Bab 1: Siapa Dia?

20 1 0
                                    

"Welcome to Home," ujar Ayah sambil menatap wajah kami secara bersamaan.

Aku dan Kakak hanya tersenyum sesaat lalu berlarian di sekitar rumah. Kami tertawa-tawa melihat rumah baru kami di jalanan Avenue 104st lebih tepatnya di daerah kawasan perumahan elite yang diberi nama seakan-akan sedang berada di luar negeri. Ayah membeli rumah itu agar kami bisa merasakan hidup yang lebih baik daripada harus tinggal bersama kakek dan nenek di desa, yang bernama Banyuasi. Sejak, Ayah dilantik menjadi manajer di sebuah perusahaan swasta yang cukup terkenal. Ia menabung uang yang banyak agar bisa membeli rumah ini. Memang rumah ini adalah rumah yang kami semua idam-idamkan. Berada di pendesaan namun juga dekat dengan kota besar lainnya. Hanya, beberapa perumahan yang dipisah dengan jarak yang cukup jauh. Disengaja memang, karena lahannya pun cuku luas. Bahkan rasanya bisa menampung dua rumah lagi di sekitar kami.

Warna catnya masih memakai yang lama. Putih, dengan beberapa hiasan kecil di dinding rumah. Tidak terlalu megah namun memiliki tiga tingkatan hingga mencapai puncak rumah. Ada satu loteng dan ruang bawah tanah yang kecil. Di bagian bawah, yang disebut 'gudang' itu, aku pernah menyuruh ayah untuk menghancurkannya namun ayah menolak. Ia suka dengan tempat gelap itu, katanya untuk menyimpan alat pancing miliknya. Pikiran orang dewasa memang tidak pernah aku mengerti.

"Pokoknya ini kamar kakak! kau cari saja yang lain!" Kak Arthur menutup pintu tanpa mau diajak bernegosasi kembali.

Aku berdecak pelan, di usia yang masih kecil ini. Tak ada kekuatan untuk menolak pilihan ayah yang membedakan tempat tidur kami berdua. Jujur, aku masih berusia lebih kurang 10 tahun. Terlalu dini untuk bisa tidur sendiri di rumah yang terlalu besar itu. Tingkat ke tiga adalah tempat dimana aku menghabiskan hari-hariku, tepat disebelah jendela besar yang menghadap ke luar rumah. Di sana ada sebuah taman yang sudah ibu siapkan untuk mewarnai kemegahan rumah ini. Terlihat beberapa mawar merah dan putih yang sangat ibu sukai, melingkar di belakang rumah. Aku menatapnya lalu menyusun segala perlatan di kamarku.

Aku dan kakak berbeda 3 tahun kurang, sehingga kamarnya juga tidak terletak terlalu jauh, hanya terpisah satu tangga saja. Kami berdua laki-laki di tengah usia kandungan ibu yang baru beranjak 4 bulan. Semoga saja, ibu melahirkan anak perempuan sehingga rumah ini tidak dipenuhi oleh kebisingan suara bola atau permainan tinju yang sangat ayah sukai.

Aku menata robot favoritku di sudut kamar, ia adalah kerangka transformer yang aku rayu susah payah dari ayah saat kami pergi ke London tempo lalu. Memang aku sangat menyukai pemeran bumblebee di film action itu. Ia sangat lucu menurutku jadi ketika ada kesempatan untuk mendapatkan barang itu aku dengan gigihnya berjuang untuk mendapatkannya.

"Ya, sekarang Bumblebee akan beraksi Bung. Rasakan tinjuannya," ujarku lalu mnggerakan tangan robot itu, seakan-akan ia hidup dalam anganku.

"Dek, ayo turun bantu ayah angkat barang ke atas." Ibu memandangku lalu turun kembali ke bawah.

Aku menuruti, mengikuti langkah kakiknya lalu menatap sesosok pria berperawakan gagah yang sedang berbicara dengan ayah di ruang depan. Ia menatapku sekilas lalu memberikan senyuman tepat di wajahku.

"Hello nak, siapa namamu?" tanyanya dengan satu kaki yang ia turunkan agar bisa menyamai postur tubuhku.

"Ardad Om, salam kenal," balasku ramah, ayah yang mengajarkan hal ini kepadaku.

"Salam tangannya Dek," suruh Ibu lalu aku menyalami tangan kokoh pria itu.

Ia mengacak-ngacak rambutku lalu memberikan sebuah lollipop yang ia simpan di saku celananya. Aku menerimanya, namun dengan pelan aku berikan kepada ibu. Keluargaku tak menyuruhku cepat-cepat menerima barang dari orang asing.

"Ayo segera bantu kakakmu." Ibu mengarahkan tubuhku ke arah kakak.

Setelah membantu kakak mengantarkan barang ke atas, aku masih mengamati pria itu. Ia terlihat bersenda gurau dengan ayah dan ibu, sesekali juga melambaikan tangannya kepadaku yang memang sedari tadi terus memperhatikan gerak tubuhnya.

"Ya ... Dek Arthur dan Ardad. Om pulang ya, jangan lupa main ke rumah Om di ujung sana. Oke?" ia lalu pergi dari rumah dengan wajah yang tersenyum ramah. Namun masih terlihat aneh dimataku.

"Siapa?" tanyaku kemudian.

"Kepala Desa, bapak Supripto. Memang kenapa Dek?" jawab Ayah penuh selidik.

"Tidak ... aku kira dia tukang air yang Ayah suruh membetulkan keran air kita yang rusak," balasku lalu kembali naik ke atas.

"Besok Ayah mau mancing dengan Pakde Yanto. Adek mau ikut?"

"Tidak!"

Brak! aku menutup pintu, berbaring di atas tempat tidur lalu mengambil ponsel milikku. Memainkan permainan siliter.io hingga puas. Hingga akhirnya sinar mentari yang cerah perlahan memudar digantikan oleh cahaya lembut senja yang masuk melalui sela-sela ventilasi kamar. Aku mengucek mata menatap jendela yang berhadapan dengan halaman belakang

Mengamati berbagai keindahan yang dipantulkan oleh cahaya jingga itu, lalu salah satu pundakku di tubruk dengan buku yang sekarang telah tergeletak di atas lantai.

"What?!" mataku melotot menatap kakak yang sekarang sudah mengambil bola kasti di atas nakas milikku.

"Ayo main," ajaknya lalu berlari turun ke bawah.

"Hati-hati, itu ada tanda tangannya Ryu Jin!" gertakku dari lantai atas.

Soal main kasti sebenarnya aku tak pernah kalah, hanya futsal dan bola kaki saja yang menjadi titik kelemahan diriku. Kalau tentang permainan ini, bisa dibilang kecil. Aku bahkan pernah menjuarai perlombaan bola kasti tingkat nasional dan akan ikut terbang ke Jepang jika berhasil meraih juara 1 kembali nantinya. Akhirnya aku bersiap-siap turun dengan membawa tongkat baseball di punggung kananku. Sambil menguyah permen karet ala pemain profesional, aku juga memakai kaos baseball kebangganku. Lalu turun ke lantai bawah dengan menyanyikan lagu favorit milikku 'Lose Yourself' by Eminem.

"Yo ... Yo ..." sahut Ayah yang melihatku menari dengan riang.

Aku tersenyum kecut lalu berlari kencang ke halaman belakang, namun kakiku berhenti ketika menatap sesosok wanita tua yang tengah berada di padang ilalang jagung yang terlihat sudah tak terurus. Kami bertatapan sebentar, sebelum sosok itu benar-benar pergi.

"Who is that?"







The Woman In BackyardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang