1. Aku yang Cengeng

67 8 0
                                    

Mataku melihat titik embun di mobil. Hal itu menarik perhatianku. Ku tuliskan sesuatu dengan tanganku di atas embun jendela mobil. Menggambar sesuatu sesuai imajinasiku. Ayah yang duduk di kursi depan hanya memandangku lewat kaca spion. Melihat aktivitas yang sedang aku lakukan. Bibirnya sedikit terangkat begitu aku menggambar dengan media embun. Dia memperlambat kecepatan mobilnya.

"Itu namanya embun," ucapnya sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk saja, mataku masih terfokus pada kaca mobil yang terpenuhi embun. Sesekali mulutku mengumandangkan lagu klasik yang sering aku dengar. Bosan dengan apa yang kulakukan aku mengetuk-ngetuk kaca jendela sambil sedikit berteriak. Ibu yang duduk di sebelahku menahanku agar aku tidak berbuat lebih jauh. Dia mengelus kepalaku, suatu hal yang paling kusukai dari ibu. Dia mengelus rambutku yang tebal dengan lebut. Membawa ketenangan dalam diriku.

Ayah memberhentikan mobil tepat di samping garda sekolahku. Ibu mengambil payung di jaring bangku. Aku menangis tidak ingin sekolah. Ibu kembali menenangkanku dengan tangannya yang lembut. Dia menggandengku sambil memegang payung agar kami tidak basah terkena air hujan. Dia menutupi seluruh badanku dengan payung, sedangkan bahu sebelah kanannya sudah terkena air hujan. Dia terlalu waspada dengan air hujan yang kotor dan akan menimbulkan kuman penyakit pada tubuhku.

Aku sesengguk masih menangis. Kupegang erat blouse ibuku yang sudah acak-acakan karena ulahku. Dia menenangkanku dengan kata-kata manisnya. Membuatku berhenti manangis. Dia meninggalkanku bersama mereka, para guru. Aku benci ini.

Mereka menggandeng tanganku, tapi aku menepisnya dengan sedikit rengekan keluar dari mulutku. Mereka hanya tersenyum melihat tingkahku yang sulit diatur ini. Tidak ada kemarahan dan kejengkelan saat melihat tingkahku. Mereka hanya pasrah dan terima.

Mereka menggiringku menuju kelas. Mendudukanku di salah satu kursi pinggir dekat dinding. Mereka memberikan sebuah buku cerita untung menenangkanku. Selagi aku serius membaca, mereka sibuk menyambut anak lainnya, menolong mereka agar tidak terkena air kotor hujan. Raut wajah mereka lebih ceria ketika mereka bersama anak lainnya.

Saat semua anak sudah berkumpul, 3 orang guru yang berada di kelas memulai kelas dengan berdoa. Setelah itu mereka menyanyikan suatu lagu yang tidak kuketahui. Aku tidak suka lagu itu. Terlalu aneh ditelingaku. Salah seorang guru menghampiriku, dia mengucapkan sesuatu. Aku hanya melihatnya bingung. Rautnya mulai sedikit kesal. Tangannya terangkat dan menyentuh buku ku. Dia menutup buku tersebut. Aku yang melihatnya marah. Tubuhku memberontak. Suara rengekan kembali keluar dari mataku. Guru itu menyerah dan memberikan kembali buku yang dia ambil.

Aku ingin pulang.

Akhirnya mereka sibuk bernyanyi dengan kandungan pelajaran di dalamnya. Sedangkan aku sibuk dengan duniaku sendiri.

Waktu makan siang, mereka sibuk berbagi bekal. Sedangkan aku tidak. Aku tidak suka berbagi apa yang menjadi milikku. Aku orang yang penyendiri. Seorang guru datang dan duduk di sebelahku, menemaniku makan bekalku. Aku hanya diam saat guru tersebut sibuk mengoceh hal-hal yang tidak jelas.

Selesai makan siang semua anak sudah di jemput oleh orang tua mereka. Sedangkan aku belum. Aku hanya menunggu sambil berjongkok di depan garda, menunggu orang tua ku menjemput. Seluruh guru membujukku untuk menunggu di dalam ruangan, namun akuhanya menjawab dengan rengekan. Aku menunggu sambil menggambar di tanah menggunakan sebuah kayu runcing. Air mata terus keluar dari mataku membasahi tanah.

Aku mengangkat kepalaku begitu mendengar suara mobil yang ku kenal. Ibu keluar dari pintu depan sebelah kiri, diikuti oleh ayah yang juga keluar membawa payung agar aku tidak kepanasan. Ibu merangkulku yang sibuk menangis di bahunya. Ayah melindungi kami dari teriknya matahari menggunakan payung. Ibu menggendongku menuju mobil, dibukanya pintu bagian belakang dan mendudukanku di sana. Ibu melepas pelukannya, membuatku menangis merengek tidak ingin di lepas. Dengan senyumnya dia menenangkanku. Sedangkan ayah sedang berpamitan dengan para guru di sana.

Love SyndromeWhere stories live. Discover now