Bab 4

51K 4.3K 88
                                    

Aku terbangun di atas ranjang besar dalam sebuah kamar yang didominasi warna putih. Sambil mengumpulkan kesadaran yang sebagiannya masih tertinggal di alam mimpi, aku mencoba mencari tahu di mana aku berada sekarang.

Hanya dalam hitungan detik, ketika kepalaku bergerak ke samping dan kedua mataku menemukan seorang pria yang tengah duduk dengan laptop di pangkuannya dan kaca mata yang menggantung di wajahnya, aku pun tahu di mana aku sekarang.

Aku mengubah posisiku menjadi menghadap ke sisi kiri tanpa suara. Berniat untuk memerhatikan Fano yang kelihatannya belum sadar kalau aku sudah terjaga. Tatapanku beralih sejenak menuju jendela yang belum ditutup, menampakkan langit malam yang membentang di atas sana. Serta kibaran gorden akibat tiupan angin yang malam ini agak kencang hingga terasa sampai menyentuh kulitku.

Sepertinya tidurku tidak terlalu lama, tetapi entah kenapa tubuhku terasa segar saat bangun tadi. Apa mungkin efek obat yang sebelumnya masuk ke dalam tubuhku? Obat yang diberikan dokter hanya karena perutku sakit akibat mengonsumsi makanan yang begitu pedas. Atau mungkin karena aku tidur di atas ranjang Fano, yang baunya sangat khas dengan pria itu? Entahlah.

Selama beberapa menit, aku terus menatap lekat Fano di depan sana. Terkadang aku tersenyum ketika keningnya berkerut sambil jarinya bergerak di atas keyboard untuk mengetikkan sesuatu. Dia terlihat berkali-kali lebih tampan dengan wajah seriusnya. Tidak akan bosan rasanya hanya tidur di sini sambil memandangi Fano.

Tetapi sayang, malam yang kurasa sudah cukup larut ini membuatku tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan indah di depan sana. Besok masihlah weekdays, aku harus kembali bekerja dan sekarang aku harus segera pulang.

Menyibak selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhku, aku lantas mengambil posisi duduk. Gerakanku kali ini berhasil menarik perhatian Fano.

"Kamu sudah bangun?" tanyanya, tak beranjak dari posisinya sama sekali. Hanya melepas kaca matanya saja.

Aku hanya mengangguk dan memilih untuk duduk di pinggir ranjang.

"Kemarilah." Fano menepuk-nepuk sisi sofa di sebelahnya, memberi kode kepadaku untuk duduk di sana.

Tak ada bantahan yang keluar dari mulutku. Aku memang menginginkan berada di dekat Fano sekarang. Meski di awal aku menuruti semua kemauan Fano hanya atas dasar kepura-puraan untuk menjaga hubungan ini hingga empat bulan lamanya, tetapi sekarang sudah tidak seperti itu lagi. Aku mulai nyaman menjalani semua ini dengan Fano walau terkadang ada luka yang kudapat, tetapi mulai sekarang aku akan menganggap itu impas. Karena dalam hubungan ini aku juga hanya memanfaatkan Fano.

Satu kecupan di dahi kudapat begitu bokongku mendarat di sofa.

"Kenapa bangun, hm? Kamu bisa tidur lagi sampai pagi kalau kamu mau."

Aku menjatuhkan kepalaku di bahu Fano sambil mendekap lengannya. Ya, Tuhan! Ini nyaman sekali.

"Aku mau pulang."

Usapan yang tadinya kurasakan di rambutku, mendadak berhenti meski hanya sejenak. "Sudah malam. Kamu menginap di sini saja."

Aku menggeleng. Aku tidak pernah menginap di rumah Fano walaupun aku sudah sering datang ke sini dan tidur di ranjangnya seperti tadi, tapi tetap saja aku lebih memilih pulang sebab aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku menginap di sini. Fano tetaplah seorang lelaki, yang nafsunya bisa datang kapan saja.

"Kamu takut?"

Aku mendengar nada kecewa dalam suaranya. Kepalaku mendongak cepat, meneliti rautnya yang selaras dengan nada suaranya barusan.

"Aku berjanji nggak akan nyentuh kamu, Ryn. Aku juga nggak akan nyakitin kamu kalau itu yang kamu takutkan."

Kepalaku menggeleng beberapa kali. Bukan itu yang kumaksud. Fano selalu saja mengambil kesimpulan sendiri. Dan dari yang kulihat, kepercayaan dirinya kerap kali hilang di saat-saat seperti ini.

All He WantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang