Chance to Meet You

284 4 0
                                    

"Tunggu seb-" Belum sempat gadis itu sempurna mengucap kata-katanya, lidahnya kelu. Pintu apartemen yang baru saja dibuka menampakkan sosok lelaki yang sangat dikenal sekaligus dirindukannya. Namun, ini... sungguh lebih dari sebuah kejutan.

Tanpa permisi, lelaki dengan tinggi lebih dari 185 sentimeter itu melangkahkan kakinya masuk. Menghirup dalam-dalam aroma lavender yang memenuhi ruangan. Tanpa ragu mendudukkan tubuhnya di sofa berwarna hitam. Dengan santai lelaki itu kembali menghirup aroma lavender. Seakan ingin menghabiskan aroma ruangan ini untuk memenuhi rongga paru-parunya.

Sekian detik kejadian -di luar dugaan- Hana berlangsung, ia tak kunjung menghamburkan dirinya ke dalam pelukan pria itu. Sampai lelaki itu tersenyum, menepuk pelan tempat kosong di sampingnya. Mengisyaratkan agar Hana duduk di sampingnya.

Gadis itu menurut, mendudukkan tubuhnya di sana. Canggung. Gerakannya patah-patah. Tangannya gemetar. Hana tak henti-hentinya menatap lelaki -kalau masih bisa dikatakan berstatus sebagai kekasihnya- yang duduk di sampingnya. Garis wajah yang tegas dengan hidung mancungnya, tatapan sayu, bibir tipis yang menutupi deretan gigi rapi, serta rambut kecokelatan itu. Tangannya hendak terulur, ingin menikmati setiap lekuk -nyaris- sempurna pemberian Tuhan. Namun, gerakan tangan Hana terhenti seketika di udara.

"Ada kabar apa dua minggu ini, sepertinya aku tidak terlalu mengikuti berita." Matanya menerawang ke depan. Hana yang melihat arah mata Kris, mendapati majalah di meja kecilnya. Majalah yang terbit dua minggu sekali ini menampilkan foto lelaki di hadapannya sebagai cover.

"Ada yang terungkap menjalin hubungan, menikah, boyband baru saja merilis album baru, dan..." Hana kini tertegun membaca tulisan berwarna hitam di sudut kiri bawah majalah. Headline majalah yang tengah banyak dibicaraka orang satu minggu belakangan. Dan tidak menutup kemungkinan berminggu-minggu kedepan. 'Mungkinkah berita ini palsu?' tanyanya dalam hati. Namun, kepalanya menggeleng setelah benar yakin akan keadaan ayahnya.

"Hah, hidup mereka selalu seperti itu. Ngomong-ngomong aku haus, kau punya minum?" Hana mengangguk. Langkahnya terpatah-patah menuju pantry. Mungkin robot saja tidak sekaku dirinya hari ini. Tangannya tergesa membuatkan minuman. Tentu saja yang ia siapkan adalah kesukaan lelaki itu. Dua gelas kopi hitam tidak kental untuk mereka. Benar, minuman itu adalah kesukaan mereka berdua.

Kris melangkahkan kakinya menuju pantry. Duduk di salah satu kursinya dan menikmati wajah Hana dalam diam. Hana yang sedang menyesap kopi miliknya terbatuk. Ia sadar sedari tadi Kris tak henti menatapnya.

"Kau selalu cantik, Hana. Bagaimana dua minggu setelah kepergianku?" Hana sempurna terdiam. Lupa cara bernapas. Lupa cara menelan ludah. Ia hanya bisa berharap jantungnya tak lupa berdetak.

"Aku baik-baik saja. Dan.. Luhan. Ya, dia, aku yakin dia akan selalu menjagaku." Jawaban itu keluar tanpa titah dari otaknya. Bertentangan dengan segala logika yang Hana buat untuk menjaga perasaan Kris. Tapi bukankah jawaban tanpa titah itu keluar dari hati. Dan begitulah hati berlawanan dengan logika.

Bel kembali berbunyi. Memecah keheningan panjang antara Hana dan.. lamunannya. Hana melangkah ke ambang pintu. Luhan menampakkan senyum manis itu. Luhan.

"Kenapa pintunya terbuka? Jangan lagi-lagi kau lupa menutup pintu ya?!" Luhan kembali tersenyum mengacak pelan rambut Hana. "Bukan apa-apa, aku hanya takut ada pencuri. Aku hanya takut ada yang mencuri hatimu." Bisik Luhan di telinganya. Pipi gadis itu sempurna memerah, seperti kepiting rebus atau tomat atau semacamnya. Kemudian mereka berlari sambil tak hentinya tertawa.

Tawa Luhan terhenti ketika matanya menangkap dua gelas kopi di pantry. Satu gelas kosong, satu lagi masih dalam keadaan penuh.

"Kau membuat dua kopi?" Dahinya mengkerut. Hana mengikuti pandangan Luhan. Pikirannya berputar kebelakang. Wajahnya seketika suram.

"Kris.." Luhan menarik gadisnya dalam pelukan, tepat sebelum tangis Hana pecah.

"I tell my self  i'm so blessed to have had you in my life.."

***

"Hana!" Kris menghapus sudut bibirnya yang terluka.

"Kau tak kan pernah bisa membawa Hana. Siapa kau, hah??! Aku yang lebih berhak atas dia!" Pukulan demi pukulan kembali diterima Kris. Pertahanannya mulai melemah. Pukulan yang ia coba berikan tampaknya percuma. Tangannya mulai kehilangan tenaga.

"Aku mencintainya." Tawa terdengar dari lelaki di hadapnnya.

"Aku menyayanginya." Tawa kembali terdengar. Bahkan lebih keras dari sebelumnya.

"Begitu juga aku anak muda." Kini giliran Kris tertawa lemah.

"Tapi aku tak pernah menjualnya." Kata-kata terakhir itu sukses memberi Kris sebuah hadiah besar yang membawanya pada akhir kehidupan. "Mungkin statusmu adalah ayahnya, tapi sungguh kau sedikitpun tak berhak atas dirinya."

"In my darkest hours i tell my self.. i'll see you again."

I'll See You Again - Westlife

[EXO Fanfiction] Chance to Meet YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang