sudah bersama dengannya semenjak SMP, dari dulu ia memang sudah rapi. Bahkan saat marah, ibuku sering sekali membandingkanku dengan Miyeon.

Terakhir kali aku kesini dua minggu yang lalu. Hal yang berubah hanya poster-poster BTS-nya yang makin memenuhi dinding, dan sebuah lemari kecil tempat ia meletakkan album-album dan BTS stuff lainnya.

"Miyeon, kau sudah makan?" tanyaku. Ia mengangguk sambil batuk-batuk lalu tersenyum lebar.

"Tentu saja, Soyeonku. Apa itu yang kau bawakan untukku? Kau bilang semalam kalau hari ini kau akan memberikanku sesuatu yang bakal membuatku bakal mentraktirmu." cerocosnya. Aku meletakkan tanganku di dahinya. Tidak panas.

"Kau ini tidak sakit ya, hanya batuk pilek biasa. Ih, padahal sudah kubelikan buah." Kusodorkan keranjang buah itu kepangkuannya.
Ternyata Miyeon peka. Dia mengambil notes di dasar keranjang lalu membukanya. Sejenak ia terdiam lalu melongo. Ia memandangku bulat-bulat.

"Ini asli? Soyeon kau serius? ASTAGAAA AKU SUDAH SEHAT SEKARANG" ia berteriak tepat di dekat telingaku. Alhasil membuatku semakin percaya kalau dia tidak sakit.

Ia memelukku erat, lalu berkomat-kamit memberiku ucapan terimakasih. Aku sudah menduganya. Jadi, sebelum ia semakin menjadi-jadi, kuputuskan untuk segera pamit. Aku pikir Miyeon sudah cukup sehat untuk tidak ditemani.

Miyeon nyaris menangis, kuberitahu. Ia mengizinkanku pulang dan menawarkan untuk menemaniku sampai depan rumah. Aku menolak, walau kelihatan sehat, sebenarnya dia masih sakit.

15.30.
Sudah jam segini ternyata. Kurasa aku masih ada waktu magang di restoran Bu Min.
Bis datang tepat waktu dan beberapa menit kemudian sampailah aku di restoran tersebut.

Hari ini lumayan sepi dibanding biasanya. Bu Min sedang tidak ada namun katanya ia berpesan jika aku datang, aku tinggal berganti baju dengan seragam pelayan di sana, dan mulai bekerja. Secepat itu? Ya, aku juga heran. Aku bahkan tak punya pengalaman sedikitpun.

Seragam yang diberikan kepadaku pas ditubuhku. Aku menyukainya.

Yah, hari itu hari pertamaku bekerja. Tak terlalu buruk, sih. Sampai aku menemui 'dia'. Orang itu lagi, tak kusangka aku akan bertemu dengannya lagi.

Kali ketiga bertemu dengannya. Aku yakin ini bukan sebuah kebetulan. 💠

Yoongi PoV (1)

Hari ini begitu melelahkan. Kuhabiskan hariku di studio kecilku sambil memikirkan lagu macam apa yang akan kutulis untuk comeback berikutnya.

Bulan-bulan ke depan kupastikan aku bakal sibuk. Mungkin tak sempat membuat lagu malah. Waktuku hanya hari-hari terakhir ini, kupikir.

Hoseok menyarankan kepadaku untuk sering-sering mampir ke restoran ibuku kalau ada waktu. Beberapa bulan belakangan aku tak pernah sempat bertemu dengan ibu di restoran. Kurasa ia juga sibuk sama denganku. Aku yakin hari ini juga ibu pasti sibuk. Apalagi ini masih jam setengah empat. Semenjak aku lumayan terkenal, restoran ibu selalu ramai. Tak peduli pagi atau malam. Walaupun ibu sudah menambah pegawai, aku yakin ia tetap kewalahan.

Aku sampai di restoran ibuku pukul 15. 45.
Keadaannya tumben tak ramai. Aku malah suka. Terakhir kali aku nekat datang kesini saat sedang ramai-ramainya, dan aku tak pulang dengan selamat. Itu pengalaman yang buruk, sejujurnya.
Aku melirik para pelayan ibuku. Kebanyakan sudah diganti sehingga aku tak mengenalnya. Ugh, aku jadi harus bertanya ke orang yang tak kukenal.
BRUK!!
Baru saja aku mau bertanya kepada seorang pelayan, tapi pelayan itu justru menabrakku. Aku rasa dia ini orang baru. Piring-piring yang dibawanya jadi jatuh dan pecah. Dasar ceroboh.

Pelayan itu malah menatapku galak. Tidak profesional. Untung aku pakai masker dan topi, kupikir dia tak akan mengenalku. Aku yakin dia tak akan berani menatapku kalau tahu aku ini siapa.

Tapi aku sepertinya tahu siapa dia, aku mengenalnya.

Lama aku berpikir, lalu aku menyadarinya. Aku tersenyum miring dan membuka masker yang menutupi mulutku. Aku tahu gadis ini, dia tak akan berteriak atau bahkan tertarik kepadaku sekalipun aku mencoba-coba membuka bajuku. Dia gadis yang kutemui waktu hujan itu. Yang membuatku meminjamkan payung kesayanganku. Yang kutemui di halte kemarin.

Siapa namanya? Hari itu aku melihatnya di nametag seragamnya.

Hah iya, namanya Soyeon. 🔹




The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang